Jumat, 19 Februari 2016

ENTAH APA NAMANYA, BENCI INI JUGA CINTA! (Eps. 1)

Aku jadi teringat serpihan kejadian belasan tahun silam. Saat masih mengenakan seragam putih dengan rompi hijau, dan celana yang sewarna dengan rompi.

Kala itu, bel masuk kelas berbunyi tepat ketika jam digital di lenganku menunjukkan pukul 07.10 WIB. Sebenarnya, masuk kelasnya sih jam tujuh tepat. Hanya saja sengaja aku putar jam tanganku itu 10 menit lebih cepat. Jaga-jaga supaya menghindari kata 'terlambat'.

Seperti biasanya, jam pertama dan kedua setiap harinya adalah tahsin dan tahfidz.

"Waahid ... istnaani ... tsalaa ... sah!!! Yang telat, push up 50 kali!" Pak Zaky, guru tahfidzku itu sudah siaga duduk di dekat mimbar masjid sekolah. Jari telunjuk, jari tengah, dan jari manisnya nampak sudah mengacung gagah di atas kepalanya. Kalau sudah hitungan tiga, siapapun dan dengan alasan apapun, tetap akan disuruh push-up kalau telat.

Begitulah 'keganasan' Pak Zaky kepada kami, bocah yang masih seumuran kelas 2 SD. Di mata kebanyakan dari kami para murid yang termasuk anggota halaqah qur'annya, beliau tidak hanya galak. Tapi juga menyeramkan! Ini baru hukuman kalau telat masuk halaqah. Belum lagi yang lainnya.

Kali ini Ilham, Aji, Maulana dan Fikri memang sedang kurang baik kabarnya. Pagi-pagi kening dan lehernya sudah dibuat keringetan. Kulirik wajah mereka satu per satu yang memerah. Ada rasa kasihan, namun ada juga hasrat ingin tertawa. Hehe ..., aku yang tidak kena hukuman justru harus semakin waspada. Jangan sampai besok malah diperlakukan seperti apa yang kulakukan terhadap mereka saat ini, hehe.

"Apa kau cengar-cengir, hah?!" ketus Aji dengan mata melotot sambil mencengkeram lenganku. Kemudian berubah senyum dan malah memijiti setelah kedua bola mata Pak Zaky menuju ke arahnya.

"Pegal tauk! Awas kau ya. Kuharap selanjutnya kau yang akan jadi tersangka selanjutnya!" lanjutnya penuh harap.

"Itu takkan mungkin terjadi, haha ...." ledekku.

"Zubair, ta'al! (Kemarilah!)" Aku menepuk jidat saat Pak Zaky menyebut namaku.

Ini namanya senjata makan tuan. Suara ledekku tadi benar-benar terdengar oleh Pak Zaky. Sumpah, saat itu aku benar-benar tidak ingin melihat wajah Aji sedikitpun. Aku bisa membayangkan betapa dia akan cekikikan puas ketika namaku dipanggil Pak Zaky. Biasanya, dia akan menggembungkan pipinya karena menahan tawa. Jujur saja, itulah yang paling aku kesali!

"Kenapa kamu tertawa sendiri dan belum mulai menghapal?" Aku hanya menunduk dan menggeleng saat ditanya. Tak tahu jawaban apa yang harus kujawab saat itu.
"Dekatkan telingamu!"

Tangan Pak Zaky pun langsung menyambar ke daun telingaku. Menyentuhnya, lalu memelintir cukup keras dan lama.

"Kembali ke tempat, dan mulai menghapal lagi!" tegas Pak Zaky.

Aku menuruti perintahnya dengan ringisan dan hati yang tiba-tiba mbertambah berat.Kurasakan seperti ada api di dekat telinga. Kubandingkan suhu telingaku dengan pipi, ternyata beda jauh. Kira-kira di atas 40 derajat celsius!

"Doamu terkabulkan, Ji!" tukasku saat duduk bersila dengan lutut kananku yang berdempetan dengan lutut kirinya.

"Makanya, jangan menertawakan penderitaan orang lain. Tahu sendiri kan sekarang akibatnya!" jawab Aji puas.

"Iya, maafkan aku. Aku hanya bercanda, kok ...," Aku mengulurkan tangan hendak berjabat.

"Tenang saja, sudah kumaafkan sebelum kau dijewer tadi, hehe ...," ujar Aji sekenanya.

Aku benar-benar tak mau lagi terbawa emosi. Ucapannya yang bernada meledek itu sebaiknya dibuang jauh-jauh. Setidaknya, aku belajar lagi untuk tidak berburuk sangka. Lagipula, ini memang salahku juga kok. Dan setidaknya ucapannya tadi juga ada benarnya. Sekarang lebih baik lanjut menghapal, sebelum waktu halaqah habis!

#To be continued ....