Sabtu, 16 Januari 2016

Duri di Atas Karpet Merah

Tepat jam sembilan malam aku menapakkan kaki di tanah Klaten. Kupeluk semilir angin dengan hasrat penuh syukur sambil menghirup aroma malam yang berbeda dari malam-malam sebelumnya. Lebih mesra walau sekujur badan harus gigil dibuatnya.
Mataku gesit menengok ke arah kereta api yang barusan kutumpangi karena kini ia mulai melangkah pergi, mengikuti komando suara pluit yang ditiup sang petugas yang berdiri di ujung sana. Telingaku sedikit sensitif mendengar beberapa percakapan beberapa orang yang ramai di stasiun. Bukan, bukan! Sebenarnya bukan masalah bahasanya yang asing di telinga. Di Jakarta, aku sering kok dengar ibu-ibu di pasar yang memakai bahasa jawa. Yang bikin beda itu atmosfer-nya. Sekarang aku benar-benar akan berinteraksi dengan orang-orang di sini. Dan tentunya bukan hanya itu tujuanku ke sini. Selain menjalankan tugas dari kampus, aku juga ingin mengenal lebih dekat penduduk di sini. Terutma bahasanya itu, hehe.
Kakiku terus berjalan menuntut punggung yang sedikit pegal untuk bersegera melanjutkan perjalanan ke tempat tujuan, sebuah pondok pesantren. Kebetulan seseorang sudah menunggu di seberang stasiun dengan mobil. Syukurlah, jadi tak usah menyewa taksi atau ojek untuk mencari alamat tempat persinggahanku.
Jalan-jalan lurus dengan lingkungan yang nampak ramah, cahaya-cahaya penghias jalan yang menggantung pada ujung tiang-tiang di pinggirannya, pepohonan dan hamparan sawah yang memberi warna hijau tempat ini membuat mata terasa lebih dimanja. Begitupun dengan langit saat kuintip ia dari dalam jendela mobil, nampaknya juga genit tersenyum-senyum menyambut kedatanganku ke sini. Kilau indah gemintang yang berserakan menyerupa permata itu juga menari-nari di sana. Sungguh penyambutan yang istimewa!
"Kau ini kenapa?" tanya Marwan tiba-tiba. Aku kaget. Astaga, baru sadar kalau barusan aku sedang melamun. Dan khayalanku pun buyar. Hancur lebur.
Kami berangkat ke Klaten ini dengan misi dan tugas yang sama. Ada dua rekan yang menemani perjuanganku ini. Mereka adalah Marwan dan Aris. 
"Eh, nggak kenapa-napa, kok," jawabku sambil cengengesan dan menggelaeng-gelengkan kepala.
"Tapi kenapa kau tersenyum sendiri ke luar jendela?"
 "Memangny senang itu bersyarat ya?" 
Kami pun tertawa. Perjuangan sejatinya adalah kepahitan. Mencintai sesuatu yang tak pernah dicintai juga amat menyakitkan. Ah, apapun caranya, pokoknya tetap harus membuat kopi pahit yang paling kubenci jadi serasa susu! 



*bersambung....