Senin, 28 Desember 2015

BAGAIMANA KIAT MENGABADIKAN KARYA?

Dulu, dikisahkan tentang seorang ulama besat yang menjadi rujukan dari jutaan penuntut ilmu. Tentu saja murid-muridnya itu bukan hanya dari daerah yang sama, melainkan mereka berasal dari berbagai belahan dunia. Dialah yang kita kenal dengan Al Imam Malik rahimahullah.

Suatu ketika ia berniat untuk menulis sebuah buku. Beliau rahimahullah merasa bahwa ilmu yang dimiliki akan terasa lebih bermanfaat jika ia bisa menuliskannya dalam sebuah buku. Maka dengan kegigihan dan sucinya niat beliau, tercapailah pada saat buku yang sangat fenomenal itu diterbitkan. Buku itu dinamakan Al-Muwaththa'.

Karena bobot yang ada di dalamnya begitu luar biasa, maka buku itu terus dicetak hingga sampai sekarang ini. Namun, ada sejarah unik yang menjadi rahasia sekaligus alasan mengapa buku itu menjadi buku yang paling dicari-cari untuk dipelajari.

Memang pada zaman itu sebenarnya sudah banyak Al-Muwaththa'. Bahkan puluhan kitab sudah lahir dengan memakai judul yang serupa, yaitu Al-Muwaththa'. (Kalau di zaman sekarang mungkin seperti buku "La Tahzan" karya Syaikh Dr. Aidh Al Qarni, yang kini juga banyak diikuti judulnya dengan variasi-variasi lainnya.)

Maka ketika itu ada salah seorang pemuda berkebangsaan Arab yang bertanya kepada Imam Malik dengan sedikit nada mengejek, "Wahai guruku, mengapa engkau mengikuti judul seperti buku-buku lain? Bukankah bukumu ini akan terkesan 'pasaran' dan tak akan berlaku lama?"

Mendengar pertanyaan itu, Imam Malik yang berwawasan luas itu hanya cukup membalas dengan senyuman ringan penuh makna. Tatapannya tetap memancarkan kasih dan wibawa.

Kemudian beliau pun akhirnya menjawab, "Maa kaana lillah, yabqaa.... Apapun itu selama ditujukan semata karena Allah, maka ia akan abadi."

Maka benarlah ungkapan sederhana yang menakjubkan dan perlu kita garis bawahi ini. Terbukti bahwa sampai saat ini pun buku Al Muwaththa' karya Imam Malik rahimahullah tetap menjadi buku paling dicari dan menjadi rujukan bagi para penuntut ilmu.

Dari kisah ini, kita tak hanya diajarkan tentang betapa luasnya ilmu seorang Imam Malik. Namun kita juga diajarkan betapa sebuah tekad dengn niat yang suci akan membawa suatu manfaat yang lebih besar dan berpengaruh untuk ummat. Dan manfaatnya juga bukan hanya dalam kurun waktu yang sebatas, tapi selamanya.

Minggu, 20 Desember 2015

Kisah Teladan Bocah Kecil yang Menuntut Ilmu

Tak ada yang menyangka sebelumnya, bahwa pemuda yang masih pantas dipanggil bocah itu ternyata sangat luar biasa menakjubkan. Umurnya kala itu masih sebelas tahun. Ia dibawa pergi oleh ibunya ke sebuah kota suci yang penuh berkah lagi mulia, Madinah Al-Munawwarah. Pada saat itu, dia memang dalam keadaan seorang yang yatim. Dia dan ibunya juga bukanlah dari golongan keluarga yang berlimpah harta. Bahkan kehidupan keduanya bisa diktakan sangatlah miskin.
Hingga pada suatu ketika diceritakan bahwa ibunya itu ingin sekali melihat anaknya menjadi seorang ulama besar. Maka kebetulan, di Madinah kala itu ada seorang ulama yang faqih akan ilmu Islam. Dialah si lautan ilmu yang dicari-cari oleh banyak para penuntut ilmu dari berbagai penjuru dunia. Tak salah lagi, dialah sang penulis buku yang sangat fenomenal hingga zaman sekarang ini yang berjudul Al-Muwattha’. Ulama itu dikenal dengan sebutan Al- Imam Malik Rahimahullah. Ibunya pun menyuruhnya untuk berguru pada beliau.
Suatu ketika, dalam suatu majlis bocah laki-laki ini duduk menghadiri dan menyimak segala pemaparan pelajaran yang disampaikan oleh Imam Malik. Namun pada suatu kesempatan, ada satu hal yang membuat Imam Malik justru merasa terganggu dengan kelakuan bocah itu. Menurut  beliau, bocah itu sedang main-main dan tidak serius dalam mengikuti majlis ilmunya.
 Tentu saja, bocah itu memang dalam keadaan yang sangat miskin. Bahkan, untuk membeli pena dan beberapa alat tulis untuk mencatat pelajaran saat itu saja ia tidak punya. Maka pada saat pelajaran berlangsung dia pun sama sekali tidak menulis apapun. Tak ada yang bisa dilakukannya saat itu kecuali meletakkan jarinya di mulut, kemudian dia menulis dengan jari telunjuk kanannya di atas telapak tangan kirinya. Dan hal ini ia lakukan secara berulang-ulang.
Imam Malik yang menyaksikan pemandangan itu mengira bahwa ini adalah tingkah anak kecil yang kurang pantas dilakukan dalam majlis ilmu. Bagi beliau, ini bukanlah suatu adab yang baik dalam menghormati ilmu. Maka ketika telah berlalu 2 atau 3 pelajaran, Imam Malik pun memanggil bocah itu.
“Wahai, Pemuda … kemarilah kamu!”
Maka datanglah bocah laki-laki itu dan duduk di hadapan Imam Malik.
“Jangan kau hadir lagi di majlisku!” perintah Imam Malik.
Dengan raut wajah penuh heran, bocah itu bertanya, “Kenapa?”
“Karena kamu bermain-main. Kamu datang ke majlisku tidak lain hanya untuk bermain-main dan melakukan hal yang sia-sia.”
“Demi Allah, aku sama sekali tidak berbuat hal yang sia-sia. Kenapa bisa engkau mengatakan itu?” jawab bocah itu.
“Karena kamu menaruh ludah di telapak tanganmu kemudian menggerak-gerakkannya. Dan ini adalah sia-sia.”
“Tidak, Wahai guruku. Sungguh aku hanya menuliskan hadits saja. “
“Kalau begiitu, mana alat tulismu? Mana pena dan kertasmu? Mengapa kamu datang tanpa membawa apapun? ” lanjut Imam Malik bertanya.
Aku adalah orang miskin. Demi Allah, aku sama sekali belum mampu untuk membeli itu semua. Dan aku hanya bisa menulis seperti itu supaya aku bisa menghapalnya. Jika engkau bersedia, maka aku akan menyetorkan seluruh hadits yang sudah engkau sampaikan.”
Imam Malik menjawab, “Lakukanlah dan setorkan!”
Maka ketika itu juga bocah itu memenyetorkan seluruh hadist dari awal ia belajar hingga akhir dengan sempurna.
Kemudian Imam Malik segera mendekatinya dan mendekapnya penuh hangat. Mulai saat itu beliau mulai membantunya dan bocah itupun menjadi terhormat.
Kisah ini adalah potongan dari riwayat seorang ulama besar. Bocah inilah yang sampai saat ini kita kenal sebagai salah satu dari empat imam mazhab terbesar yang masyhur dengan sebutan Al-Imam As-Syafi’i. Keteladanan yang dicontohkan oleh seorang ulama seperti beliau inilah yang patut kita ikuti.
Inilah bentuk suatu keutamaan bagi seorang penuntut ilmu. Dan tentu saja hal ini tidak akan pernah didapatkan kecuali mereka yang niatnya benar, tujuannya baik, dan tentunya semuanya karena semata ingin merealisasikan suatu ketaatan kepada Allah SWT sebagai seorang hamba. Oleh karenanya, Syaikh Muhammad Al-‘Arify, salah satu ulama asal Arab Saudi itu pernah mengungkapkan bahwa keutamaan orang yang berilmu seperti ini dibandingkan orang yang rajin beribadah laksana keutamaan cahaya bulan purnama atas seluruh cahaya bintang-bintang di langit malam.

Semoga kita sebagai penuntut ilmu bisa menjadi sosok yang mampu meneladani apa yang dicontohkan Imam Syafi’i kepada gurunya Imam Malik. Dan satu hal yang perlu kita ketahui adalah bahwa segala sesuatu bila dilakukan dengan ketulusan yang jernih, tujuan yang murni, dan ketakwaan yang tinggi, maka dengan sekelumit rintangan apapun itu, insya Allah Dia sang Maha Kuasa akan membukakan jalan yang lebar untuk mencapainya. Ilmu yang dicari dengan unsur-unsur dasar seperti itu akan membuahkan suatu keberkahan. Dan tentu saja keberkahan itulah yang akan mengantarkan kita menjadi sosok emas yang dirindukan Islam. 

Selasa, 15 Desember 2015

Bagaimana Cara Menilai Sesuatu?

Bicara soal makna dari apa yang disebut dengan kebenaran, maka kita bisa menyebut bahwa hal itu dengan sangat ‘mudah’ untuk digambarkan. Bisa jadi ‘benar’, bila ada segolongan yang menyebutkan adanya ganjaran pahala yang besar pada hukum nikah mut’ah, atau memenggal kepala setiap muslim Sunni. Begitupun tak jauh beda dengan lahirnya pemikiran orang-orang ‘berpikiran luas’ yang beranggapan bahwa mengolok-olok agama adalah sesuatu yang dibenarkan. Dan sebenarnya, semua itu sama saja halnya dengan seseorang yang mengartikan istilah tuhan dengan yang tiga. Bahkan, masih banyak lagi perihal ‘kebenaran’ yang digambarkan dengan warna dan motif yang sedemikian rupa ragamnya. Mengatakan bahwa sesuatu itu adalah benar sesuai dengan keyakinan yang mereka benarkan.
Islam sendiri sesungguhnya sudah menanamkan dan mengajarkan nilai-nilai ajarannya secara menyeluruh. Kebenaran yang terkandung di dalamnya akan senantiasa diakui selama itu semua merupakan buah dari Alqur’an dan Sunnah, pun kemudian tidak ada yang salah dan atau melenceng dalam penafsirannya.
Maka dari sinilah muncul suatu gagasan penting akan urgensi seorang muslim dalam peran meluruskan makna atau nilai dari kebenaran itu sendiri. Dan asasnya adalah pada “sumber” dari mana datangnya kebenaran itu. Karena sudah barang tentu, bahwa Islam tidak mungkin akan mensejajarkan pendapatnya dengan pendapat-pendapat lain yang benar-benar sudah kelewat batas dari garis lingkaran Alquran dan Sunnah.  
Agar lebih teliti dalam memaknai nilai kebenaran itu adalah dengan meninjau bagaimana cara mereka bersudut pandang. Banyak sekali contoh yang disebutkan dari kedua sumber utama tersebut. Kita ambil beberapa dari yang terangkum dalam Sunnah Rasulullah SAW. sebagai berikut:
Pertama, yaitu sebuah riwayat tentang seorang ibu yang membawa anaknya dalam gendongan untuk berjalan-jalan. Ketika itu, melintas di depannya seseorang pemuda yang terlihat begitu shalih dengan berpakaian putih bersih lagi rapih. Lantas sang ibu yang kagum pun mendoakan anaknya agar ia bisa seperti orang shalih yang dilihatnya tadi. Namun, yang terjadi benar-benar di luar dugaan. Saat itu juga anak itu langsung membantah dengan berkata, “Ya, Tuhanku, jangan engkau jadikan aku seperti orang itu!”
Kemudian, di lain waktu melintas kembali seorang penunggang kuda yang tengah dikejar oleh orang banyak. Diduga bahwa dia adalah seorang penjahat. Dan benar, pada saat itu juga lelaki itu pun dibunuh oleh warga setempat. Melihat kejaddian tersebut, seketika sang ibu pun berdoa lagi untuk yang kedua kalinya agar anaknya terlindung dari golongan orang-orang seperti lelaki yang dibunuh tadi. Namun, lagi-lagi sang anak membantah dengan berucap, ”Ya, Tuhanku, jadikan aku seperti itu pemuda itu!”
Adapun contoh riwayat selanjutnya, yaitu tentang sahabat Rasulullah SAW. dari golongan Anshar. Ini terjadi ketika Nabi SAW. membagikan harta yang terkumpul kepada serombongan golongan yang kala itu mereka memang baru memeluk Islam. Beliau SAW. bukan hanya memberi sebahagiannya saja, tapi seluruhnya merata untuk rombongan itu. Mereka pulang membawa unta dan banyak bekal berupa senjata dan makanan.
Kaum Anshar yang saat itu juga sedang berkumpul menyaksikan dengan seksama bagaimana Rasulullah SAW. membagikan harta tersebut. Kemudian ada beberapa di antaranya yang berdesas-desus. “Nampaknya, Rasulullah mulai berpihak pada mereka,” kata salah seorang dari mereka kepada seorang lainnya.
Rasulullah SAW. tahu apa yang akan dipikirkan kaum Anshar saat itu. Maka dari itu, selepas rombongan yang baru masuk Islam itu kembali ke kotanya, beliau mengumpulkan kaum Anshar semuanya tanpa terkecuali. Sungguh beliau tahu betul apa yang seharusnya seorang pemimpin tanggungjawabkan atas apa yang ia lakukan tersebut.
“Wahai, Kaum Anshar! Aku hendak bertanya kepada kalian perihal sesuatu dari apa yang barusan kalian saksikan. Manakah di antara kedua pilihan yang paling kalian sukai dan lebih dibanggakan. Kalian pulang ke rumah dengan membawa harta perang berupa unta, senjata, dan bekal lainnya itu, ataukah kalian pulang bersama Rasul kalian?”
Maka saat itu juga mereka menangis haru dan tunduk. Ada sesal di hati mereka karena telah terdetik untuk iri hati dengan keduniaan yang tiada arti itu. Sungguh, tak ada yang lebih mereka sukai dan banggakan daripada kesempatan bisa pulang bersama manusia pilihan pembawa kebenaran itu. Dan ini merupakan kemenangan sesungguhnya.
Kemudian adapun yangterakhir, sebuah kisah menarik yang sudah cukup masyhur di kalangan kita. Yaitu tentang Julaibib RA, sahabat Rasulullah yang memiliki paras dan postur tubuh yang jauh dari menarik.
Suatu ketika, dia datang kepada Rasulullah SAW. dan bertanya, ”Wahai, Rasulullah ... apakah orang sepertiku pantas mendapatkan seorang istri yang layak (bersedia) menerimaku?”
Maka Rasulullah SAW. pun menjawab, “Tentu saja wahai, Julaibib. Maka sekarang juga datanglah ke rumah fulan untuk melamar putrinya atas perintahku!”
Mendengar perintah itu, Julaibib pun langsung mendatangi rumah yang dimaksudkan oleh Rasulullah SAW. Setibanya di rumah itu, sang tuan rumah sangat senang dengan kedatangannya dan menyambut dengan baik. Awalnya, mereka mengira bahwa Rasulullah yang mengutus Julaibib untuk menyampaikan kehendak Nabi untuk melamar putrinya. Tapi, setelah mengetahui bahwa yang sebenarnya hendak melamar adalah pemuda itu, maka kedua orangtuanya menolak.

Kecuali putri shalihahnya yang langsung bersedia taat menuruti pesan Nabi untuk menikah dengan Julaibib. Karena baginya, tak ada yang lebih baik untuk ditaati dan dipilih kecuali dari apa yang telah diridhoi oleh seorang Rasulullah. Maka Julaibib pun akhirnya menikah dengan putri shalihah itu.
Tibalah pada malam pertama saat Julaibib hendak mempergaulinya, kemudian terdengar seruan berjihad. Sehingga dengannya, membuat Julaibib menduakan kehendaknya untuk mempergauli istrinya itu dan lebih mengutamakan panggilan jihad tersebut. Dia pun akhirnya berangkat ke medan perang.
Hingga ketika perang usai, Rasulullah memerintahkan para sahabat agar setiap orang mencari saudaranya yang syahid. Maka ketika itu juga dikumpulkanlah mayat-mayat para syuhada. Karena tidak adanya orang yang mengenal Julaibib, hingga tak ada seorangpun yang membawa mayatnya untuk dikumpulkan.
Rasulullah SAW. terus mencari-cari. Sahabat pun heran, siapa gerangan yang beliau cari. Ternyata, ketika itu beliau menemukan mayat Julaibib. Lalu dengan penuh kasih saying ia bawa tubuhnya, kemudia beliau juga yang membawanya masuk ke liang lahat. Maka dikatakan di khalayak para sahabat yang menyaksikan, “Dia adalah saudaraku, dan aku adalah saudaranya.”
Sungguh mencengangkan. Ketiga riwayat ini membuat kita semua hampir tidak berdaya. Ilmu Allah dan Rasul-Nya benar-benar di atas kemampuan akal kita. ada kebaikan di sebalik keburukan, da nada keburukan di sebalik apa yang kita anggap itu baik.
Maka kita belajar sesuatu hal yang begitu penting dari semua ini. Tidak semua yang kita pikir benar itu selalu baik. Kebenaran mereka berfatwa adalah kebenaran yang bersumber dari apa yang mereka yakini. Namun, kebenaran yang Islam pilih tentulah merupakan sesuatu yang sudah Allah tetapkan di dalamnya terkandung begitu banyak kebaikan.
Inilah cara yang perlu kita pelajari akan bagaimana menilai sesuatu. Benar tidaknya atau baik buruknya semua telah dijawab dalam Islam. Islam datang memberikan petunjuk lewat pedoman-pedoman yang dimilikinya. Tinggal bagaimana cara kita agar bisa memilih dan memanfaatkan petunjuk yang ada.


Sumber: Kitab Nuurulyaqiin, Riyaadhus-shaalihiin.