Jumat, 07 Agustus 2015

Kau Harta Terakhirku

Berlari. Kedua bocah itu berlari terbirit-birit seperti kesetanan. Tak peduli dengan kakinya yang bertelanjang. Juga tak mau peduli lagi merasakan bagaimana sakitnya tersandung batu atau benda keras lainnya di sepanjang jalan. Karena jika hanya sekadar luka, itu tidak akan terasa. Ada hal paling urgen yang mesti mereka pikirkan. Yaitu adalah kehidupan. Ya, nyawa mereka tengah dikejar oleh kematian.

"Awaaas ... ada ombak besaaaar!! Ayo lari, selamatkan diri masing-masing ...!"

Teriak seorang kakek tua yang membuat orang-orang sekeliling ikut panik, kemudian segera menyelamatkan diri mereka setelah melihat tsunami besar sedang menuju perumahan penduduk.

"Ali, ayo kita lari. Yang penting sekarang adalah keselamatan kita!" Ahmad, sahabat sejatinya menarik tangannya hendak membawanya ikut berlari menyelamatkan diri.

"Tidak, aku tidak mau. Orangtua dan adik-adikku harus selamat ...," jawab Ali yang bersikeras hendak pulang ke rumahnya.

"Ali, aku juga ingin menolong ibuku. Tapi, ada hal yang lebih penting dari ini semua. Jika kita kembali ke rumah, kita pun juga akan mati. Percuma! Ayo sekarang kita lari," tegas Ahmad meyakinkan langkah Ali.

Ali yang masih ragu, kemudian mengikuti langkah temannya itu. Kebetulan keduanya sedang berada di tempat yang agak jauh dari desanya yang dekat pantai.

Keduanya berlari sekencang mungkin. Karena air laut sudah sangat cepat mengejar mereka. Kecepatannya melebihi 40 km/jam. Jauh sekali bila dibanding dengan kecepatan berlari bocah seperti mereka.

Tapi syukur alhamdulillah, ternyata Allah masih memberikan kesempatan pada mereka untuk tetap hidup. Padahal, telat 15 detik saja maka mereka akan terbawa arus kencang itu. Tapi syukurlah, tepat saat itu mereka menemukan daerah dataran tinggi. Maka air laut itu pun tak mampu naik ke tempat mereka, dan tetap mengalir deras menuju dataran yang lebih rendah.

Pemandangan mengenaskan masih mereka saksikan dengan mata kepala mereka sendiri. Bagaimana tanah kelahirannya yang diporak-porandakan. Bagaimana air laut melahap habis rumah-rumah, gedung, mobil, dan jutaan jiwa manusia lainnya. Dan yang paling menyedihkan adalah, bagaimana mereka harus kehilangan orang-orang yang mereka cintai.

"Kau kejam, Ahmad! Kau telah menyuruhku membunuh ayah dan ibuku beserta adik-adikku. Kau telah menghancurkan hidup mereka. Dan kau ... kau telah membuatku hidup sebatang kara sekarang ...." Ali mencekeram baju Ahmad cukup keras. Mendorongnya hingga Ahmad terjatuh ke tanah.

"Aku tidak bermaksud begitu, Ali. Aku hanya ingin memberikan jalan terbaik di saat-saat mencekam seperti itu," jawab Ahmad menjelaskan.

Kemudian Ali melepaskan cengkeramannya atas Ahmad, lalu menangis sejadi-jadinya. Keduanya terduduk di tanah dengan kaki meringkuk. Masih dalam keadaan panik, takut, dan mungkin akan menjadi trauma.

"Maafkan aku, Ali. Karena aku yakin bahwa mereka pun tak mungkin terselamatkan," ucap Ahmad pelan.

Keduanya saling pandang, kemudian berpelukan. Air mata mereka tak mampu tertahan. Mereka harus kehilangan semua yang mereka miliki.

"Lantas, apa alasanmu memilih untuk menyelamatkan diri dibanding menyelamatkan mereka, Ahmad?" Ali mulai bertanya.

"Karena aku juga tak mau kehilangan semuanya, Ali. Aku tahu, kita akan kehilangan orangtua, saudara, kerabat, tempat tinggal, dan yang lainnya. Kecil sekali kemungkinan mereka untuk bisa selamat. Dan, saat itu hanya ada kau di sisiku. Kau sahabatku."

Suasana berubah hening dan haru. Semilir angin menggugurkan dedahan yang sudah lemah termakan usia. Air mata Ali masih mengalir deras. Isak tangisnya membuat kedua hatinya semakin terasa sesak.

"Ali, ketahuilah, hanya kau seorang sisa harta yang kumiliki saat itu. Aku tak sanggup membayangkan kehilangan semuanya. Aku tak mau hidup dalam kesepian. Oleh karenanya, aku ingin kita sama-sama pergi menyelamatkan diri. Kalau kita selamat, kita bisa mengisi sisa hidup bersama. Bersama dalam jalan juang yang masih jauh di masa depan. Kau mengerti itu, Ali?"

Ahmad memeluk sahabatnya Ali lebih keras. Air matanya tak kalah deras mengalir seperti halnya Ali. Lalu ia menepuk-nepuk punggung Ali seraya berbisik syahdu, "Ali, mari kita isi sisa hidup ini dengan kebaikan. Mari sama-sama memikul tanggung jawab baru di dunia yang entah akan terasa lebih baik atau justru semakin kejam ini. Harapan orangtua dan saudara kita adalah diri kita sendiri. Siapa yang mampu mendoakan mereka di alam sana selain kita?"

"Aku berjanji, akan menjadi anak sholeh. Agar aku bisa terus mendoakan orangtuaku beserta seluruh orang-orang yang kucintai. Benarkah doa anak sholeh akan terus bersambung kepada mereka?" tanya Ali dengan mata yang memancarkan cahaya harapan baru.

"Kau benar, Ali. Itulah maksudku. Kita mungkin belum bisa menyelamatkan mereka dari bencana dunia. Tapi, semoga saat ini kita perbaiki kesalahan itu, dan mulai mencoba menyelamatkan mereka dari bencana akhirat sana in sya Allah," jawab Ahmad senang.

"Maafkan aku yang sudah ditenggelamkan oleh emosi. Semoga, persahabatan kita ini karena Allah. Agar semua menjadi ibadah, dan memperkuat iman dan takwa," ucap Ali.

Ahmad mengangguk terharu. Kemudian kelingking Ahmad dan Ali menyatu membentuk tali ikatan janji persahabatan mereka yang kokoh. Mereka berjanji, akan berusaha menjadi manusia baik demi menggapai kebaikan pula di kehidupan yang kekal nanti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar