Jumat, 14 Oktober 2016

JEJAK KAKIKU BERSAMAMU .... (2)

Padahal sudah beberapa hari masuk sekolah, tapi masih saja membuatku merasa semakin sendiri. Bahkan, tak jarang aku tak mau berangkat sekolah. Kecuali setelah kejadian itu. Kala pertama kali aku melihat seorang wanita yang kupanggil ummi itu berpaling membelakangi mukanya dari tatapanku. Matanya menitikkan bulir air mata.

Barulah, aku sadar. Setelahnya, tak ada lagi rengekan tak mau sekolah. Tak ada lagi. Aku janji!

****

Aku belajar untuk mengenal orang-orang dengan postur tubuh yang hampir semuanya serupa denganku. Memberanikan diri menjabat tangan untuk pertama kalinya. Lalu terucap dari bibir yang kaku dan gemetar ini sepatah dua patah kata, "Siapa namamu?" Lalu lelaki dihadapanku pun menjawab dengan senyum, "Aku Faruq,"

Itulah kali pertama aku belajar mengenal orang-orang yang ada di sekeliling. Itu pulalah yang menjadi awal mula aku menulis sebuah cerita. Cerita yang dulu tak pernah aku sadari, ternyata begitu manis itu semua dilalui. :)

Apalagi, ketika guru-guruku ramah menyapa setiap anak. Senyumnya menenteramkan jiwa anak kecil seperti kami. Bicaranya selalu menarik hati kami. Di sana ada cinta. Dan di sana ada ketulusan yang tak bisa dibandingkan dengan apapun. Itulah yang mereka berikan pada kami.

****

Masuk kelas jam tujuh tepat. Dimulai dengan duduk-duduk melingkar. Di setiap genggam tangan anak-anak ada Alqur'an. Waktu itu, tak kulihat ada seorangpun yang masih memegang buku Iqro'. Semua sudah pandai membaca Alquran. Di sebalik itu, ada hati yang mekar. Ada jiwa yang tersiram air segar. Ya Rabb, inikah jalan indahMu mempertemukanku dengan mereka?

Di dekat meja kecil, duduklah seorang Bu Eni. Ustadzah yang pertama kali mengajariku untuk bisa menghafal Alquran. Semoga Allah membalas jasa-jasa beliau. Ada juga Bu Meti, (berjilbab hitam), duduk memperhatikan anak-anak. Aku tak sadar saat itu. Hingga sadar itu baru terbangun sekarang. Bahwa sesungguhnya, jiwanya tidak hanya sedang memperhatikan gerak-gerik anak-anak. Tapi di setiap embus nafasnya ada kepulan doa-doa yang naik ke langit. Berharap doa itu menjadi hujan yang menyirami benih-benih jiwa para pejuang Allah di tanah hati kami, para muridnya. Ya Rabbi, aku tak mampu membalas setiap usaha beliau. Semoga Jannah adalah hadiah terbaik yang pantas untuknya. Aamiin.

Halaqah Quran biasanya selesai jam sembilan. Jam setengah sepuluh di sambing pelajaran lagi di kelas. Itu mencakup pelajaran Aqidah, Akhlaq, Siroh, Bahasa Arab, dan berbagai macam mata pelajaran umum lainnya. Bu Lita, Pak Ilyas, Pak Thohir, mereka yang mengajari kami semua itu.

Yang lebih penting dari inti sebuah materi adalah, adab seorang muslim. Kami diajarkan akhlaq sebagaimana yang diajarkan Rasulullah SAW. Ya Allah..., berikanlah mereka umur yang panjang dan berkah. Berikanlah mereka semua rizki yang cukup. Semoga, amal-amal mereka selama ini menjadi mata air yang selalu mengucur deras padanya pahala-pahala. Aamiin.

Sabtu, 08 Oktober 2016

JEJAK KAKIKU BERSAMAMU....

Selepas shalat shubuh tadi, entah mungkin efek lelah setelah sembilan jam perjalanan malam dari Klaten-Jakarta, tetiba tangan seperti ada yang mengendalikan untuk mengobrak-abrik rak buku di kamarku.

Ataukah mimpi berdurasi pendek saat sejenak terlelap di kereta itu menjadi pendorong keinginanku menelisik kembali suatu memoar. Tak ada yang tahu tentang cerita-cerita yang bertabur penuh bintang itu. Cerita saat-saat aku memulai melangkah di jalan kenyataan sebuah hidup. Memoar senyum yang menyeret air mata kebahagiaan di ufuk timur sebelum terbitnya mentari setelah fajar.

Itu dia! Kuambil sebuah buku album yang telah usang. Kucari-cari. Dan akhirnya, ketemu! Foto ini. Alhamdulillah, akhirnya kudapati lagi kenang ini.

****

Saat itu, seorang lelaki sederhana yang menaiki motor vespa bersama seorang wanita cantik berjilbab panjang membawaku ke sebuah bangunan yang belum pernah kulihat sebelumnya. Ketika tiba, aku masih dalam kebingungan. Kueja pelan-pelan sebuah papan yang terpampang di depan pintu gerbang hitam bertuliskan sebait tulisan tebal. ES-DE-I-TE AL-IH-SAN. Begitulah bibirku yang sudah mulai bisa membaca merapal ejaan tersebut. Ada sebuah logo di samping tulisan itu. Seperti gambar sebuah buku. Atau lebih tepatnya itu seperti Alquran.

Ya, aku ingat. Sebelumnya. Pagi-pagi sekali, mereka sudah harus repot mengurusku. Membangunkan aku ketika langit masih gelap. Kemudian lelaki yang kupanggil "Abi" itu menuntunku menuju masjid untuk melaksanakan shalat dua rakaat. Sebagaimana yang akhirnya kumengerti, bahwa itu adalah shalat shubuh.

Abiku pernah mengatakan, shalat ini adalah permulaan bagi manusia-manusia hebat. Orang-orang hebat itu akan keluar malangkah ke masjid untuk shalat shubuh berjamaah. Dan mereka akan mendapatkan kesegaran shubuh yang menyehatkan. Lalu, beliau kembali mengajariku sesuatu alasan mengapa shubuh hari selalu terasa segar. Saat dahiku mengerut, kutanya mengapa? Jawabnya, karena udara saat shubuh belum tercampur dengan nafas orang munafik. Awalnya aku tak mengerti. Namun, akhirnya aku dapat menyimpulkan sesuatu. Bahwa yang termasuk orang munafik adalah mereka yang lebih memilih nikmatnya terlelap dalam tidur dibanding shalat shubuh berjamaah di masjid. Terimakasih, Abi ....

Kemudian, saat bergegas mempersiapkan diri, hari itu aku merasa ada yang aneh. Wanita yang kupanggil "Ummi" itu sudah menyiapkan aku baju kemeja putih baru dengan pasangan celana hijau yang juga baru.

Aku bertanya-tanya, "Ummi, mengapa pakaianku hari ini beda?"

Kemudian, dengan senyum ia menjawab, "Hari ini, kau akan mulai menjadi pejuang Allah, Nak."

"Maksudnya, jadi jagoannya Allah? Seperti Zubair bin Awwam ya, Mi?" Aku suka tersenyum kalau mengingat kepolosanku ini.

"Iya, Nak. Makanya, ayo pakai sendiri bajunya ya. Biar ummi siapkan sarapan untuk abang."

Maka mulai hari itu, aku pernah bermimpi menjadi seorang panglima pembela Rasulullah SAW sebagaimana yang pernah mereka ceritakan padaku. Namanya sahabat Zubair RA kupinjam. Maka aku harus bertanggung jawab untuk menjaga nama baik sahabat mulia ini. Insya Allah.

****

Ketika vespa tua itu diparkir di halaman sekolah baruku, aku gemetaran. Tanganku memegang erat baju ummi. Abi kemudian menuntun tanganku menaiki tangga. Katanya, kelasku ada di lantai dua. Aku sempat menolak. Bahkan merengek menangis! Dan ternyata, air mataku terus tumpah. Aku takut. Entah, setelah dewasa ini, aku bertanya-tanya. Sebenarnya, ketakutan macam apa yang dulu kualami? Hingga tak berani masuk kelas? Haha.... Kalau sekarang, mungkin aku akan bilang ke diri sendiri, "Dasar anak cengeng!"

Mulai saat itu, sampai beberapa hari ummiku harus rela menunggui anaknya di depan kelas. Alasannya cuma hanya ingin menemaniku. Memastikan sekaligus ingin meyakinkan anaknya agar tak boleh menangis lagi saat di sekolah.

Zubair dewasa kini mengerti. Ada berbagai cara yang dilakukan oleh seorang ibu, apapun, dan bagaimanapun. Ia akan berjuang sepenuhnya untuk anaknya. Dia akan berlelah-lelah untuk anaknya. Semuanya adalah bentuk dari kasih seorang ibu. Sebagaimana sebuah lagu masa kecil, Kasih ibu, kepada beta. Tak terhingga... Sepanjang masa."

Ya, dulu aku baru tahu dari Bu Lita, guru yang berhijab putih itu. Ia mengatakan, bahwa ibu ialah wanita yang surga berada di bawah telapak kakinya. Maka pada saat itu, aku berjanji pada diri sendiri. Tak ingin membuat telapak ummi kotor sedikitpin oleh debu jalanan. Apalagi sampai tergores. Karena di sana, ada istana surga. Karena di sana, ada keridhoan yang tak terbayar dengan apapun. Terimakasih, Ummi.... Aku sayang ummi dan abi. Semoga Allah menjaga kalian selalu.

Bersambung, insya Allah....

Senin, 03 Oktober 2016

KASUS PERGAULAN ANAK: SALING MENGEJEK SESAMA

Ketika di rumah, kita sebagai orangtua perlu langsung memperhatikan dan mengawasi setiap tingkah dan polah sang buah hati. Baik itu dari perbuatan maupun lisan, sewaspada dan sedini mungkin harus kita awasi mulai dari hal terkecil apapun. Mengapa dari hal kecil perlu diperhatikan? Ini semua bertujuan agar si anak bisa terbentuk pola kehidupannya secara alami dari apa yang sudah menjadi kebiasaan mereka sejak dini. Yang jadi pertanyaan, apakah pola itu baik atau buruk? Itulah yang menjadi tugas kita.

Dari beberapa fenomena yang terjadi seputar pergaulan anak-anak, ada kasus yang paling sering terjadi di antara mereka. Apalagi kalau bukan saling ejek-mengejek antar sesama. Karena segala perbedaan di antara mereka sudah menjadi keniscayaan, maka jika belum mampu terbina dengan baik jiwanya, maka terjadilah sikap saling mengejek antar sesama.

Lalu siapa yang perlu disalahkan? Orangtuanya di rumah kah? Atau gurunya di sekolah? Atau tetangga? Masa kita harus menyalahkan pak RT juga? Hehe...

Salah satu yang bisa kita bagi di sini adalah dengan cara memberikan pengertian lebih kepada mereka akan akibat atas perbuatan tercela tersebut. Mari sejenak kita simak petikan sebuah riwayat singkat di bawah ini agar anak-anak bisa bisa sedikit-banyak mampu mengambil pelajaran darinya. Semoga ayah bunda bisa membantu untuk menjelaskannya kepada sang buah hati tercintanya.

Suatu kesempatan, dua sosok paling tersohor dan paling mulia di bumi sedang berkeliling sekitar pemukiman warga bangsa Arab. Dialah Al Amin, Rasulullah SAW dan karib sejatinya, Ash Shiddiq, Abu bakar RA.

Di tengah perjalanan, tiba-tiba datanglah seorang lelaki dengan tubuh besar dan kekar, secara spontan mengajak Abu Bakar RA untuk bertengkar. Entah karena perkara apa, namun begitulah kehidupan ketika masih berada pada zaman kejahiliyahan yang berlumur kezhaliman masih melekat erat pada jiwa lelaki besar itu.

Menyaksikan pemandangan tak menyenangkan itu, Abu Bakar RA hanya diam tak menggubris sikap tak berguna semacam itu. Dia sabar, dan tak mau ikut campur mengurusi tantangan si lelaki besar itu. Menyaksikan hal itu, Rasulullah SAW kemudian menatap sahabatnya yang berpostur kurus itu, kemudian tersenyum lega. Terlihat raut wajah Rasululullah memancarkan cahaya kesenangan dalam dirinya.

Namun, ternyata sikap keras kepala orang jahiliyah itu tetap menguasainya. Ia tetap menantang dan bahkan semakin keras memperlakukan Abu Bakar RA. Ia mengejek, dan terus menghinakan sahabat Abu Bakar RA di depan Rasulullah SAW. Sesekali memukul beliau dengan pukulan cukup keras.

Hingga, sifat manusiawi seorang Ash Shidiq pun membuncah. Ia terlihat jengkel dan kesal, hingga akhirnya ia pun membalas apa yang dilakukan lelaki itu. Barulah ketika dipukulnya sekali saja, sang lelaki itu pun berhenti untuk menantangnya dan pergi.

Tapi, di saat yang sama, ternyata Rasulullah SAW sudah lebih jauh melangkah menjauhi Abu Bakar RA. Abu Bakar RA mengira bahwa Rasul telah marah kepadanya, hingga ia pun mengejar langkah kaki Rasulullah SAW sampai posisinya kembali sejajar lagi dengannya.

"Ya Rasulallah, mengapa engkau bangkit dan pergi menjauh dariku? Padahal, tadi kau sebelumnya tersenyum indah kepadaku," tanya Abu Bakar kepada orang yang paling dia kasihi itu.

"Aku tersenyum bahagia pertama kali saat itu, karena aku melihatmu diam dan bersabar ketika engkau disakiti dengan bermacam hinaan oleh orang. Maka di sana pulalah aku menyaksikan para malaikat turun ke bumi dengan saling memanjatkan doa. Pertama, doa agar membalikkan kehinaan kepada orang yang tadi telah menghinakanmu itu. Dan kemudian doa agar Rabbmu menurunkan limpahan rahmat-Nya yang belipat-lipat kepadamu. Namun, saat kau membalas orang itu, aku segera bangkit dan melangkah menjauh. Bukan karena ingin berpaling darimu, tapi saat itu aku benar benar menyaksikan para malaikat naik ke atas, dan para setan berkumpul mengelilingimu. Mana mungkin aku mau berdiri berdekatan dengan mereka -para setan?"

Inilah penggalan riwayat yang mungkin bisa membantu kita belajar untuk tidak saling mengejek. Sama saja, entah itu bercanda ataupun tidak. Lisan dan hati ini harus benar-benar di jaga.

Sebagai contoh lain, kita umpamakan dari dua orang anak yang belajar dan menghafalkan Alqur'an. Katakan si A memang memiliki kelebihan cepat menghafal. Dan sebaliknya, si B saaaangat lambat menghafal.

Tak ada yang berhak mengatakan dan memvonis si B bahwa dia adalah anak bodoh. Dia tak mampu. Dia tak punya potensi, dan sebagainya.

Kenapa? Karena sesungguhnya hanya Allah-lah dzat yang segala ilmu berada dalam kuasa-Nya. Bisa jadi, Allah senang dengan bacaan si anak yang sulit menghafal itu. Bisa jadi, Allah ketagihan mendengar ayat-ayat-Nya yang terlantun dari bibir si anak itu. Dan bisa jadi, Allah ingiiin sekali melihat si anak itu terus berusaha untuk menhafalkan ayat-Nya. Hatta mungkin seakan-akan Allah berkata, "Aku mencintai anak ini. Ia merasa sulit belajar dan menghafal kitab-Ku, tapi dengan kepayahan itu dia mau terus mengusahakannya. Maka kuturunkan bagi-Nya rahmatku. Terus-menerus. Tanpa henti."

Inilah secuil pelajaran yang bisa kami berikan. Terkhusus untuk para orangtua, (begitu pula kepada yang kelak akan menjadi orangtua.) Maka mari sama-sama pahamkan kepada anak-anak tentang perhiasan paling berharga bagi seorang muslim, yaitu akhlaqul kariimah. Akhlaq yang terpuji.

Jauhkan anak-anak kita dari sifat-sifat yang dimiliki setan. Sifat tercela yang membuat kemuliaan haqiqi seorang muslim jadi cacat. Termasuk sifat saling mengejek dan mencela sesama. Mari bersama perbaiki moral bangsa. Mari ikut andil dalam membangun peradaban emas. Peradaban kejayaan Islam. Sebagaimana yang sangat dirindu-rindukan oleh Rasul SAW dan para sahabatnya radhiyallahu anhum.

Wallahu A'lam bish showaab...