Kamis, 22 Desember 2016

IBUK

Bagiku, tak ada kopi yang lebih pahit rasanya dibanding kopi yang diseruput dengan lembut oleh seorang ibu. Akupun tak pernah mengerti, sebenarnya sejak kapan ibu menjadi orang sakti. Lihat saja, betapa kuat bibir dan tenggorokannya menyeruput seduhan kopi yang dituang langsung dari ceret setelah dipanaskan di atas tungku yang berasap. Air di dalamnya sudah mendidih dan jatuh pada suhu 100 derajat celcius. Begitulah mungkin kira-kira perhitungannya.

Dan aku benar-benar melihatnya dari kejauhan dengan mata kepala sendiri. Di balik kain sarung bekas yang disangkutkan pada paku pada kedua sudut atas kerangka pintu kamar. Kain bermotif kotakitu punya peran sebagai tirai, atau pengganti pintu untuk sementara waktu. Ya, sementara waktu saja. Karena aku ingat kalau bapak pernah bilang, "Nanti kalau kita sudah punya uang, pasti setiap kamar akan kita kasih pintu." Tak ada yang hilang dari ucapan bapak yang kuhafal ini walau sehurufpun.

"Ibuk ..., kok masih belum tidur?" tanyaku sambil mengucek mata yang masih ngantuk berat.

Tatapan ibu langsung mengarah kapadaku. Dipangkuan dadanya ada Faisal yang digendong dengan ikatan kain batik panjang warna coklat. Sepertinya, Faisal adikku sedang kurang sehat hingga ia susah tidur. Tapi ibu menemaninya dengan baik hingga kenyamanan membuat Faisal tertidur.

"Lho, kamu sendiri kenapa belum tidur?! Lihat, sudah jam berapa ini!" balas ibu.

"Aku terbangun, Buk. Nyamuknya semakin ganas saja. Nih buktinya. Tangan dan kakiku diserbu sampai habis bentol-bentol begini."

"Yasudah, lanjutkan tidurnya lagi saja sana. Masih jam dua belas. Besok jam tiga sudah harus bangun dan tahajjud, ya! Ambil kain sarung ibu di lemari, kau pakai itu saja untuk menutupi badanmu. Biar nggak dikeroyokin nyamuk lagi!"

Begitulah ibu. Padahal, belum juga pertanyaanku di awal tadi terjawab, tapi ibu sudah pintar membawa pikiranku kepada zona nyaman. Intinya, biar aku nggak ikut kepikiran urusannya. Sambil melangkah ke kamar, hatiku mendesah, "Ya Rabb, kau telah ciptakan sebuah kekuatan luar biasa yang tumbuh dari hati seorang wanita yang kini kupanggil dia, Ibuk."

Sejatinya, pahitnya kopi adalah pemanis hidup. Panasnya air seduhan kopi yang mensidih, adalah penikmat hidup. Oleh karenanya, ibu menjadi sakti. Bukan berarti ibu sudah tak kenal rasa pahit. Dan bukan pula ibu sudah kebal panasna air mendidih. Tapi ini hanya ungkapan dari alam. Bagaimana Allah mengajarkan pada kita bagaimana sebenarmya sebuah perjuangan.

Maka, jika kau mau tahu tentang kesejatian arti perjuangan, tanyakanlah pada ibumu. Tanyakan!

Maka, mungkin akan selalu kau dapatkan jawaban yang sama darinya sebagaimana yang sudah kutanyakan pada ibuku.

"Asalkan itu untuk Allah dan untuk kebaikan kalian, ibuk akan senang dan bersyukur ...."

*Sambil menyeruput teh hangat dan pisang goreng .... Salam untuk semua yang mencintai ibunya.

Razu, Jakarta, 230416.

Jumat, 14 Oktober 2016

JEJAK KAKIKU BERSAMAMU .... (2)

Padahal sudah beberapa hari masuk sekolah, tapi masih saja membuatku merasa semakin sendiri. Bahkan, tak jarang aku tak mau berangkat sekolah. Kecuali setelah kejadian itu. Kala pertama kali aku melihat seorang wanita yang kupanggil ummi itu berpaling membelakangi mukanya dari tatapanku. Matanya menitikkan bulir air mata.

Barulah, aku sadar. Setelahnya, tak ada lagi rengekan tak mau sekolah. Tak ada lagi. Aku janji!

****

Aku belajar untuk mengenal orang-orang dengan postur tubuh yang hampir semuanya serupa denganku. Memberanikan diri menjabat tangan untuk pertama kalinya. Lalu terucap dari bibir yang kaku dan gemetar ini sepatah dua patah kata, "Siapa namamu?" Lalu lelaki dihadapanku pun menjawab dengan senyum, "Aku Faruq,"

Itulah kali pertama aku belajar mengenal orang-orang yang ada di sekeliling. Itu pulalah yang menjadi awal mula aku menulis sebuah cerita. Cerita yang dulu tak pernah aku sadari, ternyata begitu manis itu semua dilalui. :)

Apalagi, ketika guru-guruku ramah menyapa setiap anak. Senyumnya menenteramkan jiwa anak kecil seperti kami. Bicaranya selalu menarik hati kami. Di sana ada cinta. Dan di sana ada ketulusan yang tak bisa dibandingkan dengan apapun. Itulah yang mereka berikan pada kami.

****

Masuk kelas jam tujuh tepat. Dimulai dengan duduk-duduk melingkar. Di setiap genggam tangan anak-anak ada Alqur'an. Waktu itu, tak kulihat ada seorangpun yang masih memegang buku Iqro'. Semua sudah pandai membaca Alquran. Di sebalik itu, ada hati yang mekar. Ada jiwa yang tersiram air segar. Ya Rabb, inikah jalan indahMu mempertemukanku dengan mereka?

Di dekat meja kecil, duduklah seorang Bu Eni. Ustadzah yang pertama kali mengajariku untuk bisa menghafal Alquran. Semoga Allah membalas jasa-jasa beliau. Ada juga Bu Meti, (berjilbab hitam), duduk memperhatikan anak-anak. Aku tak sadar saat itu. Hingga sadar itu baru terbangun sekarang. Bahwa sesungguhnya, jiwanya tidak hanya sedang memperhatikan gerak-gerik anak-anak. Tapi di setiap embus nafasnya ada kepulan doa-doa yang naik ke langit. Berharap doa itu menjadi hujan yang menyirami benih-benih jiwa para pejuang Allah di tanah hati kami, para muridnya. Ya Rabbi, aku tak mampu membalas setiap usaha beliau. Semoga Jannah adalah hadiah terbaik yang pantas untuknya. Aamiin.

Halaqah Quran biasanya selesai jam sembilan. Jam setengah sepuluh di sambing pelajaran lagi di kelas. Itu mencakup pelajaran Aqidah, Akhlaq, Siroh, Bahasa Arab, dan berbagai macam mata pelajaran umum lainnya. Bu Lita, Pak Ilyas, Pak Thohir, mereka yang mengajari kami semua itu.

Yang lebih penting dari inti sebuah materi adalah, adab seorang muslim. Kami diajarkan akhlaq sebagaimana yang diajarkan Rasulullah SAW. Ya Allah..., berikanlah mereka umur yang panjang dan berkah. Berikanlah mereka semua rizki yang cukup. Semoga, amal-amal mereka selama ini menjadi mata air yang selalu mengucur deras padanya pahala-pahala. Aamiin.

Sabtu, 08 Oktober 2016

JEJAK KAKIKU BERSAMAMU....

Selepas shalat shubuh tadi, entah mungkin efek lelah setelah sembilan jam perjalanan malam dari Klaten-Jakarta, tetiba tangan seperti ada yang mengendalikan untuk mengobrak-abrik rak buku di kamarku.

Ataukah mimpi berdurasi pendek saat sejenak terlelap di kereta itu menjadi pendorong keinginanku menelisik kembali suatu memoar. Tak ada yang tahu tentang cerita-cerita yang bertabur penuh bintang itu. Cerita saat-saat aku memulai melangkah di jalan kenyataan sebuah hidup. Memoar senyum yang menyeret air mata kebahagiaan di ufuk timur sebelum terbitnya mentari setelah fajar.

Itu dia! Kuambil sebuah buku album yang telah usang. Kucari-cari. Dan akhirnya, ketemu! Foto ini. Alhamdulillah, akhirnya kudapati lagi kenang ini.

****

Saat itu, seorang lelaki sederhana yang menaiki motor vespa bersama seorang wanita cantik berjilbab panjang membawaku ke sebuah bangunan yang belum pernah kulihat sebelumnya. Ketika tiba, aku masih dalam kebingungan. Kueja pelan-pelan sebuah papan yang terpampang di depan pintu gerbang hitam bertuliskan sebait tulisan tebal. ES-DE-I-TE AL-IH-SAN. Begitulah bibirku yang sudah mulai bisa membaca merapal ejaan tersebut. Ada sebuah logo di samping tulisan itu. Seperti gambar sebuah buku. Atau lebih tepatnya itu seperti Alquran.

Ya, aku ingat. Sebelumnya. Pagi-pagi sekali, mereka sudah harus repot mengurusku. Membangunkan aku ketika langit masih gelap. Kemudian lelaki yang kupanggil "Abi" itu menuntunku menuju masjid untuk melaksanakan shalat dua rakaat. Sebagaimana yang akhirnya kumengerti, bahwa itu adalah shalat shubuh.

Abiku pernah mengatakan, shalat ini adalah permulaan bagi manusia-manusia hebat. Orang-orang hebat itu akan keluar malangkah ke masjid untuk shalat shubuh berjamaah. Dan mereka akan mendapatkan kesegaran shubuh yang menyehatkan. Lalu, beliau kembali mengajariku sesuatu alasan mengapa shubuh hari selalu terasa segar. Saat dahiku mengerut, kutanya mengapa? Jawabnya, karena udara saat shubuh belum tercampur dengan nafas orang munafik. Awalnya aku tak mengerti. Namun, akhirnya aku dapat menyimpulkan sesuatu. Bahwa yang termasuk orang munafik adalah mereka yang lebih memilih nikmatnya terlelap dalam tidur dibanding shalat shubuh berjamaah di masjid. Terimakasih, Abi ....

Kemudian, saat bergegas mempersiapkan diri, hari itu aku merasa ada yang aneh. Wanita yang kupanggil "Ummi" itu sudah menyiapkan aku baju kemeja putih baru dengan pasangan celana hijau yang juga baru.

Aku bertanya-tanya, "Ummi, mengapa pakaianku hari ini beda?"

Kemudian, dengan senyum ia menjawab, "Hari ini, kau akan mulai menjadi pejuang Allah, Nak."

"Maksudnya, jadi jagoannya Allah? Seperti Zubair bin Awwam ya, Mi?" Aku suka tersenyum kalau mengingat kepolosanku ini.

"Iya, Nak. Makanya, ayo pakai sendiri bajunya ya. Biar ummi siapkan sarapan untuk abang."

Maka mulai hari itu, aku pernah bermimpi menjadi seorang panglima pembela Rasulullah SAW sebagaimana yang pernah mereka ceritakan padaku. Namanya sahabat Zubair RA kupinjam. Maka aku harus bertanggung jawab untuk menjaga nama baik sahabat mulia ini. Insya Allah.

****

Ketika vespa tua itu diparkir di halaman sekolah baruku, aku gemetaran. Tanganku memegang erat baju ummi. Abi kemudian menuntun tanganku menaiki tangga. Katanya, kelasku ada di lantai dua. Aku sempat menolak. Bahkan merengek menangis! Dan ternyata, air mataku terus tumpah. Aku takut. Entah, setelah dewasa ini, aku bertanya-tanya. Sebenarnya, ketakutan macam apa yang dulu kualami? Hingga tak berani masuk kelas? Haha.... Kalau sekarang, mungkin aku akan bilang ke diri sendiri, "Dasar anak cengeng!"

Mulai saat itu, sampai beberapa hari ummiku harus rela menunggui anaknya di depan kelas. Alasannya cuma hanya ingin menemaniku. Memastikan sekaligus ingin meyakinkan anaknya agar tak boleh menangis lagi saat di sekolah.

Zubair dewasa kini mengerti. Ada berbagai cara yang dilakukan oleh seorang ibu, apapun, dan bagaimanapun. Ia akan berjuang sepenuhnya untuk anaknya. Dia akan berlelah-lelah untuk anaknya. Semuanya adalah bentuk dari kasih seorang ibu. Sebagaimana sebuah lagu masa kecil, Kasih ibu, kepada beta. Tak terhingga... Sepanjang masa."

Ya, dulu aku baru tahu dari Bu Lita, guru yang berhijab putih itu. Ia mengatakan, bahwa ibu ialah wanita yang surga berada di bawah telapak kakinya. Maka pada saat itu, aku berjanji pada diri sendiri. Tak ingin membuat telapak ummi kotor sedikitpin oleh debu jalanan. Apalagi sampai tergores. Karena di sana, ada istana surga. Karena di sana, ada keridhoan yang tak terbayar dengan apapun. Terimakasih, Ummi.... Aku sayang ummi dan abi. Semoga Allah menjaga kalian selalu.

Bersambung, insya Allah....

Senin, 03 Oktober 2016

KASUS PERGAULAN ANAK: SALING MENGEJEK SESAMA

Ketika di rumah, kita sebagai orangtua perlu langsung memperhatikan dan mengawasi setiap tingkah dan polah sang buah hati. Baik itu dari perbuatan maupun lisan, sewaspada dan sedini mungkin harus kita awasi mulai dari hal terkecil apapun. Mengapa dari hal kecil perlu diperhatikan? Ini semua bertujuan agar si anak bisa terbentuk pola kehidupannya secara alami dari apa yang sudah menjadi kebiasaan mereka sejak dini. Yang jadi pertanyaan, apakah pola itu baik atau buruk? Itulah yang menjadi tugas kita.

Dari beberapa fenomena yang terjadi seputar pergaulan anak-anak, ada kasus yang paling sering terjadi di antara mereka. Apalagi kalau bukan saling ejek-mengejek antar sesama. Karena segala perbedaan di antara mereka sudah menjadi keniscayaan, maka jika belum mampu terbina dengan baik jiwanya, maka terjadilah sikap saling mengejek antar sesama.

Lalu siapa yang perlu disalahkan? Orangtuanya di rumah kah? Atau gurunya di sekolah? Atau tetangga? Masa kita harus menyalahkan pak RT juga? Hehe...

Salah satu yang bisa kita bagi di sini adalah dengan cara memberikan pengertian lebih kepada mereka akan akibat atas perbuatan tercela tersebut. Mari sejenak kita simak petikan sebuah riwayat singkat di bawah ini agar anak-anak bisa bisa sedikit-banyak mampu mengambil pelajaran darinya. Semoga ayah bunda bisa membantu untuk menjelaskannya kepada sang buah hati tercintanya.

Suatu kesempatan, dua sosok paling tersohor dan paling mulia di bumi sedang berkeliling sekitar pemukiman warga bangsa Arab. Dialah Al Amin, Rasulullah SAW dan karib sejatinya, Ash Shiddiq, Abu bakar RA.

Di tengah perjalanan, tiba-tiba datanglah seorang lelaki dengan tubuh besar dan kekar, secara spontan mengajak Abu Bakar RA untuk bertengkar. Entah karena perkara apa, namun begitulah kehidupan ketika masih berada pada zaman kejahiliyahan yang berlumur kezhaliman masih melekat erat pada jiwa lelaki besar itu.

Menyaksikan pemandangan tak menyenangkan itu, Abu Bakar RA hanya diam tak menggubris sikap tak berguna semacam itu. Dia sabar, dan tak mau ikut campur mengurusi tantangan si lelaki besar itu. Menyaksikan hal itu, Rasulullah SAW kemudian menatap sahabatnya yang berpostur kurus itu, kemudian tersenyum lega. Terlihat raut wajah Rasululullah memancarkan cahaya kesenangan dalam dirinya.

Namun, ternyata sikap keras kepala orang jahiliyah itu tetap menguasainya. Ia tetap menantang dan bahkan semakin keras memperlakukan Abu Bakar RA. Ia mengejek, dan terus menghinakan sahabat Abu Bakar RA di depan Rasulullah SAW. Sesekali memukul beliau dengan pukulan cukup keras.

Hingga, sifat manusiawi seorang Ash Shidiq pun membuncah. Ia terlihat jengkel dan kesal, hingga akhirnya ia pun membalas apa yang dilakukan lelaki itu. Barulah ketika dipukulnya sekali saja, sang lelaki itu pun berhenti untuk menantangnya dan pergi.

Tapi, di saat yang sama, ternyata Rasulullah SAW sudah lebih jauh melangkah menjauhi Abu Bakar RA. Abu Bakar RA mengira bahwa Rasul telah marah kepadanya, hingga ia pun mengejar langkah kaki Rasulullah SAW sampai posisinya kembali sejajar lagi dengannya.

"Ya Rasulallah, mengapa engkau bangkit dan pergi menjauh dariku? Padahal, tadi kau sebelumnya tersenyum indah kepadaku," tanya Abu Bakar kepada orang yang paling dia kasihi itu.

"Aku tersenyum bahagia pertama kali saat itu, karena aku melihatmu diam dan bersabar ketika engkau disakiti dengan bermacam hinaan oleh orang. Maka di sana pulalah aku menyaksikan para malaikat turun ke bumi dengan saling memanjatkan doa. Pertama, doa agar membalikkan kehinaan kepada orang yang tadi telah menghinakanmu itu. Dan kemudian doa agar Rabbmu menurunkan limpahan rahmat-Nya yang belipat-lipat kepadamu. Namun, saat kau membalas orang itu, aku segera bangkit dan melangkah menjauh. Bukan karena ingin berpaling darimu, tapi saat itu aku benar benar menyaksikan para malaikat naik ke atas, dan para setan berkumpul mengelilingimu. Mana mungkin aku mau berdiri berdekatan dengan mereka -para setan?"

Inilah penggalan riwayat yang mungkin bisa membantu kita belajar untuk tidak saling mengejek. Sama saja, entah itu bercanda ataupun tidak. Lisan dan hati ini harus benar-benar di jaga.

Sebagai contoh lain, kita umpamakan dari dua orang anak yang belajar dan menghafalkan Alqur'an. Katakan si A memang memiliki kelebihan cepat menghafal. Dan sebaliknya, si B saaaangat lambat menghafal.

Tak ada yang berhak mengatakan dan memvonis si B bahwa dia adalah anak bodoh. Dia tak mampu. Dia tak punya potensi, dan sebagainya.

Kenapa? Karena sesungguhnya hanya Allah-lah dzat yang segala ilmu berada dalam kuasa-Nya. Bisa jadi, Allah senang dengan bacaan si anak yang sulit menghafal itu. Bisa jadi, Allah ketagihan mendengar ayat-ayat-Nya yang terlantun dari bibir si anak itu. Dan bisa jadi, Allah ingiiin sekali melihat si anak itu terus berusaha untuk menhafalkan ayat-Nya. Hatta mungkin seakan-akan Allah berkata, "Aku mencintai anak ini. Ia merasa sulit belajar dan menghafal kitab-Ku, tapi dengan kepayahan itu dia mau terus mengusahakannya. Maka kuturunkan bagi-Nya rahmatku. Terus-menerus. Tanpa henti."

Inilah secuil pelajaran yang bisa kami berikan. Terkhusus untuk para orangtua, (begitu pula kepada yang kelak akan menjadi orangtua.) Maka mari sama-sama pahamkan kepada anak-anak tentang perhiasan paling berharga bagi seorang muslim, yaitu akhlaqul kariimah. Akhlaq yang terpuji.

Jauhkan anak-anak kita dari sifat-sifat yang dimiliki setan. Sifat tercela yang membuat kemuliaan haqiqi seorang muslim jadi cacat. Termasuk sifat saling mengejek dan mencela sesama. Mari bersama perbaiki moral bangsa. Mari ikut andil dalam membangun peradaban emas. Peradaban kejayaan Islam. Sebagaimana yang sangat dirindu-rindukan oleh Rasul SAW dan para sahabatnya radhiyallahu anhum.

Wallahu A'lam bish showaab...

Sabtu, 17 September 2016

Menadah Daun yang Gugur (Part. 3)

Detik jam dinding masih berdetak seperti biasanya. Hanya saja, kali ini irama detaknya terasa lebih kencang. Membuat kopi hitam produk asli negeri dari suku Gayo Indonesia yang terhidang di meja ruang tengah itu jadi dingin dan hambar. Bukan karena cuaca yang dingin, dan bukan pula kurang gula. Tapi karena ada sesuatu yang hilang di kamar itu, sekaligus di hati Roza.

Roza belum menyeruput kopi buatannya itu kecuali sekali saja. Kedua bola matanya menatap fokus pada sebuah novel yang sedang ia baca. Namun anehnya, beberapa menit telah lampau, namun halaman pada lembar novel itu masih tatap sama. Belum terganti. Ada apa dengan Roza? Apa ia tengah melamun?

Ting! Ting!

Smartphone putih yang terlihat cukup canggih itu berbunyi. Di layar bagian atasnya ada cahaya biru yang berkedip. Ada pesan Whatsapp baru.

Dengan sigap Roza buru-buru meraih smartphone-nya itu. Di layar itu tertulis sebuah nama yang ternyata dia nanti-nanti kabarnya. "Akhi Fillah Abdan." Jempol Roza lansung menyambar hendak melihatnya.

"Assalamualaikum, Akhii, bagaimana kabarmu? Alhamdulillah, aku baru saja tiba di Bandara Soekarno-Hatta dengan selamat. Jazakallah, doa orang shalih sepertimu memang hebat. Cepat sekali ia melesat ke langit :)"

Bundar mata Roza berair. Jantungnya berdebar. Namun masih menggantungkan sebuah misteri, apakah sebab bahagia atau sedih.

"Alhamdulillah, aku ikut senang kalau kau sudah selamat sampai Jakarta," Jari Roza lincah memilah huruf untuk membalas chat Abdan. "jangan lupa pesanku!" sambungnya.

"Tenang saja, Kawan. Meskipun aku pelupa, pesanmu kali ini akan selalu kuingat. Insya Allah akan selalu kutitipkan lewat doa! Setiap hari!" jawab Abdan penuh gairah. Semangatnya terbakar!

Mereka kini terpisah oleh jarak. Roza merasakan sebuah perasaan kehilangan yang amat dalam. Dua bulan, masa yang terbilang sempit untuk menjalin sebuah kebersamaan. Namun, menjadi masa terpanjang untuk dua jiwa yang saling terpaut dalam persaudaraan karena Allah.

****

Sekelumit tentang Abdan ....

Sejak hari pertama, lelaki itu menemui Roza di Osaka, Jepang ini untuk belajar agama Islam. Entah mengapa dia malah jauh-jauh terbang ke negeri sakura hanya untuk itu. Padahal, banyak sekali ulama-ulama dan orang yang lebih baik dari segi keilmuan agamanya dibandingkan Roza. Roza akui itu. Tapi, pengakuan Abdan sendiri dengan alasan agar bisa belajar dengan teman terpercayanya sejak kecil dulu. Maklum, dia adalah anak muda yang baru saja merasakan keterpurukan dalam pertikaian batin soal keyakinannya. Soal agama. Termasuk soal tuhan.

Sebelumnya, Abdan sebenarnya juga sudah mau ikut pengajian di salah satu tempat terdekat dengan rumahnya di daerah perumahan Tanjung Mas Jaya Jakarta Selatan. Tapi, beberapa kali mengikutinya, ia merasa ada keganjalan yang terjadi. Keikutsertaannya pada pengajian itu bukan semakin menambah wawasan keislamnya, tapi malah membelokkan aqidahnya. Sungguh ironis memang, di majlis ilmunya yang pertama, dia sudah dicekoki paham-paham sekuler dan cenderung kepada syi'ah.

Oleh karenanya, dengan keyakinan mantap ia berani terbang ke Osaka menemui sahabatnya tersebut untuk belajar. Sekaligus mempelajari Alquran yang sempat dia tidak pernah menyentuhnya lagi selama beberapa tahun lamanya. Orangtuanya tak pernah tahu kemana Abdan pergi. Bahkan sepertinya merekapun seperti tak pernah mau tahu soal putranya itu.

****

Roza seakan lupa dengan kopi hitamnya yang sudah dingin. Lupa juga dengan alur cerita dalam novel. Ia sudah lega temannya sudah selamat pulang ke Jakarta. Hatinya berguncang. Bibirnya terus melangitkan dzikir dan pujian teruntuk Allah subhanahu wa ta'ala.

Selasa, 13 September 2016

Menadah Daun yang Gugur (Part. 2)

Krekk ....

"Assalamualaikum ...." Salam Aisyah kali ini terasa getir. Kaki kanannya masuk menginjak keset lantai.

Matahari di luar masih condong ke timur. Bayangan pohon kaktus di depan rumah kost bercat biru muda itu masih lebih tinggi dari pohon itu sendiri. Hangat cahaya matahari juga masih menyehatkan. Apalagi, Mang Ujang tukang bubur ayam langganan Aisyah dan Farah masih mangkal di pertigaan gang dekat tiang listrik. Mang Ujang biasanya belum kunjung pulang sebelum jam 9.

"Waalaikumussalam ... masya Allah Aisyah, kok kamu balik lagi? Ada yang ketinggalan?" Ujung alis Farah langsung beradu ketika ucapannya tadi seperti saapaan untuk angin belaka. Apakah benar kerudung panjang cantik berwarna biru muda yang dikenakan Aisyah menghalangi suaranya untuk masuk ke gendang telinganya? Tidak masuk akal!

Hitam pada sepasang bola mata itu tak bergerak. Aisyah langsung beranjak jalan dengan kakinya yang terlihat rapuh menuju sebuah meja belajar berukuran sedang. Buku-buku diberdirikan membentuk barisan rapi dari ujung ke ujung. Di salah satu sudut lemari itu ada sebuah kotak lemari kecil dengan tiga laci berwarna-warni. Dan di atas buku-buku itu ada sterofoam berbentuk persegi panjang dengan catatan-catatan pengingat schedule yang tertempel lekat.

Aisyah duduk di kursi meja, lalu mengambil sebuah spidol dari laci lemari kecilnya itu. Spidol pun menari-nari mengikuti irama tangan lembut Aisyah di secarik kertas.

"Ya Allah, tolong aku .... Tolong aku! Kenapa aku selalu ...."

Belum sempat melengkapi tulisannya, namun tiba-tiba terdengar suara lembut.

"Syah, kamu kenapa, sih?" jarak Farah dan Aisyah kini hanya tiga langkah. Mata Farah yang jeli itu diam-diam melihat dari balik punggung Aisyah apa yang sedang ditulisnya. Kedua tangan Farah memijit pundak Aisyah. Namun, yang dipijat itu tiba-tiba langsung layu. Kepalanya tertunduk. Meneteslah bulir-bulir air membelah pipi Aisyah. Semakin lama semakin deras.

Farah terhenyak untuk beberapa detik. Nafasnya terembus lebih panjang. Hatinya ikut mengelabu. Entah kebetulan atau tidak, langit yang tadi biru juga kini terlihat pucat. Apa yang terjadi denganmu, Sahabatku? Gumam Farah.

Farah pun ingat apa yang mesti dia lakukan.

"Syah, maafin aku. Aku belum tahu sebesar apa masalahmu. Kau sudah menjadi muslimah sabar untuk bisa mendapat pertolongan Allah. Sekarang, mumpung masih dhuha, kita minta tolong lebih sama Allah, yuk!"

Aisyah masih sesenggukan. Ia mengakui kebenaran ajakan karibnya itu. Menangis memang mencurahkan semua ungkapan keluh dan kesal hati. Namun sholat dan berdoa, adalah cara yang lebih ampun untuk menjadi penawar pedih.

"Jazakillah, Farah," ucap Aisyah. Bibirnya masih gemetar. Namun senyum sudah mulai mengembang.

Begitulah menghadapi kesedihan. Apapun bemtuknya, ia tetap harus dilawan. Paling tidak senyum. Ia adalah sebaik-baik permulaan.

Kamis, 01 September 2016

Menadah Daun yang Gugur

Pada suatu waktu, kita akan bertemu di jalan musim semi. Saat daun merah sakura yang gemulai jatuh penuh pesona memeluk tanah. Kau tahu, bahwa jarak antara tangkai dan permukaan tanah ada sesuatu yang perlu dikorbankan. Yakni takdir. Tak bisa seenaknya memilih di sana atau di sini daun itu jatuh. Tapi angin yang menentukan.

Begitulah kisah seorang pria dari negeri tanpa para kurcaci seperti di dongeng-dongeng. Namun ia bukan pula kisah Majnun dan Laila yang sering diputar ulang oleh para pujangga cinta. Semua hanya sebuah cerita yang mengada-ada. Sesuka hati si pembuat cerita. Tapi ini adalah kisah yang lebih nyata. Kisah kita. Aku, dan engkau yang jauh di sana. Tanpa campur tangan sesiapa, selain telunjuk Tuhan pemilik rencana.

****

"Di mana kertas itu, lagi-lagi aku lupa tempat meletakkannya. Padahal, baru saja kutinggal pergi ke kamar mandi. Aaaagh! Dasar pelupa!" Abdan mendengus kesal. Tangannya mengacak-acak rambutnya yang masih basah.

"Dan, buang jauh-jauh sikap teledormu itu. Kau yang berbuat, harusnya tak perlu kesetanan seperti itu. Memaki diri sendiri tidak akan ada gunanya. Ayo diingat-ingat dulu, baru komentar!" ketus Roza, pemuda yang katanya berumur hanya selisih 12 jam dari Abdan. Tubuhnya menempel pada muka kasur lantai yang sudah rata hampir seperti tumpukan karpet saja.

"Iya, maaf. Aku hanya terbawa emosi, Za," sesal Abdan. Wajahnya masih seperti udang yang habir direbus.

"Maaf kalau aku terlalu menceramahi. Ya, bukan apa-apa sih. Setidaknya aku ingin kita sama-sama mengontrol diri dari emosi. Dan kita juga harus saling belajar untuk lebih dewasa dan disiplin."

"Makasih banyak, Za. Nasehatmu benar-benar kubutuhkan selalu." Dua pasang mata beradu. Roza mengangkatkan kepalan tangannya ke arah Abdan. Ia pun menimpalinya dengan kepalan yang sama. Toos!!

"Ayo kubantu carikan secarik kertas pentingmu itu!" Kaki Roza langsung sigap melangkah menuju sebuah meja belajar milik Abdan. Ia merogoh laci yang tak terkunci, ikut mencari-cari kertas itu

Semangat kedua pemuda itu pun bangkit kembali. Entah akankah apinya akan selalu menyala atau tidak. Namun dalam diri mereka ada tekad yang lebih kokoh dari baja. Ada cita yang menjalar ke atas menggapai langit. Dan ada Allah, yang akan selalu dijadikan penolong setia di jalan juang mereka.

Burung-burung di luar jendela bertasbih lewat kicaunya. Cahaya matahari semakin hangat memeluk bumi. Mereka sama sekali tidak pernah tahu apa yang sedang terjadi di seberang laut sana. Di belahan bumi lainnya, ada dua sosok yang juga sedang mengalami hal serupa dengan mereka. Allah punya sebuah rencana, di luar batas logika manusia.

Sabtu, 11 Juni 2016

DIARY RAMADHAN SI ALIF (Eps. 4)

Senin, 01 Ramadhan 2016

"Waktunya tinggal 15 menit sebelum selesai halaqoh. Setelah bel, semua boleh istiraht meninggalkan halaqoh kecuali yang belum setoran!" tegas Ustadz Rahmat.

Semua anak terdiam. Beberapa pasang mata orang-orang dalam halaqoh itu tertuju ke arah seorang anak yang duduk di dekat tiang masjid. Kepalanya turun merunduk. Wajahnya memerah. Tangan kanannya masih memegang Al Qur'an

Kaca Pembesar

Saya jadi teringat suaru kejadian pada malam ke-5 bulan ramadhan. Bagi saya, ini memang terbilang cukup menarik. Sekali lagi saya katakan, Allah selalu punya cara unik untuk menegur hamba-Nya. Entah itu datang dari kesadaran diri  sendiri, ataupun lewat orang lain. Dan kali ini perantara petunjuk itu datang dari seorang kakek tua.

Seusai makan malam di pondok, saya berniat untuk mencoba sesekali sholat tarawih di salah satu masjid yang ada di daerah sekitar pondok. Ada sebuah masjid yang tak terlalu besar, namun memiliki tekstur bangunan yang tak kalah indahnya dengan masjid-masjid di perkotaan. Namanya masjid Al Huda.

Saat itu adzan isya sudah berkumandang. Jamaah pun datang berbondong-bomdong dengan jumlah yang ampir-hampir masjid itu tak lagi mampu menampung orang.

Kami pun sholat isya, kemudian dilanjutkan dengan sholat tarawih sebanyak 8 rakaat dan ditutup dengan witir 3 rakaat.

Seusai sholat dan dilanjutkan dengan ceramah selama 10 menit oleh salah seorang tokoh masyarakat, saya mengira para jamaah akan langsung beranjak pulang. Dugaan ini lahir karena memang nampak mayoritas jamaahnya adalah para orangtua yang sudah lanjut usia.

Tapi, saya sendiri dibuat malu saat kaki hendak beranjak pulang, ternyata masih ada beberapa orang yang memilih untuk menetap di masjid untuk menyempatkan diri tilawah Al-Qur'an. Saya pun akhirnya menghentikan kehendak kemudian kembali duduk di twmpt semula.

Ini bukan masalah gengsi, bukan! Tapi lebih kepada masalah kesiapan diri. Ajal tak pernah mengabari siapa saja yang akan dijemput. Saya jadi terharu, masa sih di dalam diri saya masih tersimpan keangkuhan akan pengakuan diri sudah suci. Mereka yang sudah berumur jauh di atas saya, mungkin sudah lebih banyak langkahnya ke masjid. Mungkin juga mereka lebih fasih membaca Al-Qur'an karena sudah lebih lama membacanya. Dan saya? Masih muda tapi semangat beramal baiknya seperti orang yang sudah tua. Ini yang pertama.

Yang kedua, ada seorang kakek yang memiliki cara paling beda dan unik di antara beberapa orang lainnya. Dia memegang kaca pembesar di tangan kiri, dan Al-Qur'an di tangan kanannya. Masya allah, ternyata kakek itu memang sudah rabun. Dia harus rela dan tak malu-malu melakukan hal itu untuk membaca kalam Ilahi.

Saya pun agak sedikit mendekat ke bapak-bapak yang kira-kira berumur 60-an tadi. Jam dinding sudah hampir masuk jam 22.00. Beliau masih membaca Al-Qur'an dengan suara lantang. Setelah lima belas menit kemudian, barulah beliau beristirahat sejenak. Dan saat itu saya berkesempatan untuk sedikit merobohkan gundukan penasaran saya dengan bertany beberapa hal pada beliau.

"Assalamu'alaikum, Pak. Bapak tinggal di daerah sini?" tanya saya.

"Nggeh, saya tinggal di dekat masjid ini." Bapak itu sebenarnya menjawab memakai bahasa jawa. Alhamdulillah sedikit-sedikit saya mengerti juga.

Kulihat tanda baca Al-Qur'an bapak itu yang masih dibuka. Ternyata sudah sampai surat yunus. Kira-kira itu ada di juz 11. Masya Allah, kakek ini memang luar biasa. Memasuki hari ke-5 ramadhan saja beliau sudah mampu membacanya sampai sejauh ini. Saya hanya menggeleng-gelengkan kepala tanda kagum.

"Saya kalau baca harus pakai ini, Nak. Kalau tidak, ya saya ga bisa lihat," begitu kira-kira terjemahan perkataannya. Kali ini bapak itu mulai memakai kosa kata bahasa jawa yang lebig tinggi. Alhamdulillah, saya tetap bisa mengerti karena kebetulan di samping saya masih ada teman yang ikut menemani. Karwna sama-sama orang jawa, jadi spontan dia langsumg saya angkat jadi penerjemah resmi saya, hehe ....

Kemudian, bapak itu pun melanjutkan pembicaraannya, "Sebelum mata saya dicabut, dan jiwa saya dipanggil oleh Sang Pemilik, saya harus mempersiapkan diri."

Baoak itu pun berhenti sejenak. Ia menarik nafas agak panjang. Beberapa detik kemudian, matanya berkaca-kaca, dan akhirnya kaca itu pun pecah menjadi sungai kecil yang mengalir di pipinya.

Masya Allah ..., ini bukan kisah dongeng. Ini juga bukan mengada-ada. Tapi ini teguran yamg nyata. Allah kirimkan bapak itu sebagai petunjuk bagi hamba-Nya yang sedang dikepung oleh nafsu dunia. Kemudian, nurani pun berteriak, "Zubair, adakah kau mampu mengambil pelajaran?"


*Maaf tak sempat mengambil gambar karena sikon yang kurang tepat.

Rabu, 08 Juni 2016

DIARY RAMADHAN SI ALIF (Eps. 3)

"Alhamdulillaaah ... akhirnya sampai juga kita," sergah Zulfan selaku pemimpin rombongan truk nomer 3 sesaat setelah moncong truk sudah masuk pintu gerbang. Ternyata hanya butuh waktu 15 menit untuk bisa sampai ke Masjid Agung Klaten ini.

Halaman masjid yang luas itu sudah berwarna-warni. Kegiatan tarhib kali ini padat dipenuhi simpatisan dari berbagai wilayah di sekitar Klaten. Mayoritas peserta adalah kalangan pelajar maupun santri. Alif dan teman-teman lainnya pun langsung mengambil tempat untuk berbaris bersama di rombongan pondok Ibnu Abbas.

Gema takbir menggetarkan tanah Klaten. Bukan hanya itu, mungkin dinding-dinding kekufuran di hati para musuh Islam pun nampaknya akan berguncang kala mendengar semangat menyambut kemenangan ini. Wajah-wajah mereka berseri. Terpancar pantulan sinar terang bulan sabit ramadhan yang sedang bangkit dari persembunyian.

Setelah mengelilingi titik-titik tertentu di daerah Klaten bagian kota, para peserta kembali ke Masjid Agung untuk beristirahat. Kebetulan, waktu adzan maghrib sudah menebuh gandang telinga masyarakat. Dan semua peserta bisa langsung pulang seusai shalat maghrib berjamaah untuk persiapan tarawih nanti. Mereka pun ikut kembali ke pondok secepat mungkin.

****

"Ustadz Rahmat, kira-kira siapa yang imam tarawih nanti, ya?" tanya Alif pada salah seorang pengampu tahfizhnya saat lima menit menjelang isya.

"Insya Allah nanti Ustadz Khoiri yang akan mengimami kita. Satu juz perhari," jawab ustadz.

"Satu juz, Tadz?" Alif masih tak percaya. Dia masih terheran karena tarawih tahun ini beda dengan yang lalu. Kalau dulu hanya setengah juz, sekarang satu juz perhari.

Ustadz Rahmat hanya membalas tanyanya dengan senyuman. Alif pun menunduk. Dipikirannya hanya terbayang saat nanti ustadz yang ada dihadapannya itu mendapat giliran menjadi imam. Waduh, bisa-bisa bengkak nih kakiku, gumamnya. Karena menurutnya dan sebagian besar santri sudah tahu, tempo bacaan ustadz Khoiri tidaklah selama ustadz Rahmat.

****

Jam 21.30 para santri baru boleh keluar dari masjid. Tarawih malam pertama ramadhan ini berlangsung selama kurang lebih satu jam lebih lima belas menit sejak pukul 19.15. Dan sisanya digunakan untuk tilawah mandiri di dalam masjid.

Ketika hendak tidur, Alif mengambil buku diary coklatnya. Seperti biasa, dia akan menulis setiap bangun tidur dan sebelum tidur. Dia pun mulai menulis.

"Besok, apa aku bisa melakukannya? Kata Ustadz Umar tadi, acara selama ramadhan ini akan padat. Pertama, halaqoh qur'an ba'da shubuh sampai jam 06.30 khusus untuk menambah setoran hafalan baru. Kemudian dilanjut kajian ramadhan dari jam 07.30 sampai 09.00. Setelah itu, halaqoh lagi dari jam 09.30 sampai 11.30 khusus untuk muroja'ah dan tilawah. Lalu masih ada sore ba'da ashar sampai jam 17.00 untuk tahsin dan murojaah hafalan.

Masalahnya, bukan pada jam-jamnya. Tapi pada targetnya! Selama 12 hari puasa ramadhan di pondok, kami harus mengejar target hafalan 2 juz dan tilawah 2 kali khatam. Apa itu tidak terlalu berat?"

Tak sadar, bulir-bulir bening jatuh dari pangkal mata Alif. Ia agak sedikit ragu pada kali ini. Mengingat kemampuan menghafal dia setiap harinya hanya sebatas lima baris. Itupun kadang-kadang kurang lancar. Dadanya berkabut, mengganggu pengelihatan pada mata hatinya. 

Kemudian penanya kembali bergerak.

"Junaidi, bagaimana menurutmu?"

bersambung ....

Selasa, 07 Juni 2016

DIARY RAMADHAN SI ALIF (Eps. 2)

"Lif, katanya nanti sore kita ada acara tarhib ramadhan di Masjid Agung Klaten, ya?" tanya Zulfan, teman sekamarnya yang dengan wajah kusut dan mata yang terbuka hanya selebar kuaci. Dari cermin Alif melihatnya sambil tertawa geli. Bulu alis temannya itu naik seperti keberatan mengangkat kelopak mata. Ada juga bekas goret di pipi dan pelipis kanannya karena terlalu lama menempel di bantal.

"Makanya, jangan tidur terus. Abis sholat zhuhur bukannya doa dan sholat sunnah dulu, eeh ..., malah langsung lari ke kamar. Jadinya nggak tahu deh kalo setelah itu ada pengumuman dari Ustadz Kholid," ujar Alif sambil cengengesan menggoda.

"Ngantuk, Bro ...." timpal Zulfan enteng.

Hmm ..., dasar abu naum*!, gumam Alif.

Sebenarnya Alif juga agak jengkel dengan tingkah dan pertanyaan Zulfan tadi. Tapi, dari sisi lain dia juga bersyukur karena ternyata Allah selalu punya cara unik untuk menghibur diri hamva-Nya yang tengah bersedih.

"Alhamdulillah ...." desah Alif sambil mengelus dadanya yang datar.

****

Selepas ashar, pukul 15.20 WIB ....

"Seluruhnya, siaaaap ..., grak!!"

Raihan, kakak kelas satu tingkat di atas Alif mulai mengomandoi para santri. Suaranya yang lantang dan tegas terdengar dari lapangan futsal pondok sampai ke lantai tiga. Tak kalah luar biasa, para santri di pondok ini juga semuanya berlarian kencang menuju lapangan. Padahal sebelum itu Raihan menghitung mundur dari sepuluh sampai satu. Tapi baru sampai hitungan di angka 5 anak-anak sudah kocar-kacir turuni tangga menuju lapangan. Di angka 3, semuanya sudah kumpul di lapangan tanpa ada yang tertinggal. Walaupun di antara mereka masih ada yang celananya masih belum di-resleting lah, bajunya belum dikancing semua, dan tak sedikit yang masih nyeker, bahkan ada yang keliru sampai-sampai memakai baju terbalik! Bagi mereka, itu semua urusan belakangan. "Yang penting baris dulu," itu prinsip mereka. Setelah dapat komando dari kakak-kakak pengurus, barulah mereka menata diri masing-masing. Hehe ....

Komando sudah disampaikan. Sudah tersedia lima truk sewaan yang kiranya bisa mengangkut sekitar dua ratusan santri pergi menuju Masjid Agung Klaten. Semua berseragam gamis dan peci putih. Ketika semua sudah naik ke punggung truk, semua terlihat kompak jika dilihat dari bawah. Putiiih bersih. Bukan karena baju mereka yang bersih dan kinclong semua, tapi karena anak yang gamisnya 'menguning' berdiri ngumpet di antara mereka.

Bola mata Alif mengarah ke jam tangan digital merk "Cassio" di tangan kiri Zulfan. Pukul 15.40, truk akhirnya mulai bergerak maju. Semua bersorai, mengawali dengan bacaan basmalah dan doa naik kendaraan. Disusul gema takbir dan spanduk-spanduk bertuliskan "Marhaban yaa Ramadhan, Marhaban yaa Syahral Qur'an...!" pun dibentangkan.

Bersambung ....

DIARY RAMADHAN SI ALIF (Eps. 1)

"Bismillahirrahmanirrahim .... Aku pasti bisa, aku pasti bisa, aku pasti bisa, insya Allah ...."

Setiap bangun tidur dan mengawali harinya, Alif pasti langsung berlari menghampiri lemari, kemudian mengambil buku bersampul coklat tua polos dan menuliskan kalimat-kalimat itu. Sudah ada tiga jilid buku kuarto isi 80 lembar terisi dengan pembukaan yang sama; kalimat itu.

Ternyata, itu merupakan pesan salah seorang sahabat baiknya itu tak pernah ia khianati. Junaid, ia pernah bertutur, bahwa ada seseorang di dalam setiap jiwa manusia yang selalu menjadi motivator paling hebat. Benar juga. Percuma saja mengikuti seminar-seminar motivasi dari motivator internasional sekalipun, tapi efeknya hanya satu jam atau paling lama satu hari setelahnya. Dan percuma mengoleksi dan suka membaca buku-buku motivasi best seller kalau teori yang didapat sekadar mampir dan numpang sejenak di kepala lalu pamit pergi. Bahkan tanpa pamit! Sungguh, pengaruh yang didapat pun akan sama, tak lebih dari sehari!

Lalu, siapa sebenarnya sang motivator itu?

"Dialah yang sering kau panggil dengan sebutan, 'Aku'!" jawab Junaid saat Alif masih penasaran dan akhirnya bertanya.

Ya, orang itu adalah diri sendiri. Kepala Alif bergoyang ke atas dan ke bawah. Kali ini dia cepat pahamnya. Bibir Junaid pun melengkung manis. Bersama itu, kelopak matanya menutupi bola mata. Ada keteduhan terbit di wajahnya.

****

"Hari ini tanggal 05 Juni, maka esok adalah tahun ketiga dari kepergianmu," desah Alif ketika melihat sosok lelaki kurus di sebalik cermin.

"Hanya kau yang mau berteman dengan anak bodoh yang kurus ini. Dan hanya kau yang mau berbagi sepotong roti jatahmu saat rotiku jatuh ke selokan dulu," lanjutnya mengingat kenangan-kenangan bersama Junaid.

Ya, Junaid sekarang sudah menggelar Almarhum sejak tiga tahun yang lalu. Saat melepas masa putih biru di sekolah yang sama di Klaten, Junaid izin untuk melanjutkan sekolah ke sebuah pesantren di Bogor. Dan ternyata, Alif dan Junaid tidak ditakdirkan untuk berpisah jarak antara Jawa Tengah dan Jawa Barat saja. Tapi dunia dan akhirat. Junaid meninggal karena tragedi maut bus saat menuju ke Bogor.

Sabtu, 23 April 2016

ADAKAH PERAN ILMU TERHADAP IMAN?


"Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang
diberi ilmu..." (QS. Al-Mujadalah: 11)

Benarlah apa yang telah Allah firmankan kepada kita semua. Tak ada satupun keraguan di dalamnya dari suatu kesalahan maupun kekeliruan. Ayat di atas menjadi bukti bahwasanya Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan orang-orang yang berilmu. Kalau direnungkan lebih jauh, mengapa harus ada ilmu setelah iman? 

Maka inilah yang menjadi topik yang akan kita bahas saat ini. Di ayat ini, kita diberi pencerahan bahwa ilmu tak kalah pentingnya dari sebuah iman. Maka pernah ada sebuah pertanyaan yang membahas manakah yang lebih afdhol atau lebih baik, ahli ibadah atau ahli ilmu? Maka tentu saja jawabannya adalah ahli ilmu yang lebih utama. Mengapa demikian? 

Jawabannya singkat saja. Karena setiap kali ilmu bertambah, maka imanpun akan kian mengalir deras. Bagaimana mungkin seorang ahli ibadah bisa melakukan amalan-amalan sholeh jika ia tidak tahu kaidah-kaidah atau syarat dan ketentuan melakukannya? Seperti sholat misalkan. Bagaimana dia bisa menjalankan amalan wajib ini jika seandainya tidak ditemukan olehnya air untuk bersuci? Kalau dia berilmu maka dia akan tayammum sebagai pengganti peran air untuk bersuci. Jika tidak berilmu, maka bagaimana dia melaksanakan kewajiban ini? Adakah peran ilmu terhadap iman?

Atau kita ambil misal lain yaitu seorang pakar sains sekalipun. Andai saja mereka bisa mengungkapkan rahasia ilmu sains ternyata banyak disebutkan dalam Al Qur'an, niscaya banyak dari mereka yang akan beriman kepada ajaran Islam. Adakah peran ilmu terhadap iman?

Namun, sayangnya umat islam saat ini benar-benar sudah tidak terlalu mementingkan ilmu terutama ilmu agama. Di negeri kita Indonesia ini, masih banyak fenomena-fenomena yang mencengangkan dan amat mengiris hati. Sekarang bisa dihitung, berapa banyak dari orang di sekeliling kita yang berorientasi dalam menuntut ilmu dengan sekadar mendapat pekerjaan? Dan apakah jarang kita temui para penuntut ilmu mempermainkan guru dan buku-buku pelajarannya? Kedoknya adalah menuntut ilmu agar mendapat derajat tinggi di sisi Allah. Namun kenyataannya adalah kita hanya bersenang-senang dengan menumpuk buku-buku pelajaran dan buku tulis kosong tanpa catatan untuk dibakar di akhir tahun sekolah atau menukarnya menjadi lembaran receh uang. Mengapa bisa terjadi? Hal ini disebabkan karena ummat ini masih belum mengerti akan harga dan hakikatnya. Semoga Allah menjauhkan kita dari pebuatan hina ini.

Kini, mari kita tengok ke luar jendela, agar semangat menuntut ilmu yang wajib ini berkobar kembali. Kita lihat potret bagaimana orang-orang yang ditinggikan derajatnya di dunia maupun di akhirat. inilah mereka :

Yang pertama, dialah Abdullah bin Abbas RA, yang bercerita tentang perjuangannya mempelajari agama. Mengambil bagian dari warisan Rasulullah SAW. Beliau berkisah, “Ketika Rasulullah SAW wafat, aku berkata kepada seorang laki-laki dari kaum Anshar, ‘Wahai Fulan, mari kita bertanya kepada sahabat-sahabat Nabi SAW, selagi mereka masih banyak (yang hidup) sampai saat ini.’ ‘Sungguh mengherankan sekali kau ini, Wahai Ibnu Abbas! Apa kau anggap orang-orang butuh kepadamu sementara di dunia ini ada tokoh-tokoh dari kalangan para sahabat Rasulullah SAW sebagaimana yang kau lihat?’

Lantas Ibnu Abbas melanjutkan, ‘Aku pun meninggalkannya lalu mulai bertanya dan menemui para sahabat Rasulullah SAW. Pada suatu ketika, aku mendatangi seorang sahabat untuk bertanya tentang sebuah hadits yang kudengar bahwa dia telah mendengarnya langsung dari Rasulullah SAW. Tapi ternyata saat itu dia tengah tidur siang. Lalu aku merebahkan diri dengan selendangku yang dijadikan bantalan di depan pintunya. Angin pun melintas menerbangkan debu ke wajahku. Begitulah keadaanku sampai ia keluar. 

Maka ketika ia keluar, ia terkejut dengan kehadiranku. Ia berkata, ‘Wahai putra paman Rasulullah, kenapa engkau ini?’ tanyanya. ‘Aku ingin mendapatkan hadits yang kudengar engkau menyampaikan hadits itu dari Rasulullah SAW. Aku ingin mendengar hadits itu darimu,’ jawabku.

‘Mengapa tidak kau utus saja seseorang kepadaku agar nantinya aku yang mendatangimu?’ katanya. 

‘Aku lebih berhak untuk datang kepadamu,’ jawabku.

Setelah itu, ketika para sahabat telah banyak yang meninggal, orang tadi (dari kalangan Anshar) melihatku dalam keadaan orang-orang membutuhkanku. Dia pun berkata padaku, ‘Engkau memang lebih cerdas daripada aku’.” (Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, 1/310). Begitulah betapa kita lihat etika dan sebuah kesungguhan yang luar biasa dari sahabat ini.

Adapun yang ditulis oleh Imam Adz Dzahabi dalam kitabnya, Tadzkirah Al-Huffazh yaitu tentang pernyataan dari salah seorang tabi'in, Asy- Sya'bi. Yaitu ketika saat ditanya, "Bagaimana kau dapatkan seluruh ilmu?" Beliau menjawab, "Dengan cara tidak bersandar (bermalas-malasan), berpergian ke berbagai daerah, bersabar sebagaimana sabarnya seekor keledai, dan bersegera sedari pagi sebagaimana burung gagak."

Begitulah kiranya potret dari segelintir ulama pendahulu kita yang diridhoi dan dirahmati Allah SWT. Ini bukanlah hal yang mudah. Mencari kemuliaan diri dan keteguhan iman lewat ilmu. Dan iman itu tak akan dirasa lebih berharga selain jika ia didapat dari sebuah ketulusan yang murni dan kesungguhan yang tak kenal lelah. 

Mereka mencari ilmu, sebagaimana kebanyakan dari manusia mencari harta benda serta permata di dunia. Mereka menuntut ilmu sebagaimana mereka merasakan kenikmatan lebih dari seperti kebanyakan manusia yang nikmat berbaring di atas kemewahan ranjang sutera yang penuh dengan pernak-pernik emas dan berlian. Mereka bersandar diterpa angin dan debu untuk menunggu guru, sedangkan kita berbaring di atas meja membiarkan guru berbicara sendiri di depan kelas. Mereka berjalan ribuan kilometer demi menemui satu guru dan mendapat sepotong ilmu, sedangkan kita membiarkan guru menunggu karena merasa sudah menanggung upah lelah seorang guru.

Kini, adakah kita termasuk di antara mereka yang benar-benar telah membuktikan diri atas derajatnya yang tinggi di sisi Allah? Atau kita bisa tanyakan nurani masing-masing, "Untuk apa sebenarnya menuntut ilmu? Adakah unsur keimanan yang kita dituju?"

~ #Bercermin Diri
~ Razu, Klaten, 24 April 2016

Selasa, 05 April 2016

#Puisi; MENGAPA HARUS BERTANYA?

Sejernih yang tampak tilas mata memandang muka air. Bergelombang, mengoyang-goyang bebatuan yang kokoh jadi lunak. Dan di sana aku sadar, bahwa hakikat hidup tak senantiasa membuntuti mata.

Lalu kudongakkan kepala ke langit yang memantulkan warna laut. Entah langit yang biru, ataukah lautan? Kenapa harus biru sedangkan ruang hakikat adalah pekat. Lalu, angin pun melintas di telinga sambil berbisik, "Kau harus sadar, bahwa menembus batas kodrat adalah salah."

Aku mengangguk untuk kedua kalinya. Berarti benar, Tuhan lebih tahu ....

Jadi, mengapa bertanya lagi apa yang harus kulakukan?

R. Zubair, Klaten, 05042016

Jumat, 04 Maret 2016

SAAT DUNIA MENGGURUI

Pembaca yang budiman, adakah di antara anda sekalian yang cekikikan ketika melihat foto di atas? Hehe ....

Kalau saya sendiri, awalnya tertawa juga. Tapi, lama-kelamaan kening pun justru malah berkernyit. Alis saling mendesak untuk beradu satu sama lain. Seluruh syaraf berlomba-lomba berlarian ke pusatnya, otak. Berpikir keras, lalu dapatlah kesimpulan. Maka barulah kuberi judul, "Dunia Semakin Mengajarkan Kemalasan."

Hei, apa hubungannya?!

Jangan emosi dulu, Saudara-saudara .... Kita akan telisik lebih dalam kenapa saya sampai simpulkan sedemikian.

Jadi begini ceritanya. Kebetulan jum'at pagi kemarin, saya bersantai-santai duduk di atas gubuk semacam pos ronda yang ada di belakang rumah. Sambil sedikit murojaah dan baca buku, eehh, tiba-tiba ada seorang kakek-kakek dan seorang berumur kepala empat datang menghampiri.

Pertama-tama kami hanya sekadar mengobrol biasa. Menanyakan sekolah, pekerjaan,dan sebagainya. Ketika mengangguk bertanda sudah kenal, sisanya hanya sebatas hiasan obrolan seputar kampung.

Tapi, tiba-tiba seorang bapak tadi menyebutkan bahwa kampung ini (tempat tinggal saya) dulunya adalah kampungnya ilmu. Nama kampung saya adalah Tanjung Barat. Menurut pernyataannya, disebut kampung ilmu sih karena banyak orang berbondong-bondong datang ke kampung ini untuk menuntut ilmu.

Tak pernah dibayangkan sebelumnya, bahwa ternyata orang tua kita dulu belajarnya sama seperti bagaimana para ulama salaf. Mereka rela bersafari dari tempat ke tempat, hanya sekadar mendapatkan ilmu (mengaji) setiap harinya. Dan yang tak kalah menariknya, gurunya sama sekali menolak bayaran. Bagi mereka, ilmu itu adalah karunia. Karunia kalau tidak berkah maka bisa jadi akan menyesatkan. Dengan alasan inilah mereka bermajlis.

Kakek-kakek yang tadi ikut angkat bicara. Beliau juga bercerita bagaimana dulu pernah sampai tidak diberi makan 3 hari oleh bapaknya jika sekali saja tidak mengaji. Kemudian melanjutkan pengalaman temannya yang sampai-sampai pernah di pukul kepalanya oleh bapaknya dengan gergaji. Menurut kesaksiannya, temannya iti sampai berdarah-darah.

Memang terlihat nampak bringas dan sangat dsskriminatif. Tapi, inilah pengajaran orang-orang terdahulu kita. Nilai agama adalah kepentingan di atas kepentingan. Belajar Al Quran adalah sumber kekuatan setiap muslim. Sebagaimana yang pernah dikatakan oleh bapak dari kakek itu, "Tong, mendingan kagak usah hidup dah kalo ngaji nggak bisa. Hidup itu milik Allah, bukan milik dunia! Kalo kagak kita kejar Allah, kita bakalan diuber-uber dunia!"

Ajiiib... seruku dalam hati. Hikmah itu didapat dari siapa saja. Saat itu, aku benar-benar telah angkuh. Aku juga benar-benar merasa sangat lemah. Baru sedikit halangan, lantas kemudian cepat sekali mengeluh. Saya ingin kelembutan, namun nyatanya itu hanyalah kesejukan  yang dari belaian angin keduniaan.

Dari sini, saya sendiri tak pernah menunjuk sesiapa. Tapi, memang nyatanya dunia telah mengajarkan generasi-generasi ini sebuah pelahjaran tentang "Kemalasan." Anehnya, kebanyakan muridnya senang dengan pelajaran ini. Na'udzubillah....

Semoga Allah selalu membimbing kita ke jalan-Nya. Menjadi pribadi kuat yang tak pernah terlena dengan singgasana mewah dunia. Aamiin..

Jumat, 19 Februari 2016

ENTAH APA NAMANYA, BENCI INI JUGA CINTA! (Eps. 1)

Aku jadi teringat serpihan kejadian belasan tahun silam. Saat masih mengenakan seragam putih dengan rompi hijau, dan celana yang sewarna dengan rompi.

Kala itu, bel masuk kelas berbunyi tepat ketika jam digital di lenganku menunjukkan pukul 07.10 WIB. Sebenarnya, masuk kelasnya sih jam tujuh tepat. Hanya saja sengaja aku putar jam tanganku itu 10 menit lebih cepat. Jaga-jaga supaya menghindari kata 'terlambat'.

Seperti biasanya, jam pertama dan kedua setiap harinya adalah tahsin dan tahfidz.

"Waahid ... istnaani ... tsalaa ... sah!!! Yang telat, push up 50 kali!" Pak Zaky, guru tahfidzku itu sudah siaga duduk di dekat mimbar masjid sekolah. Jari telunjuk, jari tengah, dan jari manisnya nampak sudah mengacung gagah di atas kepalanya. Kalau sudah hitungan tiga, siapapun dan dengan alasan apapun, tetap akan disuruh push-up kalau telat.

Begitulah 'keganasan' Pak Zaky kepada kami, bocah yang masih seumuran kelas 2 SD. Di mata kebanyakan dari kami para murid yang termasuk anggota halaqah qur'annya, beliau tidak hanya galak. Tapi juga menyeramkan! Ini baru hukuman kalau telat masuk halaqah. Belum lagi yang lainnya.

Kali ini Ilham, Aji, Maulana dan Fikri memang sedang kurang baik kabarnya. Pagi-pagi kening dan lehernya sudah dibuat keringetan. Kulirik wajah mereka satu per satu yang memerah. Ada rasa kasihan, namun ada juga hasrat ingin tertawa. Hehe ..., aku yang tidak kena hukuman justru harus semakin waspada. Jangan sampai besok malah diperlakukan seperti apa yang kulakukan terhadap mereka saat ini, hehe.

"Apa kau cengar-cengir, hah?!" ketus Aji dengan mata melotot sambil mencengkeram lenganku. Kemudian berubah senyum dan malah memijiti setelah kedua bola mata Pak Zaky menuju ke arahnya.

"Pegal tauk! Awas kau ya. Kuharap selanjutnya kau yang akan jadi tersangka selanjutnya!" lanjutnya penuh harap.

"Itu takkan mungkin terjadi, haha ...." ledekku.

"Zubair, ta'al! (Kemarilah!)" Aku menepuk jidat saat Pak Zaky menyebut namaku.

Ini namanya senjata makan tuan. Suara ledekku tadi benar-benar terdengar oleh Pak Zaky. Sumpah, saat itu aku benar-benar tidak ingin melihat wajah Aji sedikitpun. Aku bisa membayangkan betapa dia akan cekikikan puas ketika namaku dipanggil Pak Zaky. Biasanya, dia akan menggembungkan pipinya karena menahan tawa. Jujur saja, itulah yang paling aku kesali!

"Kenapa kamu tertawa sendiri dan belum mulai menghapal?" Aku hanya menunduk dan menggeleng saat ditanya. Tak tahu jawaban apa yang harus kujawab saat itu.
"Dekatkan telingamu!"

Tangan Pak Zaky pun langsung menyambar ke daun telingaku. Menyentuhnya, lalu memelintir cukup keras dan lama.

"Kembali ke tempat, dan mulai menghapal lagi!" tegas Pak Zaky.

Aku menuruti perintahnya dengan ringisan dan hati yang tiba-tiba mbertambah berat.Kurasakan seperti ada api di dekat telinga. Kubandingkan suhu telingaku dengan pipi, ternyata beda jauh. Kira-kira di atas 40 derajat celsius!

"Doamu terkabulkan, Ji!" tukasku saat duduk bersila dengan lutut kananku yang berdempetan dengan lutut kirinya.

"Makanya, jangan menertawakan penderitaan orang lain. Tahu sendiri kan sekarang akibatnya!" jawab Aji puas.

"Iya, maafkan aku. Aku hanya bercanda, kok ...," Aku mengulurkan tangan hendak berjabat.

"Tenang saja, sudah kumaafkan sebelum kau dijewer tadi, hehe ...," ujar Aji sekenanya.

Aku benar-benar tak mau lagi terbawa emosi. Ucapannya yang bernada meledek itu sebaiknya dibuang jauh-jauh. Setidaknya, aku belajar lagi untuk tidak berburuk sangka. Lagipula, ini memang salahku juga kok. Dan setidaknya ucapannya tadi juga ada benarnya. Sekarang lebih baik lanjut menghapal, sebelum waktu halaqah habis!

#To be continued ....

Sabtu, 16 Januari 2016

Duri di Atas Karpet Merah

Tepat jam sembilan malam aku menapakkan kaki di tanah Klaten. Kupeluk semilir angin dengan hasrat penuh syukur sambil menghirup aroma malam yang berbeda dari malam-malam sebelumnya. Lebih mesra walau sekujur badan harus gigil dibuatnya.
Mataku gesit menengok ke arah kereta api yang barusan kutumpangi karena kini ia mulai melangkah pergi, mengikuti komando suara pluit yang ditiup sang petugas yang berdiri di ujung sana. Telingaku sedikit sensitif mendengar beberapa percakapan beberapa orang yang ramai di stasiun. Bukan, bukan! Sebenarnya bukan masalah bahasanya yang asing di telinga. Di Jakarta, aku sering kok dengar ibu-ibu di pasar yang memakai bahasa jawa. Yang bikin beda itu atmosfer-nya. Sekarang aku benar-benar akan berinteraksi dengan orang-orang di sini. Dan tentunya bukan hanya itu tujuanku ke sini. Selain menjalankan tugas dari kampus, aku juga ingin mengenal lebih dekat penduduk di sini. Terutma bahasanya itu, hehe.
Kakiku terus berjalan menuntut punggung yang sedikit pegal untuk bersegera melanjutkan perjalanan ke tempat tujuan, sebuah pondok pesantren. Kebetulan seseorang sudah menunggu di seberang stasiun dengan mobil. Syukurlah, jadi tak usah menyewa taksi atau ojek untuk mencari alamat tempat persinggahanku.
Jalan-jalan lurus dengan lingkungan yang nampak ramah, cahaya-cahaya penghias jalan yang menggantung pada ujung tiang-tiang di pinggirannya, pepohonan dan hamparan sawah yang memberi warna hijau tempat ini membuat mata terasa lebih dimanja. Begitupun dengan langit saat kuintip ia dari dalam jendela mobil, nampaknya juga genit tersenyum-senyum menyambut kedatanganku ke sini. Kilau indah gemintang yang berserakan menyerupa permata itu juga menari-nari di sana. Sungguh penyambutan yang istimewa!
"Kau ini kenapa?" tanya Marwan tiba-tiba. Aku kaget. Astaga, baru sadar kalau barusan aku sedang melamun. Dan khayalanku pun buyar. Hancur lebur.
Kami berangkat ke Klaten ini dengan misi dan tugas yang sama. Ada dua rekan yang menemani perjuanganku ini. Mereka adalah Marwan dan Aris. 
"Eh, nggak kenapa-napa, kok," jawabku sambil cengengesan dan menggelaeng-gelengkan kepala.
"Tapi kenapa kau tersenyum sendiri ke luar jendela?"
 "Memangny senang itu bersyarat ya?" 
Kami pun tertawa. Perjuangan sejatinya adalah kepahitan. Mencintai sesuatu yang tak pernah dicintai juga amat menyakitkan. Ah, apapun caranya, pokoknya tetap harus membuat kopi pahit yang paling kubenci jadi serasa susu! 



*bersambung....