Sabtu, 23 April 2016

ADAKAH PERAN ILMU TERHADAP IMAN?


"Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang
diberi ilmu..." (QS. Al-Mujadalah: 11)

Benarlah apa yang telah Allah firmankan kepada kita semua. Tak ada satupun keraguan di dalamnya dari suatu kesalahan maupun kekeliruan. Ayat di atas menjadi bukti bahwasanya Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan orang-orang yang berilmu. Kalau direnungkan lebih jauh, mengapa harus ada ilmu setelah iman? 

Maka inilah yang menjadi topik yang akan kita bahas saat ini. Di ayat ini, kita diberi pencerahan bahwa ilmu tak kalah pentingnya dari sebuah iman. Maka pernah ada sebuah pertanyaan yang membahas manakah yang lebih afdhol atau lebih baik, ahli ibadah atau ahli ilmu? Maka tentu saja jawabannya adalah ahli ilmu yang lebih utama. Mengapa demikian? 

Jawabannya singkat saja. Karena setiap kali ilmu bertambah, maka imanpun akan kian mengalir deras. Bagaimana mungkin seorang ahli ibadah bisa melakukan amalan-amalan sholeh jika ia tidak tahu kaidah-kaidah atau syarat dan ketentuan melakukannya? Seperti sholat misalkan. Bagaimana dia bisa menjalankan amalan wajib ini jika seandainya tidak ditemukan olehnya air untuk bersuci? Kalau dia berilmu maka dia akan tayammum sebagai pengganti peran air untuk bersuci. Jika tidak berilmu, maka bagaimana dia melaksanakan kewajiban ini? Adakah peran ilmu terhadap iman?

Atau kita ambil misal lain yaitu seorang pakar sains sekalipun. Andai saja mereka bisa mengungkapkan rahasia ilmu sains ternyata banyak disebutkan dalam Al Qur'an, niscaya banyak dari mereka yang akan beriman kepada ajaran Islam. Adakah peran ilmu terhadap iman?

Namun, sayangnya umat islam saat ini benar-benar sudah tidak terlalu mementingkan ilmu terutama ilmu agama. Di negeri kita Indonesia ini, masih banyak fenomena-fenomena yang mencengangkan dan amat mengiris hati. Sekarang bisa dihitung, berapa banyak dari orang di sekeliling kita yang berorientasi dalam menuntut ilmu dengan sekadar mendapat pekerjaan? Dan apakah jarang kita temui para penuntut ilmu mempermainkan guru dan buku-buku pelajarannya? Kedoknya adalah menuntut ilmu agar mendapat derajat tinggi di sisi Allah. Namun kenyataannya adalah kita hanya bersenang-senang dengan menumpuk buku-buku pelajaran dan buku tulis kosong tanpa catatan untuk dibakar di akhir tahun sekolah atau menukarnya menjadi lembaran receh uang. Mengapa bisa terjadi? Hal ini disebabkan karena ummat ini masih belum mengerti akan harga dan hakikatnya. Semoga Allah menjauhkan kita dari pebuatan hina ini.

Kini, mari kita tengok ke luar jendela, agar semangat menuntut ilmu yang wajib ini berkobar kembali. Kita lihat potret bagaimana orang-orang yang ditinggikan derajatnya di dunia maupun di akhirat. inilah mereka :

Yang pertama, dialah Abdullah bin Abbas RA, yang bercerita tentang perjuangannya mempelajari agama. Mengambil bagian dari warisan Rasulullah SAW. Beliau berkisah, “Ketika Rasulullah SAW wafat, aku berkata kepada seorang laki-laki dari kaum Anshar, ‘Wahai Fulan, mari kita bertanya kepada sahabat-sahabat Nabi SAW, selagi mereka masih banyak (yang hidup) sampai saat ini.’ ‘Sungguh mengherankan sekali kau ini, Wahai Ibnu Abbas! Apa kau anggap orang-orang butuh kepadamu sementara di dunia ini ada tokoh-tokoh dari kalangan para sahabat Rasulullah SAW sebagaimana yang kau lihat?’

Lantas Ibnu Abbas melanjutkan, ‘Aku pun meninggalkannya lalu mulai bertanya dan menemui para sahabat Rasulullah SAW. Pada suatu ketika, aku mendatangi seorang sahabat untuk bertanya tentang sebuah hadits yang kudengar bahwa dia telah mendengarnya langsung dari Rasulullah SAW. Tapi ternyata saat itu dia tengah tidur siang. Lalu aku merebahkan diri dengan selendangku yang dijadikan bantalan di depan pintunya. Angin pun melintas menerbangkan debu ke wajahku. Begitulah keadaanku sampai ia keluar. 

Maka ketika ia keluar, ia terkejut dengan kehadiranku. Ia berkata, ‘Wahai putra paman Rasulullah, kenapa engkau ini?’ tanyanya. ‘Aku ingin mendapatkan hadits yang kudengar engkau menyampaikan hadits itu dari Rasulullah SAW. Aku ingin mendengar hadits itu darimu,’ jawabku.

‘Mengapa tidak kau utus saja seseorang kepadaku agar nantinya aku yang mendatangimu?’ katanya. 

‘Aku lebih berhak untuk datang kepadamu,’ jawabku.

Setelah itu, ketika para sahabat telah banyak yang meninggal, orang tadi (dari kalangan Anshar) melihatku dalam keadaan orang-orang membutuhkanku. Dia pun berkata padaku, ‘Engkau memang lebih cerdas daripada aku’.” (Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, 1/310). Begitulah betapa kita lihat etika dan sebuah kesungguhan yang luar biasa dari sahabat ini.

Adapun yang ditulis oleh Imam Adz Dzahabi dalam kitabnya, Tadzkirah Al-Huffazh yaitu tentang pernyataan dari salah seorang tabi'in, Asy- Sya'bi. Yaitu ketika saat ditanya, "Bagaimana kau dapatkan seluruh ilmu?" Beliau menjawab, "Dengan cara tidak bersandar (bermalas-malasan), berpergian ke berbagai daerah, bersabar sebagaimana sabarnya seekor keledai, dan bersegera sedari pagi sebagaimana burung gagak."

Begitulah kiranya potret dari segelintir ulama pendahulu kita yang diridhoi dan dirahmati Allah SWT. Ini bukanlah hal yang mudah. Mencari kemuliaan diri dan keteguhan iman lewat ilmu. Dan iman itu tak akan dirasa lebih berharga selain jika ia didapat dari sebuah ketulusan yang murni dan kesungguhan yang tak kenal lelah. 

Mereka mencari ilmu, sebagaimana kebanyakan dari manusia mencari harta benda serta permata di dunia. Mereka menuntut ilmu sebagaimana mereka merasakan kenikmatan lebih dari seperti kebanyakan manusia yang nikmat berbaring di atas kemewahan ranjang sutera yang penuh dengan pernak-pernik emas dan berlian. Mereka bersandar diterpa angin dan debu untuk menunggu guru, sedangkan kita berbaring di atas meja membiarkan guru berbicara sendiri di depan kelas. Mereka berjalan ribuan kilometer demi menemui satu guru dan mendapat sepotong ilmu, sedangkan kita membiarkan guru menunggu karena merasa sudah menanggung upah lelah seorang guru.

Kini, adakah kita termasuk di antara mereka yang benar-benar telah membuktikan diri atas derajatnya yang tinggi di sisi Allah? Atau kita bisa tanyakan nurani masing-masing, "Untuk apa sebenarnya menuntut ilmu? Adakah unsur keimanan yang kita dituju?"

~ #Bercermin Diri
~ Razu, Klaten, 24 April 2016

Selasa, 05 April 2016

#Puisi; MENGAPA HARUS BERTANYA?

Sejernih yang tampak tilas mata memandang muka air. Bergelombang, mengoyang-goyang bebatuan yang kokoh jadi lunak. Dan di sana aku sadar, bahwa hakikat hidup tak senantiasa membuntuti mata.

Lalu kudongakkan kepala ke langit yang memantulkan warna laut. Entah langit yang biru, ataukah lautan? Kenapa harus biru sedangkan ruang hakikat adalah pekat. Lalu, angin pun melintas di telinga sambil berbisik, "Kau harus sadar, bahwa menembus batas kodrat adalah salah."

Aku mengangguk untuk kedua kalinya. Berarti benar, Tuhan lebih tahu ....

Jadi, mengapa bertanya lagi apa yang harus kulakukan?

R. Zubair, Klaten, 05042016