Kamis, 30 Juli 2015

Berlayar Untukmu

Dik, tahukah kau? Benih-benih yang tertanam di tanah hatiku ini terus tersiram oleh air mata cintamu. Dengan sedih dan pilu yang mendera, kau curahkan semua dalam diam berteman tangis yang mudah terbaca olehku. Bagaimanapun caranya kau sembunyikan itu.

Dik, rasanya aku ingin menjadi penghiburmu. Menjadi obat luka yang menganga di hatimu. Terlalu sadis, tragis. Sungguh, aku sudah tak tahan lagi 'tuk melihat air mata itu.

Andai saja bisa kuungkapkan, maka aku ingin membersamaimu. Berlayar denganmu, walau hanya dengan sekoci sederhana milikku. Biarlah aku yang lelah mendayung menuju pulau yang kau mau. Atau biarlah aku yang harus rela bertarung melawan kehidupan di atas samudera biru. Apapun itu, asalkan kau mampu istirahat tenang di pundakku. Melepas segala kelam gulana yang dulu menimpamu.

Aku pun jua tak mengharap balas kasih darimu. Dalam diam, aku mengagumimu. Dalam senyam, aku ingin berkorban untukmu. Dalam sepi, aku ingi menerangimu dengan sisa cahayaku. Agar apa? Agar kau sampai kepada apa yang kau mau. Yang kau tuju.

Walau itu bukanlah aku ....

Klaten, 30/07/2015

Selasa, 28 Juli 2015

Abang Sayang Kalian

Terhitung sudah dua puluh hari aku kembali membersamai mereka. Sudah bertahun-tahun berlangsung seperti ini. Semasa SMA di pesantren, kuliah, dan sekarang saat mengajar, aku jarang membersamai mereka.

Bagaimana tidak rindu, jika suasana kumpul bersama, tertawa riang, melihat tingkah-tingkah lucu lagi menggemaskan itu harus disudahi dahulu. Semua benar-benar membuatku merasa teramat rindu.

Nur Syahida, adalah adikku yang ketiga. Setelah dua abangnya yang kini sudah dewasa. Ia adalah seorang anak perempuan yang amat menarik kasih sayangku padanya. Jarang ia mengeluhkan masalahnya. Pikirannya yang dewasa membuat adik-adik lainnya merasa nyaman di dekatnya.

Selain itu, dia juga anak yang pandai dan sholehah. Selalu saja namanya berada di posisi teratas papan peringkat kelas. Sholat dan mengaji tak pernah ditinggal. Tentu saja karena didikan abangnya yang satu ini. Saya sendiri. Hehe ....

Selanjutnya adalah Muhammad Ridwan. Adik nomer empat. Laki-laki yang juga lucu. Kulitnya putih, rambut ikal, dan bentuk wajah yang lucu.

Sekarang dia sudah beranjak ke kelas dua. Ya, walaupun bulan puasa kemarin belum mampu puasa penuh, tapi ada satu hal yang kubanggakan. Ia tak pernah meninggalkan sholat lima eaktunya di masjid. Makanya, terkadang malu sekali jika aku belum sholat. Bahkan dia tak segan membangunkanku yang masih terlelap di kasur. Hehe, dasar anak sholeh! :)

Kemudian, adik selanjutnya adalah anak perempuan. Namanya Qonita Mufliha. Dari namanya, semoga menjadi doa agar dia benar-benar menjadi wanita yang taat mengikuti aturan Allah sebagai Sang Pencipta.

Masih berumur empat tahun setengah. Tingkahnya sungguh luar biasa. Kadang membuat bijir melengkung ke atas, kadang melengkung ke bawah. Suaranya itu yang bikin kangen. Apalagi kalau teriak-teruak. Aduuuh ... ampun deh. Maklum juga sih, namanya juga anak terakhir yang gak jadi. Hehe. Jadi terkadang suka cemburu sama adiknya yang menurutnya mendapat kasih sayang yang lebih.

Dan, ini dia yang terakhir. Bocah perempuan mungil yang lucu kalau memakai jilbab. Pinter selfie dengan gaya-gaya natural genitnya, hahaha.
Paling seneng kalau lagi ngikutin mpok-mpoknya lagi sholat. Dia sendirian kesepian, dan akhirnya ngikut sholat deh.

Umurnya memang baru dua tahun, tapi gayanya udah seperti orang dewasa. Pintar dan menggemaskan. Semoga kelak menjadi anak yang sholeh. Yang bisa mengangkat derajat orang tua baik di dunia maupun di akhirat. Aamiin.

Untuk kalimat penutup, ada yang ingin kubisikkan pada mereka.

"Dik, abang sayang adik semua ...."

Kami pun berpukan. Kuciumi pipi mereka satu persatu. :) Doakan abangmu ini ya. Supaya sukses, dan bisa menyekolahkan kalian. Terutama menjadi para penghafal qur'an.

Apakah Cinta Bisa Secepat Itu?

Entah mengapa kejadian itu betah singgah dalam kepalaku. Selain mengganggu waktu istirahatku, hati juga jadi ikut protes karena merasa terusik. Padahal hanya kejadian kecil. Wanita itu hanya meminta tolong mengambilkan tas yang dia letakkan di tempat peletakkan barang dalam kereta itu.

Ya, awalnya memang ini hanya masalah biasa. Semua berubah jadi luar biasa hebat saat dirinya terpeleset jatuh karena menyandung kakiku, tak lama setelah ia mendapatkan tasnya. Namun apa daya, keadaan dalam kereta saat itu sedang cukup lengang. Walau tak banyak orang yang menyaksikan, tapi aku sungguh benar-benar tak sengaja meraih tangannya. Kupegang tangannya agar ia tak terjatuh ke lantai.

Ia berkerudung putih panjang. Dengan mengenakan rok yang sedikit menutupi kakinya yang tertutup kaus kaki. Aku juga bingung kenapa bisa sedetil itu mengamatinya. Maka, seketika kulepaskan tanganku, dan membiarkannya bangkit sendiri dan mengontrol posisinya.

Ia tersenyum. Wajah ayu nan bercahaya itu kemudian tersenyum mengarah kemadaku.

"Maafkan aku, Mas. Aku tak sengaja menyandung kakimu. Sekali lagi maaf ..." ucap wanita itu.

"Justru aku yang harusnya meminta maaf. Karena kakiku, kau jadi tersandung. Dan ..., maaf jika aku lancang memegang tanganmu," jawabku juga hendak meminta maaf.

"Hmm, tak masalah. Lain kali, Mas tak perlu mencegahku seperti itu. Semoga ketidaksengajaan ini dimaafkan oleh Tuhan."

"Baiklah. Sekali lagi aku minta maaf," sahutku menyesal.

Ia hanya tersenyum. Pipinya sedikit memerah. Lalu berpaling dan bergegas meninggalkan gerbong kereta tepat di stasiun Tebet.

Kemudian aku teringat tentang jam tangannya yang kutemukan jatuh di lantai kereta. Kuperiksa kembali tasku. Ternyata masih ada.

"Kapan kiranya aku bisa bertemu dirinya lagi ya? Eh, maksudku untuk mengembalikan jam tangan miliknya," Aku melantur berbicara pada cermin sambil memegang jam tangan itu.

Apakah aku jatuh cinta padanya? Tapi, apa secepat itu?

Jakarta, 28 Juli 2015

Janji yang Dirindukan


Oleh : Rahmat Zubair

Bayang awan melintas cepat di tanah karena tertiup angin yang cukup kencang. Mengusir naungan yang sempat melindungi kulit Ismael dan Mousa dari teriknya panas matahari siang itu. Debu-debu pun berterbangan liar, membuat kedua remaja itu menutupi matanya dengan tangan, menghindar agar tidak kelilipan.
“Anginnya sudah berlalu, El,” tukas Mousa pada Ismael yang masih menutupi matanya.
“Benarkah?” tanyanya seperti kurang yakin.
“Tak usahlah kau berpura-pura lagi. Aku sudah kenal dirimu sejak lama. Jadi, aku hampir tahu semuanya tentangmu. Termasuk tentang dirimu yang cengeng itu,” tembak Mousa sekenanya.
Benar sekali. Tak ada yang bisa disembunyikan Ismael dari sepengetahuan Mousa. Mousa sudah mengetahui, bahwa Ismael tak hanya sedang menutupi matanya karena takut kelilipan debu, namun tidak lain dia juga sedang menangis. Ya, menangis meratapi tanah kelahirannya, desa Ramallah yang kini terlihat seperti habis ditimpa kiamat. Porak poranda!
Sambil mengusap air matanya, ia mendesah, “Mousa, bisakah kau tunjukkan kembali jalan menuju rumah Otsman dan Omar?” Ismael mengangkat wajahnya kembali setelah tertunduk cukup lama. Memaksa diri untuk lebih tegar. “aku sudah benar-benar tak ingat lagi di mana letak rumahnya setelah setiap bangunan rata dengan tanah seperti ini,” sambungnya.
Mousa menoleh ke arah Ismael sambil menyunggingkan senyum khalayak seorang sahabat karib yang penuh kasih. Kemudian mengangguk. Menandakan kesediaannya mengantarkan Ismael ke tempat yang ia inginkan.
Lalu mereka berdua melangkah turun dari bukit batu tempat mereka memandang desa kecil yang disebut Ramallah itu. Dengan telanjang kaki, Mousa terlihat lebih lincah melewati puing-puing bangunan di sana. Berbeda dengan Ismael yang nampak lebih berhati-hati dengan berbagai macam benda apa saja yang mungkin bisa merobek kakinya.

***

Sudah berlalu delapan tahun, saat pertama kali Ismael pamit kepada teman-temannya untuk hijrah ke Turki. Semua keluarganya memutuskan untuk meninggalkan tanah Palesina karena faktor tugas profesi kedua orangtuanya. Jadi, mau tidak mau Ismael harus ikut pindah ke Turki. Walaupun ia dulu sempat menangis hingga jatuh sakit selama seminggu karena tidak mau pergi dari tanah Ramallah tercinta.
Baru kali ini dia memaksa diri pergi sendirian dari Turki. Tujuan utamanya adalah menengok negeri pertiwinya yang selalu dirindu itu. Juga karena tak kuasa menahan kekhawatiran terhadap desanya yang sedang berkecamuk dijajah para bedebah. Ia menangis selama mendengar kabar tentang desanya yang dirampas kemuliaannya, juga diinjak-injak oleh para tentara paling kejam dan biadab di dunia. Yang selalu tamak dan tak pernah puas merampas hak kemerdekaan orang lain.
“Mousa, ini kan ...,” kata Ismael sambil mengambil lonceng sepeda yang sudah hancur. Namun ia masih sangat mengenalinya. Tempat itu adalah rumah Otsman. Dan lonceng temuannya itu juga milik Otsman. Di cangkang lonceng itu tertera tulisan yang dulu dia ukir sendiri. Ada 4 nama berbahasa arab yang tertera di sana. Otsman, Omar, Ismael, dan Mousa. Innanaa Anshaarullah*
“Dia sudah syahid mendahului kita, El. Kau masih ingat dia, kan?”
“Tentu saja. Aku takakan pernah bisa melupakan orang paling bersemangat sepertinya,” jawab Ismael.
“Ya, walau dia paling iseng dan menjengkelkan, tapi kulihat perangai aslinya yang seperti malaikat kala itu. Jiwa pemberani yang selalu semangat itu membuatku takjub. Ia seperti pejuang yang tak pernah takut musuh. Ia tak takut mati. Yang dipikirkan saat itu hanyalah bagaimana mengejar gelar syahid.” Mousa menjelaskan dengan nada suara agak rendah. Air matanya hampir jatuh ke pipinya, namun ia segera menyekanya sebelum terlihat oleh sahabatnya itu.
“Oh iya ... rumah Omar di sana,” lanjutnya sambil menunjuk ke arah barat laut dari tempat mereka berpijak, “ayo sekarang kita ke sana!”
Keduanya berjalan lagi melintasi tumpukan puing-puing yang berceceran di sepanjang jalan. Beberapa rumah masih berdiri, namun sudah gosong dan tidak kokoh sempurna  seperti sebelumnya. Adapun toko Abah Ahmed yang menjual anggur dan kurma sudah habis runtuh tak bersisa. Begitupun dengan pemilik dagangannya.
Mereka ingat sekali saat bersama rekan lainnya  membantu Abah Ahmed memetik dan mengangkut anggur dari kebunnya. Setelah itu pasti Abah selalu memberi upah dengan beberapa kilo anggur kualitas terbaik hasil panennya itu.
“Ya, kita sudah sampai. Ini dia rumah Omar. Ayah, ibu, dan adiknya selamat. Dan hanya dia yang gugur menggelar syahid,” jelas Mousa lagi.
“Kok bisa? Bagaimana mereka bisa selamat sedangkan dia sendiri tidak?” tanya Ismael masih bingung sekaligus penasaran.
“Dia juga disebut-sebut sebagai pahlawan Ramallah,” jawab Mousa.
“Apa, pahlawan? Maksudmu?”
“Ya, kala itu, si bocah cerdik yang keras kepala itu benar-benar menjadi pahlawan bagi penduduk di sini. Kebetulan saat itu hari sedang senja. Beberapa tank hendak menuju perbatasan untuk berjaga. Mereka telah menyiapkan persenjataan berupa bom yang akan mereka ledakkan secara besar-besaran ke arah Ramallah Barat ini di malam hari. Tapi, kami juga tidak tahu bagaimana dia bisa menyusup ke markas musuh. Dan dia memutuskan kabel komunikasi milik mereka yang terhubung langsung ke markas pusat. Dengan begitu, segala kejadian agak sulit terdeteksi. Dan rencana rahasianya pun akhirnya berhasil. Yaitu membunuh 12 tentara musuh yang bertugas saat itu dengan mudah dan dalam waktu singkat.”
“Sungguh? Jenius sekali dia, bagaimana bisa itu terjadi?!” tanya Ismael yang untuk kedua kalinya dibuat heran.
“Sebelumnya, dia sukses menyuruh penduduk agar segera mengungsi ke Ramallah Selatan. Awalnya memang mereka kurang percaya, namun saat itu aku membawa seitar 10 rekan lainnya untuk mendukung perintah Omar itu. Akhirnya, mereka pun bisa luluh mempercayai sarannya itu dan pergi menungsi ke bagian selatan. Tapi, dia sendiri tidak pergi bersama mereka. Aku menyaksikannya,”
“Lho, ceroboh sekali dia!” Ismael mulai terbawa emosi cerita Mousa.
“Dia kembali ke markas tentara musuh itu sesaat setelah shalat isya sebelum mereka melancarkan misi penyapuan penduduk. Dia meledakkan bom bunuh dirinya bersama para tentara yang sedang pesta miras di sana. Ledakan itu cukup terdengar keras dari Ramallah selatan. Dan yang lebih hebat lagi, berita ini terlambat sampai di telinga pemuka tentara pusat mereka. Makanya, setelah cukup lama, barulah setelah itu mereka tahu dan langsung segera mengirim jet-jet mereka yang meluncurkan rudal-rudal untuk menghabisi daerah barat ini tanpa ampun. Mereka mengira bahwa banyak dari kita yang tewas. Namun syukurlah, banyak yang terselamatkan. Kecuali Otsman yang ikut syahid bersama keluarganya karena saat itu mereka sedang shalat berjamaah.”
Lagi-lagi Ismael menitikkan air mata. Kali ini ia tidak menangis sendirian, karena Mousa sendiri pun sama-sama tak kuasa membendung harunya kisah perjungan manis sahabat mereka itu. Kemudian keduanya berpelukan saling menguatkan.
“Aku benar-benar merindukan mereka, El ….” Mousa mendesah.
“Begitupun halnya denganku. Aku rindu untuk bisa berjumpa lagi dengannya. Mereka pasti sedang menunggu kita untuk bermain bersama di taman surga,” balas Ismael.
“Ya, kau benar. Kini, saatnya kita yang memperjuangkan negeri ini. Memperjuangkan agama kita ini. Semoga amal-amal terbaik kita nanti mampu mengantarkan kita ke telaga surga, dan bermain bersama mereka lagi di taman –tamannya,” ucap Mousa.
“Kau janji akan melakukan yang terbaik?” Ismael menawarkan kelingkingnya.
“Tentu, in syaa Allah. Hatiku sudah dibuat haus oleh rindu. Demi melanjutkan estafet perjuangan mereka. Janji surga, menunggu kita!” jawab Mousa mantap .


--TAMAT—


Catatan:
*Otsman, Omar, Ismael, dan Mousa. Kami adalah para penolong Allah.

Ruang Penantian


Oleh : Rahmat Zubair

Sepi sembunyi di balik temaram
Senyum langit merekah menghibur hati yang bungkam
Pada bulan kasihku tersembah
Adakah sudi ‘kan menjamah?

Rebah lelah tubuh terjatuh di pangkuan tanah
Rerumput masam tak terima
Mengapa yang dirindu tak kunjung datang?
Kulesatkan sudah panahpanah doa: Jatuhlah kau bintang!

Percik cahya bersayap betah mengitari
Melantun melodi selaras rima tarian angin
Kutukan membawanya pergi
Dalam sesal kupancung kotak ingatan

Bintang! Harapku masih melekat dalam dedoa
Hukum semesta takkan ingkar atau dusta
Di ruang ini tetap kunanti
Gravitasi, ‘kan menuntunmu kembali memangku hati

Jakarta, 28 Juli 2015

Minggu, 26 Juli 2015

Melawan Sebingkai Rindu

Mawar hitam kunjung tumbuh di benak
Hati terluka parah tergores duri hingga terkoyak
Alirkan darah getir paling beracun
Sukma merintih perih lewat bulir bening tangisan

Dik, izinkan lentik jemariku kembali membelaimu
Walau sekadar lewat lukis wajah berbingkai kayu
Biar tak samar atau lusuh; bila masih kaukenakan baju debu 
Ah ... jiwaku terkurung di lingkar kutukan rindu

Dan bila kasih kembali menjajak bumi
Bertelanjang kaki aku 'kan lari menghampiri
Dan bila pun genggammu mampu memanja hati lagi
Kusewa waktu untuk sejenak berhenti bersama sisakan sunyi

Namun, adakah hati mampu menyulam tabah
Menerima kenyataan bila tulang-belulang telah menyatu dengan tanah? Sudahlah! Mungkin saatnya tiba kuakhiri
Tiada guna bila terus mencipta sketsa gundah tak bertepi
Maafkan aku, bila terpaksa harus membuang bingkai rindu ini

Rahmat Zubair, Jakarta, 27072015

Kau Anggap Apa Agamaku?

Sungguh ironi melihat negeri yang katanya memiliki populasi muslim terbesar dunia, namun sikapnya yang masih 'plin-plan' dalam menghakimi. Keadilan memang sulit, namun setidaknya apakah tidak ada usaha lebih untuk mau berlaku adil?

Kurasa, pemerintah sudah cukup bijak dalam mengajukan beberapa hukum kenegaraan. Berlandaskan pancasila, juga undang-undang negara Indonesia. Dan aku sangat suka dengan semboyan negeri, "Bhineka Tunggal Ika".

Tapi yang terjadi sekarang sungguh berbeda. Entah karena siapa, sekarang negeri ini terasa seperti boneka. Miniatur negara yang dimainkan oleh penjajah bawah tanah.

Negeri semakin miskin. Apalagi dalam hukum. Semua terbeli oleh uang, dan uang.

Terlebih tentang kehormatan yang sekarang aku berada di dalamnya. Yang juga menjadi kehormatan saudaraku yang berjalan pada jalan yang sama. Jalan Islam!

Katanya negeriku punya aturan. Mereka srbut itu kebebasan beragama. Aku paham dan tidak akan pernah menolak. Karena apa? Ya tentunya karena aturan itu tak menyimpang dari aturan agamaku.

Tuhanku berfirman, "Bagiku agamaku, bagimu agamamu." (QS. Al Kafirun : 6)

Adapun agamaku tak pernah memaksa siapapun untuk memeluknya. Karena agama punya adab. Tak ada paksaan apakah mereka ingin mengikutinya ataupun tidak. Tapi tentu saja cinta kami ada mereka tetap ada. Oleh karenanya, kami mengajak orang-orang untuk berjalan di atas agama Allah ini.

Tapi mengapa? Mengapa saudara kami uang SELALU ditindas? Tidakkah mereka diajarkan adab oleh agama mereka seperti yang Islam ajarkan kepada umat muslim?

Kenapa pengadilan hukum diam saja? Di mana para pegiat HAM yang dulu berkoar-koar tentang perihal hak dan keadilan? Di mana?

Kau sebut Islam itu keras. Kau sebut agamaku itu hina, dengan ajaran-ajarannya yang tidak adil. Kau sebut Islam yang dibawa nabiku ini selalu salah.

Kau, entah kau yang kafir, ataupun muslim itu sendiri. Kemunafikan mengantar kepada neraka. Maka kembalikan! Kembalikan hak kami sebagai orang-orang muslim. Jangan kau jual agama dengan kenikmatan dunia semata. Apalagi hanya sekadar uang.

Terbanglah, Kasih ...

Aku kembali berdiri di tempat ini. Tempat paling asing bagi mereka, namun istimewa bagi kita. Walau sebenarnya hanyalah sederhana selaksa kasih kita.

Kasih. Begitu kusebut karena kau lebih dari sekadar cinta. Saat pelangi di ujung sana menyaksikan, bibirku berucap janji akan sebuah tali persahabatan kita.

Kini, kau akan pergi. Meninggalkan semua kisah yang dulu pernah tertulis di sini.

Kasih, akulah sahabatmu. Dan ..., akulah yang harusnya menjadi teman hidupmu. Maaf jika aku terlanjur mencintaimu. Benih yang tertanam kita telah menjadi pohon besar. Kukira, ini akan kokoh. Namun, akhirnya akulah yang harus menahan beban tumbangnya.

Pergilah, Kasih. Terbanglah bersama taqdirmu. Takdir yang harus kuterima penuh ikhlas, karena dia bukanlah Aku.