Rasanya
sudah cukup pantas bila Indonesia dinobatkan sebagai salah satu negara terbaik
yang telah melahirkan jutaan anak bangsa yang luar biasa. Bahkan tidak hanya
itu. Indonesia juga menjadi kebanggaan besar yang perlu disadari oleh setiap
jiwa baik dari warga Indonesia sendiri, maupun warga dunia pada umumnya. Mungkin
sebagian ada yang menganggap pernyataan ini sebagai sebuah lelucon semata.
Tapi, biarlah negeri merah putih ini sendiri yang akan menjawabnya.
Sebagai
bukti, ada sebuah penelitian dari Pew Research Center, Amerika serikat, yang
menghasilkan data yang cukup mengejutkan. Bahwasanya dari beberapa negara yang
tercatat, Indonesia menjadi negara nomor wahid yang dianggap sebagai negara
terbesar dengan populasi penduduk pemeluk agama Islam. Yaitu hampir 203 juta
jiwa, atau sekitar 13 % dari total Muslim dunia. Tidak sembarangan, catatan
dunia ini layak dinilai “tepat” akan kebenarannya. Maka di sinilah kata kunci
yang menjadi alasan utama mengapa negeri ini patut disebut sebagai negara
terbaik dan memiliki sesuatu yang layak dibanggakan. Hingga pada akhirnya, hal
ini pula yang mengundang mata musuh-musuh Islam di dunia untuk melirik, dan
bahkan sampai terbesit dalam hati mereka untuk memusuhi dan menghancurkan
bangsa pilihan ini.
Maka
menjadi wajar, bila pada saat ini kita temukan kembali para penjajah -yang
dengan jiwa busuknya- berkeliaran di bumi Indonesia ini. Baik itu yang masih bertopeng,
maupun yang sudah terang-terangan memperlihatkan wajahnya. Tentunya semua ini sudah
tesusun dalam suatu misi yang dikemas secantik mungkin. Dan sekiranya, misi apalagi
yang mereka inginkan selain ambisi untuk melumpuhkan langkah-langkah Islam
untuk kemajuan dan kebangkitan dunia ini?
Faktanya,
dana bukan lagi menjadi hal yang rumit bagi mereka. Mereka rela melepas
kekayaan yang dimiliki semata demi keberhasilan misi yang dilancarkannya. Apalagi,
justru dengan iming-iming kekuasaan dan kekayaan, maka mengubah majikan menjadi
budak akan menjadi hal paling mudah dan sangat membantu penyerangan mereka.
Tidak
berpuas diri dengan itu, mereka pun membidik panah-panah beracun lain kepada
para generasi muda bangsa. Satu persatu mereka lesatkan panahnya tepat ke arah
jiwa dan moral anak muda. Dan inilah yang menjadi sebab kelimpuhan sebuah bangsa;
impian musuh-susuh Allah.
Sekali
lagi kami tegaskan bahwa tanah ibu pertiwi ini merupakan tempat dilahirkannya
masyarakat muslim terbanyak di dunia. Menjadi sebuah kehormatan besar bagi kita
anak-cucu kelahiran negeri yang luar biasa ini. Semua patut disyukuri dan dibanggakan.
Tentunya bersyukur dan bangga sebagaimana kita bersyukur dan berbangga diri
atas fitrah yang terjaga sebagai umat muslim yang beriman kepada Allah SWT. Kerena,
tiada lagi yang patut dibanggakan selain apa yang dimiliki oleh Islam. Dalam
artian bahwa Islam-lah yang sebenarnya memegang peran paling penting dalam
mengangkat martabat negeri ini. Namun pertanyaannya, bagaimana bentuk syukur
dan bangga atas itu semua? Apa yang harus dilakukan agar keutuhan bangsa dan
kebangkitan Islam tetap terlaksana?
Maka
dari itu, mari sama-sama renungkan bersama potongan ayat dari apa yang telah
difirmankan oleh Allah SWT dan diabadikan di dalam Al-Qur’an,
“Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk segenap manusia, menyeru
kepada yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.”
(QS. Ali Imran:110).
“Dan
bagi Allah-lah kehormatan, bagi rasul-Nya, dan bagi orang-orang yang beriman.” QS,
Al Munafiqun:8).
Ayat
di atas patut menjadi pemicu semangat seluruh umat muslim khususnya umat muslim
tanah air. Semua sudah tercantum jelas dalam kitab-Nya dan sekaligus menjadi
bukti nyata di depan mata. Bukan sekadar perkataan biasa, namun bukan mustahil
bila firman suci ini bisa jadi merupakan salah satu dari apa yang Allah SWT
inginkan dari para hamba-Nya. Dan sungguh sangat disayangkan bila ternyata
masih banyak yang belum menyadari bahwa mereka itu adalah kita!
Sikap
hanya menunggu kesadaran hati umat harus segera diakhiri. Karena menunggu
berarti diam, dan diam sama sekali tak akan menghasilkan apa-apa kecuali
keburukan semata. Maka betapa bijak sebuah contoh perumpamaan yang pernah disampaikan
oleh Al-Imam Syafi’i dalam syairnya,
“Inni roaitu ma’an wuqufan. Fa in lam yajri
lam yathib.” Artinya, “Sungguh aku melihat air yang diam (menggenang), jika
ia (dibiarkan) tidak mengalir maka ia
tidak akan baik.”
Beliau
mengumpamakan manusia laksana air. Bahwa air hakikatnya adalah sumber
kehidupan. Begitupun seyogyanya seorang manusia. Diamnya manusia dari melakukan
suatu amal kebaikan akan seperti genangan air yang tidak dialiri. Kita sendiri
sudah melihat bagaimana air itu akan mengeruh dan menjadi sumber penyakit bagi
manusia. Dan apakah kita ingin menjadi penyebab rusaknya umat dan negara?
Oleh
sebab itu, ada beberapa langkah sederhana yang setidaknya mampu membantu mencegah
sekaligus melawan sebelum tangan-tangan iblis musuh Allah merenggut semuanya. Tentu
saja dengan memulai dari diri sendiri untuk membela kehormatan Islam dalam
berbangsa dn bernegara.
Sebelum
mulai melangkah, ada hal yang perlu kita ketahui. Yaitu dengan memperhatikan
kondisi kegelapan dunia yang kini menyesatkan banyak manusia. Dan kita sendiri
akan mengetahui bagaimana para setan semakin senang dengan kegelapan yang kini
sedang melanda umat. Misi kebathilan datang mengepung secara perlahan dari
segala penjuru tanpa adanya ragu.
“Kemudian pasti aku akan mendatangi mereka
dari depan, dari belakang, dari kanan, dan dari kiri mereka. Dan engkau tidak
akan medapati kebanyakan mereka bersyukur.” (QS. Al- A’raaf:7:17).
Inilah
yang sebenarnya menjadi tantangan besar yang dihadapi umat saat ini. Pada era
ini, kebathilan merajalela. Sedangkan Al-haq sedikit demi sedikit mulai
ditanggalkan dan diporakpondakan oleh tangan-tangan setan.
Setelah
ketika kita sudah mencermati gelapnya medan, yang menjadi langkah awal bagi
umat ini adalah dengan menyiram bunga iman yang tumbuh di taman hati yang kian mengering.
Umat bangsa ini harus ‘disentil’ akan kesadaran bahwa mereka tengah mengemban
amanah besar dari Allah SWT, yaitu membela Islam!
Adapun
langkahnya, yang pertama adalah ketulusan cinta. Kenapa harus cinta? Ya, karena
tanpa cinta, kita takkan mampu hadirkan semangat membela dalam jiwa. Tanpa
cinta, kita pun tak akan pernah menikmati manisnya berlelah. Dan tanpa adanya cinta,
kita tak mungkin akan berani terluka, atau bahkan berani mati bersamanya. Dan cinta
yang murni, adalah awal dari sebuah langkah menuju kebangkitan bangsa dan agama
ini.
Kemudian
yang kedua, adalah renovasi akhlak dengan Al-Qur’an. Di zaman yang semakin
mengerikan ini, tangan-tangan iblis menggerayangi hati manusia menuju kebutaan
bersebab kegelapan dan kegemerlapan. Kegelapan akan kebenaran yang abadi, dan
kegemerlapan akan dunia yang fana.
Hal
ini telah ditunjukkan dengan baik oleh para antropologi, bahkan disinggung di
dalam kitab suci Al-Qur’an. Dan yang sebagaimana pernah dipaparkan juga oleh
seorang cendekiawan muslim, Prof. Malik B. Badri dalam bukunya The Dilemma of Muslim Psychologist, yaitu,
“Al-Qur’an
telah sangat jelas menyatakan bahwa, kebiasaan amoral telah menjadi adat yang
mapan. Orang-orang yang bisa standar moral yang tinggi bisa dianggap abnormal,
aneh, atau terganggu mentalnya. Bahkan mereka mungkin diusir atau dibunuh
karena telah bersikap bersih secara moral: “Usirlah
Luth dan keluarganya dari negerimu; sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang
(menganggap dirinya) suci.”
Oleh
karena itu, seakan di zaman ini sistem seperti itu sudah tengah dijalankan oleh
pengikut-pengikut setan yang menjadi musuh Allah SWT. Mereka telah membalikkan
kutub kebenaran menjadi kebathilan. Dan hukum iblis telah dihias seindah
mungkin agar bisa lebih menarik dari hukum-hukum Allah SWT. Na’uzubillahi min dzalik.
Dan
di sinilah peran Al-Qur’an sebagai satu-satunya pedoman petunjuk hidup yang
diturunkan untuk menuntun jalan manusia kepada jalan yang lurus. Al-Qur’an telah
memuat segala akhlak-akhlak yang diinginkan oleh Allah SWT dan rasulnya. Jika
ayat-ayat di dalamnya mampu dipahami dengan pemahaman yang baik –dengan
mengamalkan sunnah sebagai pendukungnya, maka tidak ada keraguan lagi bahwa ia
akan melindungi kita dari segala macam bahaya dan ancaman yang menyesatkan.
Sebagaimana sabda Rasulullah SAW,
“Sungguh telah Aku tinggalkan dua perkara
kepada kalian di mana kalian tidak akan pernah tersesat selama kalian berpegang
teguh dengan keduanya, yaitu Kitabullah dan Sunnahku.” (Lihat Al-Hakim,
Al-Mustadrak ‘ala Al-Shahihain, Kitab Al-‘Ilmi, Hadist no. 322).
Kemudian
yang terakhir adalah ilmu. Seberapa banyak orang yang gagah perkasa, berotot
kuat, namun kalah bertarung dengan orang yang kurus kerontang tapi berakal.
Jawabannya
amatlah sederhana. Kalau hanya bermodal kekuatan, tentu Khalid bin Walid sang
panglima perang pada masanya tidak akan mampu membawa pasukannya menuju
kemenangan dalam berbagai peperangan. Ia memang panglima peran
g yang kuat. Tapi
bukan karena ia kuat maka kemudian ia disegani setiap musuhnya. Tapi ia dikenal kuat melainkan karena kecerdasan yang
dimilikinya. Khalid bin Walid sangat cerdik dalam menyusun strategi berperang, sehingga
dia dan pasukannya bisa mengalahkan musuh-musuh Islam walaupun jumlah mereka
jauh lebih sedikit.
Jika
kembali ke era modern yang kita hadapi sekarang ini, posisi kita sedang berada
di tengah-tengah lingkaran kecanggihan akan ilmu. Teknologi dan sains sangat cepat
berkembang. Jika masih duduk santai, bermain-main dengan kawan, atau berselimut
sepanjang siang dan malam, itu semua justru yang akan semakin memperburuk umat,
sekaligus semakin ‘meminyaki” bola-bola api serangan musuh.
Dan
kiranya, inilah kunci dasar yang benar-benar harus dipersiapkan oleh umat
muslim saat ini. Namun, jikapun kita sudah mengetahui, semuanya benar-benar
tidak akan berhasil dengan hanya sekadar mengetahuinya saja tanpa
mengaplikasikannya dalam kehidupan. Sebagaimana yang dikatakan di awal tadi.
Bergeraklah, dan bukan diam!
Semakin
jelas kenyataanya, bahwa di negeri kita masih ada yang namanya penjajahan.
Tragisnya, bukan hanya penjajahan yang bersifat zahiriyah, tapi juga yang bersifat bathiniyah. Kemiskinan, pengangguran, meningkatnya kriminalitas
yang entah itu bersumber dari rakyat maupun wakilnya sendiri. Rasanya ‘luka sayatan” yang menimpa negeri
ini semakin melebar. Bernanah dan hampir membusuk.
Lantas,
apakah kita –sebagai bagian dari tubuh negeri- hanya diam dengan memelototi
lalu merintih kesakitan? Itu bukanlah sikap dari seorang muslim sebagaimana
yang diinginkan Allah SWT dan negeri ini. Membiarkan seorang “ibu pertiwi’
dalam derita juga merupakan kedurhakaan. Bila sudah seperti itu, berarti urusan
kembali kepada Tuhan dan sudah tentu akan berimbas jadi sebuah kemaksiatan.
Sekarang, tersisa pertanyaan sederhana
untuk menentukan akankah kebangkitan yang terwujud, atau justru malah
kemerosotan yang terjadi: siapkah kita?
“in
tanshurullaha yanshurkum.”