Selasa, 12 November 2019

APA YANG AKAN KALIAN KATAKAN?

Seperti biasanya, di pondok pesantren semuanya selalu memulai hari dengan hal-hal positif. Mulai dari shalat shubuh, dzikir, kemudian dilanjut melingkar dalam halaqah quran sesuai dengan kelompok dan kelas masing-masing. Ada yang di dalam masjid, di halaman, dan tak sedikit yang di pelataran lapangan basket. Tentunya, ini tidak lepas dari sebagian ikhtiar untuk mengamalkan nilai dalam Alquran agar kita mampu memberikan yang terbaik untuk Allah.

Membaca Quran setiap pagi di pondok bukan hanya sebagai kewajiban rutinitas bagi para santri Ibnu Abbas Klaten. Melainkan juga bertujuan agar kebiasaan positif itu terbentuk dalam diri setiap santri sehingga kemudian menjadi semacam tradisi paten yang tak boleh ditinggalkan sekalipun mereka hidup di luar komplek pondok pesantren.

Tapi ternyata ada yang berbeda pada momen kali ini. Tepat hari Jumat lalu, sehari sebelum memperingati hari maulid baginda Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam, di akhir waktu halaqah saya sedikit mengajak diskusi bersama para santri khusus di halaqah. Diskusi itu sebenarnya cukup sederhana. Sengaja saya mengajukan satu pertanyaan saja kepada anak-anak. Selain alasannya kami hanya punya waktu yang singkat, juga karena untuk berbicara dengan hati kepada anak-anak juga perlu metode tepat. Jangan sampai diskusi ini justru membuat hati mereka tidak terbuka dan pikiran mereka menjadi jumud. Lagipula, kebetulan saya sendiri setidaknya sedikit cukup mengerti bagaimana mengajak bicara dari hati ke hati kepada anak seusia kelas 7 SMP. Akal mereka rata-rata belum siap untuk diajak kepada urusan perkara yang “berat-berat.”

Tak perlu panjang lebar, saya memulai diskusi dengan pertanyaan ringan, tapi juga berisi. Saya hanya ingin tahu apa kiranya jawaban yang ada di pikiran anak-anak.

Tanpa basa-basi, saya lalu memulai membuka pertanyaan. “Apa yang akan kalian katakan bila seandainya berjumpa dengan Rasulullah saw?” Saya tatap setiap mata anak-anak. Memastikan semua paham dengan pertanyaan ini.

Seketika anak-anak diam penuh antusias. Suasana hening. Sebagian saling toleh-menoleh rekannya, sebagian lain ada juga yang mengerutkan dahi, dan ada juga yang bertanya lagi pada temannya tentang pertanyaannya. Entah karena dia kurang fokus sehingga kurang mencermati atau memang sengaja sekadar ingin mempertegas dalam memahami pertanyaan.

Saya pun paham. Akhirnya pertanyaan diulang.

“Apa yang akan kalian katakan bila seandainya berjumpa dengan Rasulullah saw?

Kali ini pertanyaan agak lebih tegas dengan suara yang lebih lantang.

Akhirnya, separuh menit saya biarkan berlalu begitu saja. Saya tahu, jawabannya pasti tidak cukup dengan waktu sedetik-dua detik. Karena ini memang jelas bukanlah tebak-tebakan. Tapi ini pertanyaan yang harus membuat akal dan hati ikut saling berkompromi.

Saya tunjuk satu persatu, kemudian saya tangkap jawabannya. Dimulai dari anak-anak yang berada di sebelah kanan saya.

“Hmmm .... Nanti dulu, Tadz. Belum tau.” Jawabnya.

“Wah, jangan begitu ... Setiap orang harus punya jawaban!” Tegas saya.

Singkat cerita, akhirnya 16 anak semua berani mencoba menjawab. Jawabannya sangat variatif. Ternyata, memang benar. Para pemuda seperti mereka punya imajinasi yang kuat dan tidak ragu-ragu. Rata-rata jawabannya cukup membuat saya puas dan takjub. Walaupun ada juga yang punya argumen serupa, tapi setidaknya saya menghargai bahwa memang itulah yang ada dan hasil murni olahan hati dan pikirannya.

Hingga kemudian ada di antara jawaban itu yang membuat hati saya bergetar. Jiwa saya seperti terasa tercabik. Bahkan, hampir-hampir saya tidak pernah memikirkan untuk menjawab hal itu. Dan jujur secara pribadi saya sangat suka dengan jawaban salah seorang santri ini karena memang dia pun menjawab penuh dengan perasaan yang amat mendalam. Matanya berkaca-kaca. Sesekali ia kelihatan menelan ludahnya karena berat menjawab. Walau awalnya agak kaku, tapi kemudian ia mengedipkan kelopak matanya karena ingin menguatkan diri untuk tidak menangis.

Jawabannya begini, “Kalau saya berjumpa dengan Rasulullah, saya mau mencium tangan beliau lalu mengucapkan terimakasih sekaligus meminta maaf.”

Bagi saya, ini jawaban luar biasa walaupun tampak sangat biasa. Kalimat sederhana itu terasa sekali maknanya. Buktinya, saya masih terus kepikiran walaupun waktu halaqah sudah usai berlalu cukup lama.

Kenapa saya sebut ini luar biasa? Karena di sana ada dua unsur penting yang perlu untuk kita renungkan. Erimakasih dan permohonan maaf. Ini intinya.

Ungkapan terimakasih merupakan kalimat yang menunjukkan kesyukuran. Melukiskan kebahagiaan yang tak terkira karena sudah merasakan cahaya kesempurnaan Islam. Saya yakin, hatinya tak mungkin bicara begini kecuali hatinya memang sudah diterangi oleh hangatnya cahaya Alquran dan Islam. Selain itu, ia juga menampilkan pengakuan paling jujur atas setiap peluh dan darah perjuangan baginda Rasulullah SAW. Oleh karenanya, ini tak bisa dianggap sepele. Karena ungkapan syukur ini pertanda bahwa kehadiran beliau Rasulullah SAW untuk ummat ini adalah anugerah paling agung yang pernah ada.

Poin kedua, adalah permohonan maaf. Ini juga tak kalah dahsyat. Maaf ini menggambarkan ketulusan, kejernihan hati, serta ketundukan dalam pengakuan murni. Maaf tak mensyaratkan harus punya salah. Tapo dengan tawadhu ucapan ini spontan diungkapkan oleh anak santri kami ini. Sebuah kesadaran alami yang lahir setelah syukur adalah suatu tindakan dari budi pekerti yang luhur.

Lalu, saya semakin malu dibuatnya. Karena yang tersisa adalah jawaban dari diri ini. Apa kiranya yang patut disampaikan kepada baginda Nabi Muhammad SAW saat beliau kelak berada di hadapan? Apakah siap diri ini sedangkan umur hidup yang sudah terlampau lebih jauh ini tentunya dilumuri dosa yang tak terkira? Sekali lagi, apa yang akan kita jawab?

Allahumma sholli wa baarik ala sayyidina Muhammad

Zubair Ibnu Syuhada

Selasa, 22 Oktober 2019

HAKIKAT TAQWA

Kejeniusan seseorang terlihat ketika dia mampu menerawang apa akibat yang akan terjadi di masa mendatang atas perbuatannya saat ini. Seorang musafir yang melintasi gurun bepasir pun tentu sedia membawa segala kebutuhan yang dia perlukan selama perjalanan. Unta, peta, dan bekal makanan dan minuman yang cukup. Sekiranya itulah yang paling urgensi dalam safar. 

Begitulah kiranya permisalan yang digambarkan oleh baginda Rasulullah SAW kepada ummat manusia. Allah jadikan dunia ini sebagai tempat mencari bekal. Karena setiap insan pasti akan menemukan tempat terakhir dia singgah untuk selamanya, ialah akhirat. Bagi mereka yang jenius, ia akan selalu merasa khawatir bilamana tak sampai ke surga. Maka, lahirlah dari kekhawatiran ini suatu tindakan yang menuntutnya untuk harus selalu taat kepada setiap rambu-rambu. Ia harus terus berjalan sesuai arah dan tujuannya. Ia juga harus memiliki bekal terbaik untuk safari panjangnya. Inilah peta kehidupan seorang muslim yang semestinya melekat erat dalam pandangan hidupnya.

Allah berfirman dalam penggalan surat Ali Imran ayat 102 yang artinya, "Wahai orang-orang yang beriman bertaqwalah kalian dengan sebenar-benar taqwa ..." Maknanya adalah, Allah menyeru dan menyuruh sekalian hambanya yang beriman untuk selalu bertaqwa kepadaNya. Seakan Allah telah menyediakan dan mengumpulkan segala bentuk kebaikan mulai dari yang bersifat jangka pendek (dunia) maupun jangka panjang (akhirat). Dengan taqwa pulalah Allah menyuruh hambanya untuk selalu menang dan beruntung meraih apa yang meliputinya dari segala kebajikan, kemaslahatan, kebahagiaan, keberuntungan serta kasih sayang Allah. Bukankah Dia penyayang kepada hambanya yang beriman? "Dan adalah Dia (Allah) Maha Penyayang kepada orang-orang beriman." (QS Al Ahzab : 43) Itu artinya bahwa seruan untuk bertaqwa ini merupakan suatu kabar gembira bagi kaum mukminin jika mereka benar-benar mengerti. 

Yang tak kalah unik, seruan ini adalah seruan yang akan terus berlaku sepanjang masa. Allah mewasiatkan taqwa bagi kaum terdahulu maupun kaum yang hidup pada saat sekarang ini. Sebab itulah kemudian diperjelas kembali dengan firman Allah pada surat An Nisa ayat 131 yang artinya, "Dan telah kami wasiatkan kepada Ahli Kitab terdahulu sebelum kalian dan kepada kalian pula agar senantiasa bertaqwa kepada Allah!"


Selasa, 14 Mei 2019

SERIAL RAMADHAN #1 Bagaimana Hidup Bersama Alquran?


Sudah tentu bagi setiap muslim pasti mengimani keenam rukun iman. Selain kepada Allah dan hari akhir, ada juga iman kepada Alquran sebagai kitab suci ummat muslim yang wajib dijadikan pedoman hidup dalam segala sisi apapun. Menjadi keharusan juga untuk memiliki misi bagaimana mendapatkan cara hidup menakjubkan bersama Alquran. Karena dengannya, kita akan mendapat begitu banyak petunjuk dan jalan keselamatan menuju keridhaan sang Khaliq.

Namun, jangan salah. Ternyata tidak jarang pula ditemukan banyak di kalangan kita yang mengaku sudah mengimaninya, tapi kok belum juga mendapat petunjuk? Sudah membacanya, tapi kok hidup masih terasa biasa-biasa saja? Bahkan boleh jadi ada yang sudah menghafalkan sebagian ayatnya, tapi kok akhlaqnya masih jauh dari sesuai dengan ajaran yang terkandung di dalamnya? Lantas, muncullah pertanyaan besar. “Apa sebenarnya yang harus dilakukan seoang muslim agar keimanannya terhadap kitab suci ini benar-benar terwujud dalam realitas kehidupannya?  

Salahnya bukan terletak pada Alqurannya, tapi mungkin ada yang bermasalah pada diri pribadi kita masing-masing. Secara mutlak, Alquran adalah petunjuk sekaligus pembawa keberkahan. Hal ini tidak bisa diragukan lagi kebenarannya. Kaidahnya, semakin dekat diri kita dengan Alquran, maka semakin berkah juga hidup kita.

Karena sesungguhnya Allah azza wa jalla menurunkan kitab-Nya yang mulia ini bukan sekadar untuk senantiasa dibaca, tapi ia juga untuk diamalkan. Hal ini selaras dengan firman-Nya, “Dan bacakanlah (Muhammad) apa yang diwahyukan kepadamu, yaitu kitab Rabbmu (Alquran).” (QS. Al Kahfi : 27). Dan Allah juga berfirman di ayat lainnya, “Dan ini adalah kitab (Alquran) yang kami turunkan dengan penuh berkah. Ikutilah dan bertaqwalah agar kamu mendapat rahmat.” (QS. Al An’am : 155). Dan dalam firman lainnya, “Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu, dan janganlah kamu mengikuti selain Dia sebagai pemimpin (wali). Sedikit sekali kamu mengambil pelajaran.” (QS. Al A’raf : 3). Bagaimana cara kita bias mengamalkan isi kandungannya?

                Dan ketahuilah, bahwa tidak akan pernah sempurna dan sulit kemungkinan untuk beramal sesuai pesan yang disampaikan Alquran kepada kita kecuali dengan ikut turut menelaah,  mentadabburi serta menghayati setiap makna-makna yang terkadung di dalamnya. Allah berfirman, “Kitab (Alquran) yang Kami turunkan kepadamu penuh berkah agar mereka hayati ayat-ayatnya dan agar orang-orang yang berakal sehat mendapat pelajaran.” (QS. Shad : 29). Dan memang sudah menjadi fenomena yang menyedihkan bahwa masih banyak di kalangan ummat muslim yang kini menjadi lemah karena mereka jauh dari perbuatan dan akhlaq sebagaimana yang digambarkan dalam isi Alquran. Bahkan menjadi sebuah musibah bagi seseorang yang sudah mampu membaca Alquran dengan baik namun enggan untuk mentadabburinya. Sungguh yang demikianitu dikhawatirkan akan adanya hajib (penghalang) yang membuat hati terkunci dan tak mampu menerima hidayah dan kebaikan. Sebagaimana firman Allah, “Maka tidakkah mereka menghayati firman Allah, atau adakah telah datang kepada mereka apa yang tidak pernah datang kepada nenek oyang mereka dahulu?” (QS. Al Mu’minun : 68) dan pada ayat yang lain, “Maka tidakkah mereka mentadabburi (menghayati) Alquran, ataukah hati mereka sudah terkunci?” (QS Muhammad : 24).

                Dan mulai dari sinilah nanti kita akan kembali gaungkan tekad kuat untuk terus dan senantiasa mendekatkan diri kita kepada Allah dengan bercengkerama setiap waktunya bersama kalam Allah (Alquran) –dengan mentadabburi dan beramal denganya. Inilah salah satu cara mewujudkan potret gemilang insan yang bertaqwa. Dan sebelum kita berusaha menjadi karakter qurani, tentu kita harus membahas bagaimana rumus menadabburi Alquran agar memudahkan setiap muslim dalam mengamalkan isi kandungan Alquran. Bagaimana caranya? Insya Allah akan hadir bersama anda para pembaca sekalian –semoga Allah merahmati kalian semua- pada episode berikutnya.

Jumat, 15 Juni 2018

Lebaran Ceria, Ambil Pesannya!

Hari ini ummat muslim Indonesia khususnya tengah merasakan kebahagiaan. Mulai dari yang kecil sampai yang besar. Yang muda maupun yang tua. Semua memiliki rasa tersendiri dalam hati yang diluapkan dalam tawa dan haru.

Lihatlah orangtua, kebahagiaan mereka adalah saat anak-cucunya berdatangan. Berlarian kesana-kemari. Bercanda tawa, berbagi cerita,. Poinnya bukan sekadar saat kumpul-kumpil saja, tapi bahagia saat mereka sadar bahwa anak keturunannya tengah bergembira semua. Kumpul saudara adalah persatuan. Karena tak ada yang lebih membuat bahagia daripada persatuan. Inilah contoh kasih sayang seorang ayah dan ibunda. Walau usia kian senja, mereka tetap merasa muda saat semua bahagia.

Tak kalah dengan kalangan sepuh dan orangtua, yang muda juga ikut ambil bagian. Apalagi bocah-bocah yang membawa dompet masing-masing. Hal yang tak wajar mereka bawa selain hari Ramadhan. Karena tradisi masyarakat kita, hari lebaran adalah hari panen uang receh lembaran yang masih kaku. Ada yang mengerti nilainya, ada pula yang sekadar ikut-ikutan mendapat uang tanpa tahu seberapa nilainya. Yang seperti ini, biasanya saya yang pegang uangnya. Mereka gak akan sadar, hehe ….

Setiap kejadiannya, kita ambil pelajaran. Untuk anak-anak, jangan sampai diajarkan sejak dini sikap meminta-minta. jangan dibiasakan anak tergiur dengan harta benda. Tapi ajarkan mereka bagaimana rasa malu adalah bagian dari iman. Ajarkan mereka bagaimana caraya bisa membantu sesama. Dan yang tak boleh lupa, ajarkan pada mereka bagaimana syukur itu diekspresikan menurut cara anak-anak. Agar iman bisa ditanam. Agar benih terus tersiram air kesejukan dalam keshalihan.

Semua adalah tantangan setiap mereka yang merasa sebagai orang dewasa terutama orangtua. Jadikan “THR” kepada anak-anak sebagai sedekah, bukan paksaan tradisi semata. Betapa jauh sekali bedanya, hanya karena urusan niat. Sekali dayung, dua-tiga pulau terlampaui. Sambil memberi, jangan lupa sambil berbisik menasehati. Karena percikan iman lebih mudah kita curahkan saat mereka tengah berbahagia.

Begitulah serba-serbi hari lebaran. Tiap kejadian, harus diambil pelajaran. Tiap kesempatan, harus diambil hikmahnya. Mumpung masih hangat lebaran, saya juga memohon maaf atas segala salah dan kekurangan. Semoga Allah menerima amal ibadah kita dan dijumpakan dengan Ramadhan unuk tahun-tahun berikutnya. Wassalam.

Wallahu a’lam bish shawab ….

Razu, Jakarta, 15 Juni 2018

Lebaran Ceria, Ambil Pesannya!

Hari ini ummat muslim Indonesia khususnya tengah merasakan kebahagiaan. Mulai dari yang kecil sampai yang besar. Yang muda maupun yang tua. Semua memiliki rasa tersendiri dalam hati yang diluapkan dalam tawa dan haru.

Lihatlah orangtua, kebahagiaan mereka adalah saat anak-cucunya berdatangan. Berlarian kesana-kemari. Bercanda tawa, berbagi cerita,. Poinnya bukan sekadar saat kumpul-kumpil saja, tapi bahagia saat mereka sadar bahwa anak keturunannya tengah bergembira semua. Kumpul saudara adalah persatuan. Karena tak ada yang lebih membuat bahagia daripada persatuan. Inilah contoh kasih sayang seorang ayah dan ibunda. Walau usia kian senja, mereka tetap merasa muda saat semua bahagia.

Tak kalah dengan kalangan sepuh dan orangtua, yang muda juga ikut ambil bagian. Apalagi bocah-bocah yang membawa dompet masing-masing. Hal yang tak wajar mereka bawa selain hari Ramadhan. Karena tradisi masyarakat kita, hari lebaran adalah hari panen uang receh lembaran yang masih kaku. Ada yang mengerti nilainya, ada pula yang sekadar ikut-ikutan mendapat uang tanpa tahu seberapa nilainya. Yang seperti ini, biasanya saya yang pegang uangnya. Mereka gak akan sadar, hehe ….

Setiap kejadiannya, kita ambil pelajaran. Untuk anak-anak, jangan sampai diajarkan sejak dini sikap meminta-minta. jangan dibiasakan anak tergiur dengan harta benda. Tapi ajarkan mereka bagaimana rasa malu adalah bagian dari iman. Ajarkan mereka bagaimana caraya bisa membantu sesama. Dan yang tak boleh lupa, ajarkan pada mereka bagaimana syukur itu diekspresikan menurut cara anak-anak. Agar iman bisa ditanam. Agar benih terus tersiram air kesejukan dalam keshalihan.

Semua adalah tantangan setiap mereka yang merasa sebagai orang dewasa terutama orangtua. Jadikan “THR” kepada anak-anak sebagai sedekah, bukan paksaan tradisi semata. Betapa jauh sekali bedanya, hanya karena urusan niat. Sekali dayung, dua-tiga pulau terlampaui. Sambil memberi, jangan lupa sambil berbisik menasehati. Karena percikan iman lebih mudah kita curahkan saat mereka tengah berbahagia.

Begitulah serba-serbi hari lebaran. Tiap kejadian, harus diambil pelajaran. Tiap kesempatan, harus diambil hikmahnya. Mumpung masih hangat lebaran, saya juga memohon maaf atas segala salah dan kekurangan. Semoga Allah menerima amal ibadah kita dan dijumpakan dengan Ramadhan unuk tahun-tahun berikutnya. Wassalam.

Wallahu a’lam bish shawab ….

Razu, Jakarta, 15 Juni 2018

Kamis, 22 Desember 2016

IBUK

Bagiku, tak ada kopi yang lebih pahit rasanya dibanding kopi yang diseruput dengan lembut oleh seorang ibu. Akupun tak pernah mengerti, sebenarnya sejak kapan ibu menjadi orang sakti. Lihat saja, betapa kuat bibir dan tenggorokannya menyeruput seduhan kopi yang dituang langsung dari ceret setelah dipanaskan di atas tungku yang berasap. Air di dalamnya sudah mendidih dan jatuh pada suhu 100 derajat celcius. Begitulah mungkin kira-kira perhitungannya.

Dan aku benar-benar melihatnya dari kejauhan dengan mata kepala sendiri. Di balik kain sarung bekas yang disangkutkan pada paku pada kedua sudut atas kerangka pintu kamar. Kain bermotif kotakitu punya peran sebagai tirai, atau pengganti pintu untuk sementara waktu. Ya, sementara waktu saja. Karena aku ingat kalau bapak pernah bilang, "Nanti kalau kita sudah punya uang, pasti setiap kamar akan kita kasih pintu." Tak ada yang hilang dari ucapan bapak yang kuhafal ini walau sehurufpun.

"Ibuk ..., kok masih belum tidur?" tanyaku sambil mengucek mata yang masih ngantuk berat.

Tatapan ibu langsung mengarah kapadaku. Dipangkuan dadanya ada Faisal yang digendong dengan ikatan kain batik panjang warna coklat. Sepertinya, Faisal adikku sedang kurang sehat hingga ia susah tidur. Tapi ibu menemaninya dengan baik hingga kenyamanan membuat Faisal tertidur.

"Lho, kamu sendiri kenapa belum tidur?! Lihat, sudah jam berapa ini!" balas ibu.

"Aku terbangun, Buk. Nyamuknya semakin ganas saja. Nih buktinya. Tangan dan kakiku diserbu sampai habis bentol-bentol begini."

"Yasudah, lanjutkan tidurnya lagi saja sana. Masih jam dua belas. Besok jam tiga sudah harus bangun dan tahajjud, ya! Ambil kain sarung ibu di lemari, kau pakai itu saja untuk menutupi badanmu. Biar nggak dikeroyokin nyamuk lagi!"

Begitulah ibu. Padahal, belum juga pertanyaanku di awal tadi terjawab, tapi ibu sudah pintar membawa pikiranku kepada zona nyaman. Intinya, biar aku nggak ikut kepikiran urusannya. Sambil melangkah ke kamar, hatiku mendesah, "Ya Rabb, kau telah ciptakan sebuah kekuatan luar biasa yang tumbuh dari hati seorang wanita yang kini kupanggil dia, Ibuk."

Sejatinya, pahitnya kopi adalah pemanis hidup. Panasnya air seduhan kopi yang mensidih, adalah penikmat hidup. Oleh karenanya, ibu menjadi sakti. Bukan berarti ibu sudah tak kenal rasa pahit. Dan bukan pula ibu sudah kebal panasna air mendidih. Tapi ini hanya ungkapan dari alam. Bagaimana Allah mengajarkan pada kita bagaimana sebenarmya sebuah perjuangan.

Maka, jika kau mau tahu tentang kesejatian arti perjuangan, tanyakanlah pada ibumu. Tanyakan!

Maka, mungkin akan selalu kau dapatkan jawaban yang sama darinya sebagaimana yang sudah kutanyakan pada ibuku.

"Asalkan itu untuk Allah dan untuk kebaikan kalian, ibuk akan senang dan bersyukur ...."

*Sambil menyeruput teh hangat dan pisang goreng .... Salam untuk semua yang mencintai ibunya.

Razu, Jakarta, 230416.

Jumat, 14 Oktober 2016

JEJAK KAKIKU BERSAMAMU .... (2)

Padahal sudah beberapa hari masuk sekolah, tapi masih saja membuatku merasa semakin sendiri. Bahkan, tak jarang aku tak mau berangkat sekolah. Kecuali setelah kejadian itu. Kala pertama kali aku melihat seorang wanita yang kupanggil ummi itu berpaling membelakangi mukanya dari tatapanku. Matanya menitikkan bulir air mata.

Barulah, aku sadar. Setelahnya, tak ada lagi rengekan tak mau sekolah. Tak ada lagi. Aku janji!

****

Aku belajar untuk mengenal orang-orang dengan postur tubuh yang hampir semuanya serupa denganku. Memberanikan diri menjabat tangan untuk pertama kalinya. Lalu terucap dari bibir yang kaku dan gemetar ini sepatah dua patah kata, "Siapa namamu?" Lalu lelaki dihadapanku pun menjawab dengan senyum, "Aku Faruq,"

Itulah kali pertama aku belajar mengenal orang-orang yang ada di sekeliling. Itu pulalah yang menjadi awal mula aku menulis sebuah cerita. Cerita yang dulu tak pernah aku sadari, ternyata begitu manis itu semua dilalui. :)

Apalagi, ketika guru-guruku ramah menyapa setiap anak. Senyumnya menenteramkan jiwa anak kecil seperti kami. Bicaranya selalu menarik hati kami. Di sana ada cinta. Dan di sana ada ketulusan yang tak bisa dibandingkan dengan apapun. Itulah yang mereka berikan pada kami.

****

Masuk kelas jam tujuh tepat. Dimulai dengan duduk-duduk melingkar. Di setiap genggam tangan anak-anak ada Alqur'an. Waktu itu, tak kulihat ada seorangpun yang masih memegang buku Iqro'. Semua sudah pandai membaca Alquran. Di sebalik itu, ada hati yang mekar. Ada jiwa yang tersiram air segar. Ya Rabb, inikah jalan indahMu mempertemukanku dengan mereka?

Di dekat meja kecil, duduklah seorang Bu Eni. Ustadzah yang pertama kali mengajariku untuk bisa menghafal Alquran. Semoga Allah membalas jasa-jasa beliau. Ada juga Bu Meti, (berjilbab hitam), duduk memperhatikan anak-anak. Aku tak sadar saat itu. Hingga sadar itu baru terbangun sekarang. Bahwa sesungguhnya, jiwanya tidak hanya sedang memperhatikan gerak-gerik anak-anak. Tapi di setiap embus nafasnya ada kepulan doa-doa yang naik ke langit. Berharap doa itu menjadi hujan yang menyirami benih-benih jiwa para pejuang Allah di tanah hati kami, para muridnya. Ya Rabbi, aku tak mampu membalas setiap usaha beliau. Semoga Jannah adalah hadiah terbaik yang pantas untuknya. Aamiin.

Halaqah Quran biasanya selesai jam sembilan. Jam setengah sepuluh di sambing pelajaran lagi di kelas. Itu mencakup pelajaran Aqidah, Akhlaq, Siroh, Bahasa Arab, dan berbagai macam mata pelajaran umum lainnya. Bu Lita, Pak Ilyas, Pak Thohir, mereka yang mengajari kami semua itu.

Yang lebih penting dari inti sebuah materi adalah, adab seorang muslim. Kami diajarkan akhlaq sebagaimana yang diajarkan Rasulullah SAW. Ya Allah..., berikanlah mereka umur yang panjang dan berkah. Berikanlah mereka semua rizki yang cukup. Semoga, amal-amal mereka selama ini menjadi mata air yang selalu mengucur deras padanya pahala-pahala. Aamiin.