Sabtu, 11 Juni 2016

DIARY RAMADHAN SI ALIF (Eps. 4)

Senin, 01 Ramadhan 2016

"Waktunya tinggal 15 menit sebelum selesai halaqoh. Setelah bel, semua boleh istiraht meninggalkan halaqoh kecuali yang belum setoran!" tegas Ustadz Rahmat.

Semua anak terdiam. Beberapa pasang mata orang-orang dalam halaqoh itu tertuju ke arah seorang anak yang duduk di dekat tiang masjid. Kepalanya turun merunduk. Wajahnya memerah. Tangan kanannya masih memegang Al Qur'an

Kaca Pembesar

Saya jadi teringat suaru kejadian pada malam ke-5 bulan ramadhan. Bagi saya, ini memang terbilang cukup menarik. Sekali lagi saya katakan, Allah selalu punya cara unik untuk menegur hamba-Nya. Entah itu datang dari kesadaran diri  sendiri, ataupun lewat orang lain. Dan kali ini perantara petunjuk itu datang dari seorang kakek tua.

Seusai makan malam di pondok, saya berniat untuk mencoba sesekali sholat tarawih di salah satu masjid yang ada di daerah sekitar pondok. Ada sebuah masjid yang tak terlalu besar, namun memiliki tekstur bangunan yang tak kalah indahnya dengan masjid-masjid di perkotaan. Namanya masjid Al Huda.

Saat itu adzan isya sudah berkumandang. Jamaah pun datang berbondong-bomdong dengan jumlah yang ampir-hampir masjid itu tak lagi mampu menampung orang.

Kami pun sholat isya, kemudian dilanjutkan dengan sholat tarawih sebanyak 8 rakaat dan ditutup dengan witir 3 rakaat.

Seusai sholat dan dilanjutkan dengan ceramah selama 10 menit oleh salah seorang tokoh masyarakat, saya mengira para jamaah akan langsung beranjak pulang. Dugaan ini lahir karena memang nampak mayoritas jamaahnya adalah para orangtua yang sudah lanjut usia.

Tapi, saya sendiri dibuat malu saat kaki hendak beranjak pulang, ternyata masih ada beberapa orang yang memilih untuk menetap di masjid untuk menyempatkan diri tilawah Al-Qur'an. Saya pun akhirnya menghentikan kehendak kemudian kembali duduk di twmpt semula.

Ini bukan masalah gengsi, bukan! Tapi lebih kepada masalah kesiapan diri. Ajal tak pernah mengabari siapa saja yang akan dijemput. Saya jadi terharu, masa sih di dalam diri saya masih tersimpan keangkuhan akan pengakuan diri sudah suci. Mereka yang sudah berumur jauh di atas saya, mungkin sudah lebih banyak langkahnya ke masjid. Mungkin juga mereka lebih fasih membaca Al-Qur'an karena sudah lebih lama membacanya. Dan saya? Masih muda tapi semangat beramal baiknya seperti orang yang sudah tua. Ini yang pertama.

Yang kedua, ada seorang kakek yang memiliki cara paling beda dan unik di antara beberapa orang lainnya. Dia memegang kaca pembesar di tangan kiri, dan Al-Qur'an di tangan kanannya. Masya allah, ternyata kakek itu memang sudah rabun. Dia harus rela dan tak malu-malu melakukan hal itu untuk membaca kalam Ilahi.

Saya pun agak sedikit mendekat ke bapak-bapak yang kira-kira berumur 60-an tadi. Jam dinding sudah hampir masuk jam 22.00. Beliau masih membaca Al-Qur'an dengan suara lantang. Setelah lima belas menit kemudian, barulah beliau beristirahat sejenak. Dan saat itu saya berkesempatan untuk sedikit merobohkan gundukan penasaran saya dengan bertany beberapa hal pada beliau.

"Assalamu'alaikum, Pak. Bapak tinggal di daerah sini?" tanya saya.

"Nggeh, saya tinggal di dekat masjid ini." Bapak itu sebenarnya menjawab memakai bahasa jawa. Alhamdulillah sedikit-sedikit saya mengerti juga.

Kulihat tanda baca Al-Qur'an bapak itu yang masih dibuka. Ternyata sudah sampai surat yunus. Kira-kira itu ada di juz 11. Masya Allah, kakek ini memang luar biasa. Memasuki hari ke-5 ramadhan saja beliau sudah mampu membacanya sampai sejauh ini. Saya hanya menggeleng-gelengkan kepala tanda kagum.

"Saya kalau baca harus pakai ini, Nak. Kalau tidak, ya saya ga bisa lihat," begitu kira-kira terjemahan perkataannya. Kali ini bapak itu mulai memakai kosa kata bahasa jawa yang lebig tinggi. Alhamdulillah, saya tetap bisa mengerti karena kebetulan di samping saya masih ada teman yang ikut menemani. Karwna sama-sama orang jawa, jadi spontan dia langsumg saya angkat jadi penerjemah resmi saya, hehe ....

Kemudian, bapak itu pun melanjutkan pembicaraannya, "Sebelum mata saya dicabut, dan jiwa saya dipanggil oleh Sang Pemilik, saya harus mempersiapkan diri."

Baoak itu pun berhenti sejenak. Ia menarik nafas agak panjang. Beberapa detik kemudian, matanya berkaca-kaca, dan akhirnya kaca itu pun pecah menjadi sungai kecil yang mengalir di pipinya.

Masya Allah ..., ini bukan kisah dongeng. Ini juga bukan mengada-ada. Tapi ini teguran yamg nyata. Allah kirimkan bapak itu sebagai petunjuk bagi hamba-Nya yang sedang dikepung oleh nafsu dunia. Kemudian, nurani pun berteriak, "Zubair, adakah kau mampu mengambil pelajaran?"


*Maaf tak sempat mengambil gambar karena sikon yang kurang tepat.

Rabu, 08 Juni 2016

DIARY RAMADHAN SI ALIF (Eps. 3)

"Alhamdulillaaah ... akhirnya sampai juga kita," sergah Zulfan selaku pemimpin rombongan truk nomer 3 sesaat setelah moncong truk sudah masuk pintu gerbang. Ternyata hanya butuh waktu 15 menit untuk bisa sampai ke Masjid Agung Klaten ini.

Halaman masjid yang luas itu sudah berwarna-warni. Kegiatan tarhib kali ini padat dipenuhi simpatisan dari berbagai wilayah di sekitar Klaten. Mayoritas peserta adalah kalangan pelajar maupun santri. Alif dan teman-teman lainnya pun langsung mengambil tempat untuk berbaris bersama di rombongan pondok Ibnu Abbas.

Gema takbir menggetarkan tanah Klaten. Bukan hanya itu, mungkin dinding-dinding kekufuran di hati para musuh Islam pun nampaknya akan berguncang kala mendengar semangat menyambut kemenangan ini. Wajah-wajah mereka berseri. Terpancar pantulan sinar terang bulan sabit ramadhan yang sedang bangkit dari persembunyian.

Setelah mengelilingi titik-titik tertentu di daerah Klaten bagian kota, para peserta kembali ke Masjid Agung untuk beristirahat. Kebetulan, waktu adzan maghrib sudah menebuh gandang telinga masyarakat. Dan semua peserta bisa langsung pulang seusai shalat maghrib berjamaah untuk persiapan tarawih nanti. Mereka pun ikut kembali ke pondok secepat mungkin.

****

"Ustadz Rahmat, kira-kira siapa yang imam tarawih nanti, ya?" tanya Alif pada salah seorang pengampu tahfizhnya saat lima menit menjelang isya.

"Insya Allah nanti Ustadz Khoiri yang akan mengimami kita. Satu juz perhari," jawab ustadz.

"Satu juz, Tadz?" Alif masih tak percaya. Dia masih terheran karena tarawih tahun ini beda dengan yang lalu. Kalau dulu hanya setengah juz, sekarang satu juz perhari.

Ustadz Rahmat hanya membalas tanyanya dengan senyuman. Alif pun menunduk. Dipikirannya hanya terbayang saat nanti ustadz yang ada dihadapannya itu mendapat giliran menjadi imam. Waduh, bisa-bisa bengkak nih kakiku, gumamnya. Karena menurutnya dan sebagian besar santri sudah tahu, tempo bacaan ustadz Khoiri tidaklah selama ustadz Rahmat.

****

Jam 21.30 para santri baru boleh keluar dari masjid. Tarawih malam pertama ramadhan ini berlangsung selama kurang lebih satu jam lebih lima belas menit sejak pukul 19.15. Dan sisanya digunakan untuk tilawah mandiri di dalam masjid.

Ketika hendak tidur, Alif mengambil buku diary coklatnya. Seperti biasa, dia akan menulis setiap bangun tidur dan sebelum tidur. Dia pun mulai menulis.

"Besok, apa aku bisa melakukannya? Kata Ustadz Umar tadi, acara selama ramadhan ini akan padat. Pertama, halaqoh qur'an ba'da shubuh sampai jam 06.30 khusus untuk menambah setoran hafalan baru. Kemudian dilanjut kajian ramadhan dari jam 07.30 sampai 09.00. Setelah itu, halaqoh lagi dari jam 09.30 sampai 11.30 khusus untuk muroja'ah dan tilawah. Lalu masih ada sore ba'da ashar sampai jam 17.00 untuk tahsin dan murojaah hafalan.

Masalahnya, bukan pada jam-jamnya. Tapi pada targetnya! Selama 12 hari puasa ramadhan di pondok, kami harus mengejar target hafalan 2 juz dan tilawah 2 kali khatam. Apa itu tidak terlalu berat?"

Tak sadar, bulir-bulir bening jatuh dari pangkal mata Alif. Ia agak sedikit ragu pada kali ini. Mengingat kemampuan menghafal dia setiap harinya hanya sebatas lima baris. Itupun kadang-kadang kurang lancar. Dadanya berkabut, mengganggu pengelihatan pada mata hatinya. 

Kemudian penanya kembali bergerak.

"Junaidi, bagaimana menurutmu?"

bersambung ....

Selasa, 07 Juni 2016

DIARY RAMADHAN SI ALIF (Eps. 2)

"Lif, katanya nanti sore kita ada acara tarhib ramadhan di Masjid Agung Klaten, ya?" tanya Zulfan, teman sekamarnya yang dengan wajah kusut dan mata yang terbuka hanya selebar kuaci. Dari cermin Alif melihatnya sambil tertawa geli. Bulu alis temannya itu naik seperti keberatan mengangkat kelopak mata. Ada juga bekas goret di pipi dan pelipis kanannya karena terlalu lama menempel di bantal.

"Makanya, jangan tidur terus. Abis sholat zhuhur bukannya doa dan sholat sunnah dulu, eeh ..., malah langsung lari ke kamar. Jadinya nggak tahu deh kalo setelah itu ada pengumuman dari Ustadz Kholid," ujar Alif sambil cengengesan menggoda.

"Ngantuk, Bro ...." timpal Zulfan enteng.

Hmm ..., dasar abu naum*!, gumam Alif.

Sebenarnya Alif juga agak jengkel dengan tingkah dan pertanyaan Zulfan tadi. Tapi, dari sisi lain dia juga bersyukur karena ternyata Allah selalu punya cara unik untuk menghibur diri hamva-Nya yang tengah bersedih.

"Alhamdulillah ...." desah Alif sambil mengelus dadanya yang datar.

****

Selepas ashar, pukul 15.20 WIB ....

"Seluruhnya, siaaaap ..., grak!!"

Raihan, kakak kelas satu tingkat di atas Alif mulai mengomandoi para santri. Suaranya yang lantang dan tegas terdengar dari lapangan futsal pondok sampai ke lantai tiga. Tak kalah luar biasa, para santri di pondok ini juga semuanya berlarian kencang menuju lapangan. Padahal sebelum itu Raihan menghitung mundur dari sepuluh sampai satu. Tapi baru sampai hitungan di angka 5 anak-anak sudah kocar-kacir turuni tangga menuju lapangan. Di angka 3, semuanya sudah kumpul di lapangan tanpa ada yang tertinggal. Walaupun di antara mereka masih ada yang celananya masih belum di-resleting lah, bajunya belum dikancing semua, dan tak sedikit yang masih nyeker, bahkan ada yang keliru sampai-sampai memakai baju terbalik! Bagi mereka, itu semua urusan belakangan. "Yang penting baris dulu," itu prinsip mereka. Setelah dapat komando dari kakak-kakak pengurus, barulah mereka menata diri masing-masing. Hehe ....

Komando sudah disampaikan. Sudah tersedia lima truk sewaan yang kiranya bisa mengangkut sekitar dua ratusan santri pergi menuju Masjid Agung Klaten. Semua berseragam gamis dan peci putih. Ketika semua sudah naik ke punggung truk, semua terlihat kompak jika dilihat dari bawah. Putiiih bersih. Bukan karena baju mereka yang bersih dan kinclong semua, tapi karena anak yang gamisnya 'menguning' berdiri ngumpet di antara mereka.

Bola mata Alif mengarah ke jam tangan digital merk "Cassio" di tangan kiri Zulfan. Pukul 15.40, truk akhirnya mulai bergerak maju. Semua bersorai, mengawali dengan bacaan basmalah dan doa naik kendaraan. Disusul gema takbir dan spanduk-spanduk bertuliskan "Marhaban yaa Ramadhan, Marhaban yaa Syahral Qur'an...!" pun dibentangkan.

Bersambung ....

DIARY RAMADHAN SI ALIF (Eps. 1)

"Bismillahirrahmanirrahim .... Aku pasti bisa, aku pasti bisa, aku pasti bisa, insya Allah ...."

Setiap bangun tidur dan mengawali harinya, Alif pasti langsung berlari menghampiri lemari, kemudian mengambil buku bersampul coklat tua polos dan menuliskan kalimat-kalimat itu. Sudah ada tiga jilid buku kuarto isi 80 lembar terisi dengan pembukaan yang sama; kalimat itu.

Ternyata, itu merupakan pesan salah seorang sahabat baiknya itu tak pernah ia khianati. Junaid, ia pernah bertutur, bahwa ada seseorang di dalam setiap jiwa manusia yang selalu menjadi motivator paling hebat. Benar juga. Percuma saja mengikuti seminar-seminar motivasi dari motivator internasional sekalipun, tapi efeknya hanya satu jam atau paling lama satu hari setelahnya. Dan percuma mengoleksi dan suka membaca buku-buku motivasi best seller kalau teori yang didapat sekadar mampir dan numpang sejenak di kepala lalu pamit pergi. Bahkan tanpa pamit! Sungguh, pengaruh yang didapat pun akan sama, tak lebih dari sehari!

Lalu, siapa sebenarnya sang motivator itu?

"Dialah yang sering kau panggil dengan sebutan, 'Aku'!" jawab Junaid saat Alif masih penasaran dan akhirnya bertanya.

Ya, orang itu adalah diri sendiri. Kepala Alif bergoyang ke atas dan ke bawah. Kali ini dia cepat pahamnya. Bibir Junaid pun melengkung manis. Bersama itu, kelopak matanya menutupi bola mata. Ada keteduhan terbit di wajahnya.

****

"Hari ini tanggal 05 Juni, maka esok adalah tahun ketiga dari kepergianmu," desah Alif ketika melihat sosok lelaki kurus di sebalik cermin.

"Hanya kau yang mau berteman dengan anak bodoh yang kurus ini. Dan hanya kau yang mau berbagi sepotong roti jatahmu saat rotiku jatuh ke selokan dulu," lanjutnya mengingat kenangan-kenangan bersama Junaid.

Ya, Junaid sekarang sudah menggelar Almarhum sejak tiga tahun yang lalu. Saat melepas masa putih biru di sekolah yang sama di Klaten, Junaid izin untuk melanjutkan sekolah ke sebuah pesantren di Bogor. Dan ternyata, Alif dan Junaid tidak ditakdirkan untuk berpisah jarak antara Jawa Tengah dan Jawa Barat saja. Tapi dunia dan akhirat. Junaid meninggal karena tragedi maut bus saat menuju ke Bogor.