Kamis, 22 Desember 2016

IBUK

Bagiku, tak ada kopi yang lebih pahit rasanya dibanding kopi yang diseruput dengan lembut oleh seorang ibu. Akupun tak pernah mengerti, sebenarnya sejak kapan ibu menjadi orang sakti. Lihat saja, betapa kuat bibir dan tenggorokannya menyeruput seduhan kopi yang dituang langsung dari ceret setelah dipanaskan di atas tungku yang berasap. Air di dalamnya sudah mendidih dan jatuh pada suhu 100 derajat celcius. Begitulah mungkin kira-kira perhitungannya.

Dan aku benar-benar melihatnya dari kejauhan dengan mata kepala sendiri. Di balik kain sarung bekas yang disangkutkan pada paku pada kedua sudut atas kerangka pintu kamar. Kain bermotif kotakitu punya peran sebagai tirai, atau pengganti pintu untuk sementara waktu. Ya, sementara waktu saja. Karena aku ingat kalau bapak pernah bilang, "Nanti kalau kita sudah punya uang, pasti setiap kamar akan kita kasih pintu." Tak ada yang hilang dari ucapan bapak yang kuhafal ini walau sehurufpun.

"Ibuk ..., kok masih belum tidur?" tanyaku sambil mengucek mata yang masih ngantuk berat.

Tatapan ibu langsung mengarah kapadaku. Dipangkuan dadanya ada Faisal yang digendong dengan ikatan kain batik panjang warna coklat. Sepertinya, Faisal adikku sedang kurang sehat hingga ia susah tidur. Tapi ibu menemaninya dengan baik hingga kenyamanan membuat Faisal tertidur.

"Lho, kamu sendiri kenapa belum tidur?! Lihat, sudah jam berapa ini!" balas ibu.

"Aku terbangun, Buk. Nyamuknya semakin ganas saja. Nih buktinya. Tangan dan kakiku diserbu sampai habis bentol-bentol begini."

"Yasudah, lanjutkan tidurnya lagi saja sana. Masih jam dua belas. Besok jam tiga sudah harus bangun dan tahajjud, ya! Ambil kain sarung ibu di lemari, kau pakai itu saja untuk menutupi badanmu. Biar nggak dikeroyokin nyamuk lagi!"

Begitulah ibu. Padahal, belum juga pertanyaanku di awal tadi terjawab, tapi ibu sudah pintar membawa pikiranku kepada zona nyaman. Intinya, biar aku nggak ikut kepikiran urusannya. Sambil melangkah ke kamar, hatiku mendesah, "Ya Rabb, kau telah ciptakan sebuah kekuatan luar biasa yang tumbuh dari hati seorang wanita yang kini kupanggil dia, Ibuk."

Sejatinya, pahitnya kopi adalah pemanis hidup. Panasnya air seduhan kopi yang mensidih, adalah penikmat hidup. Oleh karenanya, ibu menjadi sakti. Bukan berarti ibu sudah tak kenal rasa pahit. Dan bukan pula ibu sudah kebal panasna air mendidih. Tapi ini hanya ungkapan dari alam. Bagaimana Allah mengajarkan pada kita bagaimana sebenarmya sebuah perjuangan.

Maka, jika kau mau tahu tentang kesejatian arti perjuangan, tanyakanlah pada ibumu. Tanyakan!

Maka, mungkin akan selalu kau dapatkan jawaban yang sama darinya sebagaimana yang sudah kutanyakan pada ibuku.

"Asalkan itu untuk Allah dan untuk kebaikan kalian, ibuk akan senang dan bersyukur ...."

*Sambil menyeruput teh hangat dan pisang goreng .... Salam untuk semua yang mencintai ibunya.

Razu, Jakarta, 230416.