Sabtu, 24 Oktober 2015

Sudahkah Kita Siap?


Rasanya sudah cukup pantas bila Indonesia dinobatkan sebagai salah satu negara terbaik yang telah melahirkan jutaan anak bangsa yang luar biasa. Bahkan tidak hanya itu. Indonesia juga menjadi kebanggaan besar yang perlu disadari oleh setiap jiwa baik dari warga Indonesia sendiri, maupun warga dunia pada umumnya. Mungkin sebagian ada yang menganggap pernyataan ini sebagai sebuah lelucon semata. Tapi, biarlah negeri merah putih ini sendiri yang akan menjawabnya.
Sebagai bukti, ada sebuah penelitian dari Pew Research Center, Amerika serikat, yang menghasilkan data yang cukup mengejutkan. Bahwasanya dari beberapa negara yang tercatat, Indonesia menjadi negara nomor wahid yang dianggap sebagai negara terbesar dengan populasi penduduk pemeluk agama Islam. Yaitu hampir 203 juta jiwa, atau sekitar 13 % dari total Muslim dunia. Tidak sembarangan, catatan dunia ini layak dinilai “tepat” akan kebenarannya. Maka di sinilah kata kunci yang menjadi alasan utama mengapa negeri ini patut disebut sebagai negara terbaik dan memiliki sesuatu yang layak dibanggakan. Hingga pada akhirnya, hal ini pula yang mengundang mata musuh-musuh Islam di dunia untuk melirik, dan bahkan sampai terbesit dalam hati mereka untuk memusuhi dan menghancurkan bangsa pilihan ini.
Maka menjadi wajar, bila pada saat ini kita temukan kembali para penjajah -yang dengan jiwa busuknya- berkeliaran di bumi Indonesia ini. Baik itu yang masih bertopeng, maupun yang sudah terang-terangan memperlihatkan wajahnya. Tentunya semua ini sudah tesusun dalam suatu misi yang dikemas secantik mungkin. Dan sekiranya, misi apalagi yang mereka inginkan selain ambisi untuk melumpuhkan langkah-langkah Islam untuk kemajuan dan kebangkitan dunia ini?
Faktanya, dana bukan lagi menjadi hal yang rumit bagi mereka. Mereka rela melepas kekayaan yang dimiliki semata demi keberhasilan misi yang dilancarkannya. Apalagi, justru dengan iming-iming kekuasaan dan kekayaan, maka mengubah majikan menjadi budak akan menjadi hal paling mudah dan sangat membantu penyerangan mereka.
Tidak berpuas diri dengan itu, mereka pun membidik panah-panah beracun lain kepada para generasi muda bangsa. Satu persatu mereka lesatkan panahnya tepat ke arah jiwa dan moral anak muda. Dan inilah yang menjadi sebab kelimpuhan sebuah bangsa; impian musuh-susuh Allah.
Sekali lagi kami tegaskan bahwa tanah ibu pertiwi ini merupakan tempat dilahirkannya masyarakat muslim terbanyak di dunia. Menjadi sebuah kehormatan besar bagi kita anak-cucu kelahiran negeri yang luar biasa ini. Semua patut disyukuri dan dibanggakan. Tentunya bersyukur dan bangga sebagaimana kita bersyukur dan berbangga diri atas fitrah yang terjaga sebagai umat muslim yang beriman kepada Allah SWT. Kerena, tiada lagi yang patut dibanggakan selain apa yang dimiliki oleh Islam. Dalam artian bahwa Islam-lah yang sebenarnya memegang peran paling penting dalam mengangkat martabat negeri ini. Namun pertanyaannya, bagaimana bentuk syukur dan bangga atas itu semua? Apa yang harus dilakukan agar keutuhan bangsa dan kebangkitan Islam tetap terlaksana?
Maka dari itu, mari sama-sama renungkan bersama potongan ayat dari apa yang telah difirmankan oleh Allah SWT dan diabadikan di dalam Al-Qur’an,
Kalian adalah umat terbaik  yang dilahirkan untuk segenap manusia, menyeru kepada yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.” (QS. Ali Imran:110).
 Dan bagi Allah-lah kehormatan, bagi rasul-Nya, dan bagi orang-orang yang beriman.” QS, Al Munafiqun:8).
Ayat di atas patut menjadi pemicu semangat seluruh umat muslim khususnya umat muslim tanah air. Semua sudah tercantum jelas dalam kitab-Nya dan sekaligus menjadi bukti nyata di depan mata. Bukan sekadar perkataan biasa, namun bukan mustahil bila firman suci ini bisa jadi merupakan salah satu dari apa yang Allah SWT inginkan dari para hamba-Nya. Dan sungguh sangat disayangkan bila ternyata masih banyak yang belum menyadari bahwa mereka itu adalah kita!
            Sikap hanya menunggu kesadaran hati umat harus segera diakhiri. Karena menunggu berarti diam, dan diam sama sekali tak akan menghasilkan apa-apa kecuali keburukan semata. Maka betapa bijak sebuah contoh perumpamaan yang pernah disampaikan oleh Al-Imam Syafi’i dalam syairnya,
Inni roaitu ma’an wuqufan. Fa in lam yajri lam yathib.” Artinya, “Sungguh aku melihat air yang diam (menggenang), jika ia (dibiarkan) tidak mengalir maka ia tidak akan baik.”
Beliau mengumpamakan manusia laksana air. Bahwa air hakikatnya adalah sumber kehidupan. Begitupun seyogyanya seorang manusia. Diamnya manusia dari melakukan suatu amal kebaikan akan seperti genangan air yang tidak dialiri. Kita sendiri sudah melihat bagaimana air itu akan mengeruh dan menjadi sumber penyakit bagi manusia. Dan apakah kita ingin menjadi penyebab rusaknya umat dan negara?
Oleh sebab itu, ada beberapa langkah sederhana yang setidaknya mampu membantu mencegah sekaligus melawan sebelum tangan-tangan iblis musuh Allah merenggut semuanya. Tentu saja dengan memulai dari diri sendiri untuk membela kehormatan Islam dalam berbangsa dn bernegara.
Sebelum mulai melangkah, ada hal yang perlu kita ketahui. Yaitu dengan memperhatikan kondisi kegelapan dunia yang kini menyesatkan banyak manusia. Dan kita sendiri akan mengetahui bagaimana para setan semakin senang dengan kegelapan yang kini sedang melanda umat. Misi kebathilan datang mengepung secara perlahan dari segala penjuru tanpa adanya ragu.
Kemudian pasti aku akan mendatangi mereka dari depan, dari belakang, dari kanan, dan dari kiri mereka. Dan engkau tidak akan medapati kebanyakan mereka bersyukur.” (QS. Al- A’raaf:7:17).
Inilah yang sebenarnya menjadi tantangan besar yang dihadapi umat saat ini. Pada era ini, kebathilan merajalela. Sedangkan Al-haq sedikit demi sedikit mulai ditanggalkan dan diporakpondakan oleh tangan-tangan setan.
Setelah ketika kita sudah mencermati gelapnya medan, yang menjadi langkah awal bagi umat ini adalah dengan menyiram bunga iman yang tumbuh di taman hati yang kian mengering. Umat bangsa ini harus ‘disentil’ akan kesadaran bahwa mereka tengah mengemban amanah besar dari Allah SWT, yaitu membela Islam!
Adapun langkahnya, yang pertama adalah ketulusan cinta. Kenapa harus cinta? Ya, karena tanpa cinta, kita takkan mampu hadirkan semangat membela dalam jiwa. Tanpa cinta, kita pun tak akan pernah menikmati manisnya berlelah. Dan tanpa adanya cinta, kita tak mungkin akan berani terluka, atau bahkan berani mati bersamanya. Dan cinta yang murni, adalah awal dari sebuah langkah menuju kebangkitan bangsa dan agama ini.
Kemudian yang kedua, adalah renovasi akhlak dengan Al-Qur’an. Di zaman yang semakin mengerikan ini, tangan-tangan iblis menggerayangi hati manusia menuju kebutaan bersebab kegelapan dan kegemerlapan. Kegelapan akan kebenaran yang abadi, dan kegemerlapan akan dunia yang fana.
Hal ini telah ditunjukkan dengan baik oleh para antropologi, bahkan disinggung di dalam kitab suci Al-Qur’an. Dan yang sebagaimana pernah dipaparkan juga oleh seorang cendekiawan muslim, Prof. Malik B. Badri dalam bukunya The Dilemma of Muslim Psychologist, yaitu,
“Al-Qur’an telah sangat jelas menyatakan bahwa, kebiasaan amoral telah menjadi adat yang mapan. Orang-orang yang bisa standar moral yang tinggi bisa dianggap abnormal, aneh, atau terganggu mentalnya. Bahkan mereka mungkin diusir atau dibunuh karena telah bersikap bersih secara moral: “Usirlah Luth dan keluarganya dari negerimu; sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang (menganggap dirinya) suci.”
Oleh karena itu, seakan di zaman ini sistem seperti itu sudah tengah dijalankan oleh pengikut-pengikut setan yang menjadi musuh Allah SWT. Mereka telah membalikkan kutub kebenaran menjadi kebathilan. Dan hukum iblis telah dihias seindah mungkin agar bisa lebih menarik dari hukum-hukum Allah SWT. Na’uzubillahi min dzalik.
Dan di sinilah peran Al-Qur’an sebagai satu-satunya pedoman petunjuk hidup yang diturunkan untuk menuntun jalan manusia kepada jalan yang lurus. Al-Qur’an telah memuat segala akhlak-akhlak yang diinginkan oleh Allah SWT dan rasulnya. Jika ayat-ayat di dalamnya mampu dipahami dengan pemahaman yang baik –dengan mengamalkan sunnah sebagai pendukungnya, maka tidak ada keraguan lagi bahwa ia akan melindungi kita dari segala macam bahaya dan ancaman yang menyesatkan. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW,
Sungguh telah Aku tinggalkan dua perkara kepada kalian di mana kalian tidak akan pernah tersesat selama kalian berpegang teguh dengan keduanya, yaitu Kitabullah dan Sunnahku.” (Lihat Al-Hakim, Al-Mustadrak ‘ala Al-Shahihain, Kitab Al-‘Ilmi, Hadist no. 322).
Kemudian yang terakhir adalah ilmu. Seberapa banyak orang yang gagah perkasa, berotot kuat, namun kalah bertarung dengan orang yang kurus kerontang tapi berakal.  
Jawabannya amatlah sederhana. Kalau hanya bermodal kekuatan, tentu Khalid bin Walid sang panglima perang pada masanya tidak akan mampu membawa pasukannya menuju kemenangan dalam berbagai peperangan. Ia memang panglima peran
g yang kuat. Tapi bukan karena ia kuat maka kemudian ia disegani setiap musuhnya. Tapi ia  dikenal kuat melainkan karena kecerdasan yang dimilikinya. Khalid bin Walid sangat cerdik dalam menyusun strategi berperang, sehingga dia dan pasukannya bisa mengalahkan musuh-musuh Islam walaupun jumlah mereka jauh lebih sedikit.
Jika kembali ke era modern yang kita hadapi sekarang ini, posisi kita sedang berada di tengah-tengah lingkaran kecanggihan akan ilmu. Teknologi dan sains sangat cepat berkembang. Jika masih duduk santai, bermain-main dengan kawan, atau berselimut sepanjang siang dan malam, itu semua justru yang akan semakin memperburuk umat, sekaligus semakin ‘meminyaki” bola-bola api serangan musuh.
Dan kiranya, inilah kunci dasar yang benar-benar harus dipersiapkan oleh umat muslim saat ini. Namun, jikapun kita sudah mengetahui, semuanya benar-benar tidak akan berhasil dengan hanya sekadar mengetahuinya saja tanpa mengaplikasikannya dalam kehidupan. Sebagaimana yang dikatakan di awal tadi. Bergeraklah, dan bukan diam!
Semakin jelas kenyataanya, bahwa di negeri kita masih ada yang namanya penjajahan. Tragisnya, bukan hanya penjajahan yang bersifat zahiriyah, tapi juga yang bersifat bathiniyah. Kemiskinan, pengangguran, meningkatnya kriminalitas yang entah itu bersumber dari rakyat maupun wakilnya sendiri.  Rasanya ‘luka sayatan” yang menimpa negeri ini semakin melebar. Bernanah dan hampir membusuk.
Lantas, apakah kita –sebagai bagian dari tubuh negeri- hanya diam dengan memelototi lalu merintih kesakitan? Itu bukanlah sikap dari seorang muslim sebagaimana yang diinginkan Allah SWT dan negeri ini. Membiarkan seorang “ibu pertiwi’ dalam derita juga merupakan kedurhakaan. Bila sudah seperti itu, berarti urusan kembali kepada Tuhan dan sudah tentu akan berimbas jadi sebuah kemaksiatan.
            Sekarang, tersisa pertanyaan sederhana untuk menentukan akankah kebangkitan yang terwujud, atau justru malah kemerosotan yang terjadi: siapkah kita?
“in tanshurullaha yanshurkum.”

Rahmat Zubair, adalah pria kelahiran 26 April 1994. Penulis yang lahir di Jakarta dan bersuku betawi asli ini sedang melanjutkan sekolah pada jenjang perkuliahan di STIA Ma’had Aly An Nuaimy. Ia memulai menyelami dunia literasi sejak dirinya berstatus santri di Pondok Pesantren Husnayain Sukabumi. Karyanya semakin banyak ketika dia juga ikut program tahfizh Alquran di salah satu lembaga di daerah Bekasi. Sampai saat ini, beberapa karyanya sudah pernah dimuat dalam beberapa buku kumpulan cerpen dan puisi dalam bentuk antologi.