Senin, 28 Desember 2015

BAGAIMANA KIAT MENGABADIKAN KARYA?

Dulu, dikisahkan tentang seorang ulama besat yang menjadi rujukan dari jutaan penuntut ilmu. Tentu saja murid-muridnya itu bukan hanya dari daerah yang sama, melainkan mereka berasal dari berbagai belahan dunia. Dialah yang kita kenal dengan Al Imam Malik rahimahullah.

Suatu ketika ia berniat untuk menulis sebuah buku. Beliau rahimahullah merasa bahwa ilmu yang dimiliki akan terasa lebih bermanfaat jika ia bisa menuliskannya dalam sebuah buku. Maka dengan kegigihan dan sucinya niat beliau, tercapailah pada saat buku yang sangat fenomenal itu diterbitkan. Buku itu dinamakan Al-Muwaththa'.

Karena bobot yang ada di dalamnya begitu luar biasa, maka buku itu terus dicetak hingga sampai sekarang ini. Namun, ada sejarah unik yang menjadi rahasia sekaligus alasan mengapa buku itu menjadi buku yang paling dicari-cari untuk dipelajari.

Memang pada zaman itu sebenarnya sudah banyak Al-Muwaththa'. Bahkan puluhan kitab sudah lahir dengan memakai judul yang serupa, yaitu Al-Muwaththa'. (Kalau di zaman sekarang mungkin seperti buku "La Tahzan" karya Syaikh Dr. Aidh Al Qarni, yang kini juga banyak diikuti judulnya dengan variasi-variasi lainnya.)

Maka ketika itu ada salah seorang pemuda berkebangsaan Arab yang bertanya kepada Imam Malik dengan sedikit nada mengejek, "Wahai guruku, mengapa engkau mengikuti judul seperti buku-buku lain? Bukankah bukumu ini akan terkesan 'pasaran' dan tak akan berlaku lama?"

Mendengar pertanyaan itu, Imam Malik yang berwawasan luas itu hanya cukup membalas dengan senyuman ringan penuh makna. Tatapannya tetap memancarkan kasih dan wibawa.

Kemudian beliau pun akhirnya menjawab, "Maa kaana lillah, yabqaa.... Apapun itu selama ditujukan semata karena Allah, maka ia akan abadi."

Maka benarlah ungkapan sederhana yang menakjubkan dan perlu kita garis bawahi ini. Terbukti bahwa sampai saat ini pun buku Al Muwaththa' karya Imam Malik rahimahullah tetap menjadi buku paling dicari dan menjadi rujukan bagi para penuntut ilmu.

Dari kisah ini, kita tak hanya diajarkan tentang betapa luasnya ilmu seorang Imam Malik. Namun kita juga diajarkan betapa sebuah tekad dengn niat yang suci akan membawa suatu manfaat yang lebih besar dan berpengaruh untuk ummat. Dan manfaatnya juga bukan hanya dalam kurun waktu yang sebatas, tapi selamanya.

Minggu, 20 Desember 2015

Kisah Teladan Bocah Kecil yang Menuntut Ilmu

Tak ada yang menyangka sebelumnya, bahwa pemuda yang masih pantas dipanggil bocah itu ternyata sangat luar biasa menakjubkan. Umurnya kala itu masih sebelas tahun. Ia dibawa pergi oleh ibunya ke sebuah kota suci yang penuh berkah lagi mulia, Madinah Al-Munawwarah. Pada saat itu, dia memang dalam keadaan seorang yang yatim. Dia dan ibunya juga bukanlah dari golongan keluarga yang berlimpah harta. Bahkan kehidupan keduanya bisa diktakan sangatlah miskin.
Hingga pada suatu ketika diceritakan bahwa ibunya itu ingin sekali melihat anaknya menjadi seorang ulama besar. Maka kebetulan, di Madinah kala itu ada seorang ulama yang faqih akan ilmu Islam. Dialah si lautan ilmu yang dicari-cari oleh banyak para penuntut ilmu dari berbagai penjuru dunia. Tak salah lagi, dialah sang penulis buku yang sangat fenomenal hingga zaman sekarang ini yang berjudul Al-Muwattha’. Ulama itu dikenal dengan sebutan Al- Imam Malik Rahimahullah. Ibunya pun menyuruhnya untuk berguru pada beliau.
Suatu ketika, dalam suatu majlis bocah laki-laki ini duduk menghadiri dan menyimak segala pemaparan pelajaran yang disampaikan oleh Imam Malik. Namun pada suatu kesempatan, ada satu hal yang membuat Imam Malik justru merasa terganggu dengan kelakuan bocah itu. Menurut  beliau, bocah itu sedang main-main dan tidak serius dalam mengikuti majlis ilmunya.
 Tentu saja, bocah itu memang dalam keadaan yang sangat miskin. Bahkan, untuk membeli pena dan beberapa alat tulis untuk mencatat pelajaran saat itu saja ia tidak punya. Maka pada saat pelajaran berlangsung dia pun sama sekali tidak menulis apapun. Tak ada yang bisa dilakukannya saat itu kecuali meletakkan jarinya di mulut, kemudian dia menulis dengan jari telunjuk kanannya di atas telapak tangan kirinya. Dan hal ini ia lakukan secara berulang-ulang.
Imam Malik yang menyaksikan pemandangan itu mengira bahwa ini adalah tingkah anak kecil yang kurang pantas dilakukan dalam majlis ilmu. Bagi beliau, ini bukanlah suatu adab yang baik dalam menghormati ilmu. Maka ketika telah berlalu 2 atau 3 pelajaran, Imam Malik pun memanggil bocah itu.
“Wahai, Pemuda … kemarilah kamu!”
Maka datanglah bocah laki-laki itu dan duduk di hadapan Imam Malik.
“Jangan kau hadir lagi di majlisku!” perintah Imam Malik.
Dengan raut wajah penuh heran, bocah itu bertanya, “Kenapa?”
“Karena kamu bermain-main. Kamu datang ke majlisku tidak lain hanya untuk bermain-main dan melakukan hal yang sia-sia.”
“Demi Allah, aku sama sekali tidak berbuat hal yang sia-sia. Kenapa bisa engkau mengatakan itu?” jawab bocah itu.
“Karena kamu menaruh ludah di telapak tanganmu kemudian menggerak-gerakkannya. Dan ini adalah sia-sia.”
“Tidak, Wahai guruku. Sungguh aku hanya menuliskan hadits saja. “
“Kalau begiitu, mana alat tulismu? Mana pena dan kertasmu? Mengapa kamu datang tanpa membawa apapun? ” lanjut Imam Malik bertanya.
Aku adalah orang miskin. Demi Allah, aku sama sekali belum mampu untuk membeli itu semua. Dan aku hanya bisa menulis seperti itu supaya aku bisa menghapalnya. Jika engkau bersedia, maka aku akan menyetorkan seluruh hadits yang sudah engkau sampaikan.”
Imam Malik menjawab, “Lakukanlah dan setorkan!”
Maka ketika itu juga bocah itu memenyetorkan seluruh hadist dari awal ia belajar hingga akhir dengan sempurna.
Kemudian Imam Malik segera mendekatinya dan mendekapnya penuh hangat. Mulai saat itu beliau mulai membantunya dan bocah itupun menjadi terhormat.
Kisah ini adalah potongan dari riwayat seorang ulama besar. Bocah inilah yang sampai saat ini kita kenal sebagai salah satu dari empat imam mazhab terbesar yang masyhur dengan sebutan Al-Imam As-Syafi’i. Keteladanan yang dicontohkan oleh seorang ulama seperti beliau inilah yang patut kita ikuti.
Inilah bentuk suatu keutamaan bagi seorang penuntut ilmu. Dan tentu saja hal ini tidak akan pernah didapatkan kecuali mereka yang niatnya benar, tujuannya baik, dan tentunya semuanya karena semata ingin merealisasikan suatu ketaatan kepada Allah SWT sebagai seorang hamba. Oleh karenanya, Syaikh Muhammad Al-‘Arify, salah satu ulama asal Arab Saudi itu pernah mengungkapkan bahwa keutamaan orang yang berilmu seperti ini dibandingkan orang yang rajin beribadah laksana keutamaan cahaya bulan purnama atas seluruh cahaya bintang-bintang di langit malam.

Semoga kita sebagai penuntut ilmu bisa menjadi sosok yang mampu meneladani apa yang dicontohkan Imam Syafi’i kepada gurunya Imam Malik. Dan satu hal yang perlu kita ketahui adalah bahwa segala sesuatu bila dilakukan dengan ketulusan yang jernih, tujuan yang murni, dan ketakwaan yang tinggi, maka dengan sekelumit rintangan apapun itu, insya Allah Dia sang Maha Kuasa akan membukakan jalan yang lebar untuk mencapainya. Ilmu yang dicari dengan unsur-unsur dasar seperti itu akan membuahkan suatu keberkahan. Dan tentu saja keberkahan itulah yang akan mengantarkan kita menjadi sosok emas yang dirindukan Islam. 

Selasa, 15 Desember 2015

Bagaimana Cara Menilai Sesuatu?

Bicara soal makna dari apa yang disebut dengan kebenaran, maka kita bisa menyebut bahwa hal itu dengan sangat ‘mudah’ untuk digambarkan. Bisa jadi ‘benar’, bila ada segolongan yang menyebutkan adanya ganjaran pahala yang besar pada hukum nikah mut’ah, atau memenggal kepala setiap muslim Sunni. Begitupun tak jauh beda dengan lahirnya pemikiran orang-orang ‘berpikiran luas’ yang beranggapan bahwa mengolok-olok agama adalah sesuatu yang dibenarkan. Dan sebenarnya, semua itu sama saja halnya dengan seseorang yang mengartikan istilah tuhan dengan yang tiga. Bahkan, masih banyak lagi perihal ‘kebenaran’ yang digambarkan dengan warna dan motif yang sedemikian rupa ragamnya. Mengatakan bahwa sesuatu itu adalah benar sesuai dengan keyakinan yang mereka benarkan.
Islam sendiri sesungguhnya sudah menanamkan dan mengajarkan nilai-nilai ajarannya secara menyeluruh. Kebenaran yang terkandung di dalamnya akan senantiasa diakui selama itu semua merupakan buah dari Alqur’an dan Sunnah, pun kemudian tidak ada yang salah dan atau melenceng dalam penafsirannya.
Maka dari sinilah muncul suatu gagasan penting akan urgensi seorang muslim dalam peran meluruskan makna atau nilai dari kebenaran itu sendiri. Dan asasnya adalah pada “sumber” dari mana datangnya kebenaran itu. Karena sudah barang tentu, bahwa Islam tidak mungkin akan mensejajarkan pendapatnya dengan pendapat-pendapat lain yang benar-benar sudah kelewat batas dari garis lingkaran Alquran dan Sunnah.  
Agar lebih teliti dalam memaknai nilai kebenaran itu adalah dengan meninjau bagaimana cara mereka bersudut pandang. Banyak sekali contoh yang disebutkan dari kedua sumber utama tersebut. Kita ambil beberapa dari yang terangkum dalam Sunnah Rasulullah SAW. sebagai berikut:
Pertama, yaitu sebuah riwayat tentang seorang ibu yang membawa anaknya dalam gendongan untuk berjalan-jalan. Ketika itu, melintas di depannya seseorang pemuda yang terlihat begitu shalih dengan berpakaian putih bersih lagi rapih. Lantas sang ibu yang kagum pun mendoakan anaknya agar ia bisa seperti orang shalih yang dilihatnya tadi. Namun, yang terjadi benar-benar di luar dugaan. Saat itu juga anak itu langsung membantah dengan berkata, “Ya, Tuhanku, jangan engkau jadikan aku seperti orang itu!”
Kemudian, di lain waktu melintas kembali seorang penunggang kuda yang tengah dikejar oleh orang banyak. Diduga bahwa dia adalah seorang penjahat. Dan benar, pada saat itu juga lelaki itu pun dibunuh oleh warga setempat. Melihat kejaddian tersebut, seketika sang ibu pun berdoa lagi untuk yang kedua kalinya agar anaknya terlindung dari golongan orang-orang seperti lelaki yang dibunuh tadi. Namun, lagi-lagi sang anak membantah dengan berucap, ”Ya, Tuhanku, jadikan aku seperti itu pemuda itu!”
Adapun contoh riwayat selanjutnya, yaitu tentang sahabat Rasulullah SAW. dari golongan Anshar. Ini terjadi ketika Nabi SAW. membagikan harta yang terkumpul kepada serombongan golongan yang kala itu mereka memang baru memeluk Islam. Beliau SAW. bukan hanya memberi sebahagiannya saja, tapi seluruhnya merata untuk rombongan itu. Mereka pulang membawa unta dan banyak bekal berupa senjata dan makanan.
Kaum Anshar yang saat itu juga sedang berkumpul menyaksikan dengan seksama bagaimana Rasulullah SAW. membagikan harta tersebut. Kemudian ada beberapa di antaranya yang berdesas-desus. “Nampaknya, Rasulullah mulai berpihak pada mereka,” kata salah seorang dari mereka kepada seorang lainnya.
Rasulullah SAW. tahu apa yang akan dipikirkan kaum Anshar saat itu. Maka dari itu, selepas rombongan yang baru masuk Islam itu kembali ke kotanya, beliau mengumpulkan kaum Anshar semuanya tanpa terkecuali. Sungguh beliau tahu betul apa yang seharusnya seorang pemimpin tanggungjawabkan atas apa yang ia lakukan tersebut.
“Wahai, Kaum Anshar! Aku hendak bertanya kepada kalian perihal sesuatu dari apa yang barusan kalian saksikan. Manakah di antara kedua pilihan yang paling kalian sukai dan lebih dibanggakan. Kalian pulang ke rumah dengan membawa harta perang berupa unta, senjata, dan bekal lainnya itu, ataukah kalian pulang bersama Rasul kalian?”
Maka saat itu juga mereka menangis haru dan tunduk. Ada sesal di hati mereka karena telah terdetik untuk iri hati dengan keduniaan yang tiada arti itu. Sungguh, tak ada yang lebih mereka sukai dan banggakan daripada kesempatan bisa pulang bersama manusia pilihan pembawa kebenaran itu. Dan ini merupakan kemenangan sesungguhnya.
Kemudian adapun yangterakhir, sebuah kisah menarik yang sudah cukup masyhur di kalangan kita. Yaitu tentang Julaibib RA, sahabat Rasulullah yang memiliki paras dan postur tubuh yang jauh dari menarik.
Suatu ketika, dia datang kepada Rasulullah SAW. dan bertanya, ”Wahai, Rasulullah ... apakah orang sepertiku pantas mendapatkan seorang istri yang layak (bersedia) menerimaku?”
Maka Rasulullah SAW. pun menjawab, “Tentu saja wahai, Julaibib. Maka sekarang juga datanglah ke rumah fulan untuk melamar putrinya atas perintahku!”
Mendengar perintah itu, Julaibib pun langsung mendatangi rumah yang dimaksudkan oleh Rasulullah SAW. Setibanya di rumah itu, sang tuan rumah sangat senang dengan kedatangannya dan menyambut dengan baik. Awalnya, mereka mengira bahwa Rasulullah yang mengutus Julaibib untuk menyampaikan kehendak Nabi untuk melamar putrinya. Tapi, setelah mengetahui bahwa yang sebenarnya hendak melamar adalah pemuda itu, maka kedua orangtuanya menolak.

Kecuali putri shalihahnya yang langsung bersedia taat menuruti pesan Nabi untuk menikah dengan Julaibib. Karena baginya, tak ada yang lebih baik untuk ditaati dan dipilih kecuali dari apa yang telah diridhoi oleh seorang Rasulullah. Maka Julaibib pun akhirnya menikah dengan putri shalihah itu.
Tibalah pada malam pertama saat Julaibib hendak mempergaulinya, kemudian terdengar seruan berjihad. Sehingga dengannya, membuat Julaibib menduakan kehendaknya untuk mempergauli istrinya itu dan lebih mengutamakan panggilan jihad tersebut. Dia pun akhirnya berangkat ke medan perang.
Hingga ketika perang usai, Rasulullah memerintahkan para sahabat agar setiap orang mencari saudaranya yang syahid. Maka ketika itu juga dikumpulkanlah mayat-mayat para syuhada. Karena tidak adanya orang yang mengenal Julaibib, hingga tak ada seorangpun yang membawa mayatnya untuk dikumpulkan.
Rasulullah SAW. terus mencari-cari. Sahabat pun heran, siapa gerangan yang beliau cari. Ternyata, ketika itu beliau menemukan mayat Julaibib. Lalu dengan penuh kasih saying ia bawa tubuhnya, kemudia beliau juga yang membawanya masuk ke liang lahat. Maka dikatakan di khalayak para sahabat yang menyaksikan, “Dia adalah saudaraku, dan aku adalah saudaranya.”
Sungguh mencengangkan. Ketiga riwayat ini membuat kita semua hampir tidak berdaya. Ilmu Allah dan Rasul-Nya benar-benar di atas kemampuan akal kita. ada kebaikan di sebalik keburukan, da nada keburukan di sebalik apa yang kita anggap itu baik.
Maka kita belajar sesuatu hal yang begitu penting dari semua ini. Tidak semua yang kita pikir benar itu selalu baik. Kebenaran mereka berfatwa adalah kebenaran yang bersumber dari apa yang mereka yakini. Namun, kebenaran yang Islam pilih tentulah merupakan sesuatu yang sudah Allah tetapkan di dalamnya terkandung begitu banyak kebaikan.
Inilah cara yang perlu kita pelajari akan bagaimana menilai sesuatu. Benar tidaknya atau baik buruknya semua telah dijawab dalam Islam. Islam datang memberikan petunjuk lewat pedoman-pedoman yang dimilikinya. Tinggal bagaimana cara kita agar bisa memilih dan memanfaatkan petunjuk yang ada.


Sumber: Kitab Nuurulyaqiin, Riyaadhus-shaalihiin.

Minggu, 08 November 2015

Orangtua Sebagai Pemimpin: Lebih Sibuk Urusi Anak atau Rakyat?

Ada salah seorang teman bertanya di sebuah grup yang kuikuti di jejaring sosial. Tak perlu bassa-basi, ia langsung bertanya tentang sikap dari seorang pemimpin. Hal ini dikarenakan banyaknya fenomena tentang bagaimana seorang pengemban amanah -pemimpin negara atau pengemban dakwah- yang sibuk memikirkan ummat, sedangkan anaknya juga terkenal "nakal". Bisa jadi, mereka begitu juga karena kesibukan orangtua mengurus rakyat. Lantas yang jadi pertanyaannya adalah, manakah perkara yang lebih diutamakan antara mengurus anak ataukah rakyat?

Beragam jawaban terlontar dari beberapa anggota yang tergabung di grup tersebut. Salah satu di antara mereka mengatakan bahwa anaklah yang harus terlebih dahulu diutamakan. Benar sekali, bersama dalil yang disampaikan bahwasanya ayat Alqur'an sudah menyebutkannya dalam surat At-Tahrim ayat 6 yang artinya, "Wahai orang-orang yang beriman! Selamatkanlah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka yang bahan bakarnya berasal dari manusia dan batu ...."

Dari ayat ini, sekilas kita bisa pahami bahwa perintah untuk menyelamatkan diri dari api neraka tertuju terlebih dahulu untuk diri pribadi, kemudian pihak selanjutnya adalah keluarga. Ini membuktikan bahwa mengurusi keluarga -termasuk anak- merupakan objek pertama yang perlu kita didik dan bimbing, demi menyelamatkan mereka dari perihal keduniaan menuju kehidupan hakiki baik di dunia juga akhirat.

Pada intinya, setiap pemimpin pasti memiliki visi dan misi yang serupa. Bagaimana mengatur suatu kewenangan atau kebijakan untuk membawa mereka (yang dipimpin) menuju kesejahteraan. Sebagaimana sabda Nabi SAW yang menyebutkan tentang urgensi suatu tanggung jawab, "Setiap jiwa dari kalian adalah sebagai pemimpin. Dan setiap kalian akan bertanggung jawab terhadap apa yang dipimpinnya." Maka tak ayal dengan dalih ini, ada yang berpendapat sebaliknya. Yaitu keutamaan rakyat dibanding keluarga.

Sedangkan saya -sang fakir ilmu, rahmat, dan ampunan-Nya- sendiri memiliki pendapat yang berbeda, namun tak jauh kabur dari apa yang sudah disampaikan oleh mereka. Dan, supaya lebih enak dan jelas, mari kita telisik lebih dekat lagi masalah ini.

Pertama, tentang keluarga. Tentu saja, keluarga itu sendiri juga termasuk ke dalam kategori rakyat. Hanya saja mereka termasuk kategori rakyat di urutan yang paling dekat. Kita bisa kembali membuka pelajaran sejarah paling menggugah dari seorang manusia panutan tertinggi. Siapa lagi kalau bukan dia sang teladan ummat, Rasulullah SAW. Dilihat dari kehidupannya, beliau memang hampir tidak sedikitpun lalai dari berpikir akan ummatnya. Waktu, harta, dan jiwanya semua terkuras untuk mereka. Tangisnya yang sering itu juga bersebab memikirkan ummat. Bahagianya pun dihadiahkan selalu untuk ummat. Tapi, di balik itu juga beliau menjadi guru paling hebat bagi anaknya. Tanggung jawabnya benar-benar mencakup keseluruhannya. Baik itu mulai dari keluarga sampai kepada orang yang ia tak kenal sedikitpun. Semuanya, Nabi SAW ajak dan bimbing menuju jalan yang benar, yaitu jalan Allah SWT. Jadi, rasanya kurang pantas jika kita mendahulukan keluarga karena mereka lebih utama, ataupun mendahulukan rakyat karena mereka lebih banyak berpengaruh untuk suatu kebangkitan. Semua dibagi rata dan adil.

Inilah pokok permasalahan sesungguhnya. Yaitu proses kepemimpinannya. Bukan keluarga atau rakyat yang digantung dengan tanda tanya. Melainkan adalah bagaimana cara pemimpin itu memimpin. Sekali lagi, Rasulullah SAW adalah sebaik-baik pemimpin. Beliau mampu memporsir jatah mereka. Beliau bisa menghakimi mereka dengan seadil mungkin sesuai apa yang Allah tunjukkan padanya.

Kemudian yang kedua, saya punya sedikit buah hasil renungan di atas. Nampaknya, akan lebih baik jika seorang pemimpin itu mendidik anaknya dengan pendidikan terbaik sedini mungkin. Terlebih yang paling utama adalah menumbuhkan karakter yang mengandung nilai-nilai islami. Dengan begitu, suatu saat ketika beranjak dewasa, kelak anaknya akan tumbuh sendiri menyesuaikan pendidikan yang telah diajarkan oleh orangtuanya. Orangtua pun jadi tidak terlalu "repot" mengurusnya lagi. Namun tetap saja semua tak boleh lepas dari pengawasan walau hanya dari jarak jauh. Dengan begitu, sang orangtua bisa lebih leluasa mengatur anak dan rakyatnya dengan totalitas.

Wallahu a'lam bisshawab..

Rahmat Zubair

Senin, 02 November 2015

Terimakasih ....

Ruh itu hidup lagi. Jasad pun kembali tuk kesekian kalinya di sini. Tempat aku merajut mimpi, bersama orang-orang yang selalu menginspirasi. Bukan mimpi biasa seperti menanti mekarnya bunga Edelweis milik kita. Tapi bagaimana harumnya menyeruak jauh sekalipun ke ujung dunia.

Lagi, aku bertemu wajah yang sama. Pemilik tekad baja tanpa beda warna maupun rasa. Semua berkumpul bersama, dalam lingkup ikatan sebuah lingkar keluarga. Aku berada di garis lingkar pena.

Aku suka dengan semangat yang tak pernah mati itu. Keluh kesah, dilawan oleh asa yang  tertuang dalam pekat tinta di selembar putih kertas. Tak perlu kesempurnaan untuk bisa menjadi yang terbaik. Sungguh, keberadaan mereka sudah sangat cukup membuatku kuat untuk terus berkarya.

Aku ingin menuliskan ceritanya, lewat kata-kata sederhana. Dan mereka adalah arsitek yang membuat semuanya jadi terasa istimewa. Terimakasih atas asupan energi yang diberikan. Dan nyatanya, api itu belum padam. Ia hidup kembali. Dan tak akan pernah mati.

Sekali lagi, terimakasih banyak.

RZ
Jkt, 021115

Syukurlah ...

Syukurlah, diamku tak berbayang hingga cahya di cermin matamu tak mampu memantulkannya
Pun dengan semilir angin yang bisu Enggan mengantar nada lembut bisiknya hingga sampai ke telingamu

Syukurlah, malam pekat menyisakan sebahagian cahya bulan walau sekadar pantulan
Atau bintang yang benderang walau tak azhim memancar
Seperti sabit di bibir yang merekah malu-malu saat menjumpamu

Syukurlah, luas hatiku menampung luap hujan badai kasih setiap waktu
Walau jauh dari mirip laut yang biru
Aku akan selalu haus, hingga tak kenal puas tuk menenggaknya

Syukurlah, kau tak melihat mekarnya
Syukurlah, kau tak merasakan hangatnya
Syukurlah, kau tak ikut haus akan candunya
Syukurlah, cintaku berbalas bahagia
Bahagia karena dirimu dan dirinya bersama

RZ
Jkt, 021115

Siluman Tunas Singkong

Kakiku sudah bengkak. Kotor berlumur tanah coklat pekat. Karena lapar, maka lidah nakalku sedikit iseng tuk menjilat. Uweekk!! Ternyata tetap saja rasa tanah. Dasar Panjul penipu! Kata temanku yang satu ini, saat lapar menghampiri maka apa saja bisa kita makan. Yang penting kita bayangkan itu adalah makanan. Ternyata, itu adalah guyonan belaka. Sial ...! Tahu begitu, kenapa aku malah tetap mempercayai omongannya, ya?

Sekarang, aku dan Panjul sekarat. Kami tersesat. Rombongan meninggalkan kami  tanpa alasan yang kuat. Kata mereka, kami terlalu sulit diajak taat. Lagian, mereka jalan terus tanpa henti untuk sedikit saja istirahat. Bahkan, mereka mengabaikan ajakan panggilan sholat. Yang penting,  bisa keluar hutan dengan cepat dan selamat! Begitu ucap kelompok kami yang dipimpin Mamat. Ah ..., bodo amat! Aku tahu, hukum mematuhi pemimpin memang wajib, tapi tentu saja itu bersyarat. Yaitu selama ia tidak dalam jalan maksiat. Makanya, aku dan Panjul memilih keluar rombongan dan berserah diri pada Sang Maha Penyelamat.

Kutengok kanan-kiri. Kebetulan, terlihat ada kebun singkong. Kuharap, aku sedang tidak berimajinasi gila saat sedang lapar seperti ini. Maka untuk membuktikannya, kupaksa diri menuju kebun tersebut dengan kaki yang sudah hampir copot ini.

"Hei, Paijo ... mau kemana ente?" tegur Panjul yang juga sedang terkapar kelelahan. Kondisinya lebih parah dariku. Perut buncitnya sudah mengempis. Tingkat kelaparannya sudah di atas normal. Aku kasihan melihatnya. Hanya dia yang tersisa membersamaiku dalam perjalanan.

"Tunggu di sini sebentar, ya! Aku ingin mencari sesuatu yang bisa kita makan di sini," ujarku penuh yakin.

Sampai di kebun, kucoba meraih batang singkong yang sudah tumbuh besar tersebut. Kukerahkan seluruh sisa tenaga yang ada untuk sebisa mungkin mencabutnya.

Krek-kreek ... duaar!!

Akhirnya, tunas singkong itu tercabut. Namun aneh, suaranya mirip petasan korek saat dicabut. Sekarang, asapnya mengepul menutupi kemampuan pandangku. Aku heran, mengapa mencabut singkong saja bisa seperti ini? Sungguh kejadian yang aneh dan tak pernah kupercaya sebelumnya.

Asap masih mengepul tebal. Karena tak sabar, segera tanganku meraih batang pohon singkong yang kucabut tadi. Perlahan mulai meraba menuju tunasnya. Dan aneh sekali, tunas itu terasa begitu lembek. Lunak, licin, berlendir pula. Aku semakin penasaran dengan singkong aneh ini. Andai saja asap ini tidak ada, aku pasti bisa melihatnya.

Kugerayangi lagi bentuk singkong aneh ini. Tak lama, tunas-tunasnya bergerak-gerak. Kupegang erat, tapi ia seperti ular dan malah melilit-lilit tanganku. Aku yang sudah kehabisan tenaga pun kalah dan tak bisa menahan gerakan tunas itu. Tunas-tunas yang lunak dan berlendir itu kemudian memanjang, hendak melilit leherku.

"Panjuul ... tolong aku!!!" teriakku keras sekali.

Terdengar langkah kaki Panjul yang berlari mendekat. Aku ingin ia sesegera mungkin datang menolongku. Tunas lembek berlendir ini sudah mulai mencekikku. Aku geli, sekaligus nyeri. Lilitannya benar-benar seperti ular piton. Napasku juga jadi tersengal. Sesak. Tapi tunas lainnya malah menggelitikiku. Aku pun tertawa terpingkal-pingkal dibuatnya.

"Tidaaaaakk!!!" teriak Panjul bersamaan dengan suara keras seperti sebuah benda yang jatuh, "Paijo, aku terperangkap jatuh ke lubang ...." teriak Panjul.

"Astaghfirullahalazhiim ..." bibirku menyebut asma-Nya.

Setelah kusebut zikir mohon ampun itu, seketika saja asap itu pun mulai hilang. Pandanganku juga mulai normal kembali. Aku benar-benar sedang menyaksikan sesuatu yang belum pernah terihat sebelumnya.

Aku terkejut luar biasa. Rupanya, yang melilitku ini adalah seekor cumi-cumi. Pohon singkong yang kucabut tadi ternyata tidak bertunas singkong sebagaimana biasanya. Tapi, ia bertunas cumi-cumi. Benar-benar diluar akal pikiran manusia.

Aku hampir pingsan. Tenagaku juga sudah mencapai titik penghabisan. Danger! Tubuh tak kuasa lagi menahan lilitan yang mencekik leher dan menghentikan napasku. Tenagaku juga ikut terkuras gara-gara sebagian cabang lainnya tadi menggelitikiku habis-habisan.

Aku tak mampu melakukan apa-apa lagi selain berzikir. Kusebut asmaNya penuh kekhusyuan dan pengharapan. Aku beristighfar, bertasbih, tahmid, takbir, dan tahlil.

Ajaib! Semakin bibirku basah oleh zikir, maka cumi-cumi itu semakin mencair. Lilitannya itu melemah, dan kesempatan napasku semakin terbuka lebar. Tenagaku kembali pulih. Aku tersadar akan sesuatu. Ya, aku mulai mengetahui kuncinya.

Akhirnya, aku memutuskan untuk merapal ayat-ayat suci Alqur'an. Maka terlantunlah surat-surat pendek yang kuhapal. Dan benar, cumi-cumi itu mencair lebih cepat. Tenagaku semakin bertambah. Dan akhirnya, akupun merasa seperti kembali dihidupkan. Nyawaku dikembalikan!

Aku membasuh muka sejenak. Dan yang terlihat sekarang di depanku adalah singkong yang sesungguhnya. Tidak ada sedikitpun bekas-bekas ada monster cumi-cumi yang mengerikan itu.

"Oiya, Panjul! Dimana dia?" Ingatanku kembali padanya. Dengan gesit segera kucari keberadaan temanku itu.

Rupanya, dia sedang tertidur lelap. Di tubuhnya pun tak ada sebaret luka sedikitpun. Aku sadar, ternyata aku telah dibutakan oleh setan. Hatiku tidak tenang karena jarang mengingat Tuhan. Mungkin inilah jawaban dari setiap kegelisahan. Inilah peringatan dari segala kelalaian. Dan inilah balasan bagi para pengikut hawa nafsu setan.

Robbana zholamnaa anfusanaa wa in lam taghfir lanaa wa tarhamnaa lanakuunanna minal khaasiriin.

Sabtu, 24 Oktober 2015

Sudahkah Kita Siap?


Rasanya sudah cukup pantas bila Indonesia dinobatkan sebagai salah satu negara terbaik yang telah melahirkan jutaan anak bangsa yang luar biasa. Bahkan tidak hanya itu. Indonesia juga menjadi kebanggaan besar yang perlu disadari oleh setiap jiwa baik dari warga Indonesia sendiri, maupun warga dunia pada umumnya. Mungkin sebagian ada yang menganggap pernyataan ini sebagai sebuah lelucon semata. Tapi, biarlah negeri merah putih ini sendiri yang akan menjawabnya.
Sebagai bukti, ada sebuah penelitian dari Pew Research Center, Amerika serikat, yang menghasilkan data yang cukup mengejutkan. Bahwasanya dari beberapa negara yang tercatat, Indonesia menjadi negara nomor wahid yang dianggap sebagai negara terbesar dengan populasi penduduk pemeluk agama Islam. Yaitu hampir 203 juta jiwa, atau sekitar 13 % dari total Muslim dunia. Tidak sembarangan, catatan dunia ini layak dinilai “tepat” akan kebenarannya. Maka di sinilah kata kunci yang menjadi alasan utama mengapa negeri ini patut disebut sebagai negara terbaik dan memiliki sesuatu yang layak dibanggakan. Hingga pada akhirnya, hal ini pula yang mengundang mata musuh-musuh Islam di dunia untuk melirik, dan bahkan sampai terbesit dalam hati mereka untuk memusuhi dan menghancurkan bangsa pilihan ini.
Maka menjadi wajar, bila pada saat ini kita temukan kembali para penjajah -yang dengan jiwa busuknya- berkeliaran di bumi Indonesia ini. Baik itu yang masih bertopeng, maupun yang sudah terang-terangan memperlihatkan wajahnya. Tentunya semua ini sudah tesusun dalam suatu misi yang dikemas secantik mungkin. Dan sekiranya, misi apalagi yang mereka inginkan selain ambisi untuk melumpuhkan langkah-langkah Islam untuk kemajuan dan kebangkitan dunia ini?
Faktanya, dana bukan lagi menjadi hal yang rumit bagi mereka. Mereka rela melepas kekayaan yang dimiliki semata demi keberhasilan misi yang dilancarkannya. Apalagi, justru dengan iming-iming kekuasaan dan kekayaan, maka mengubah majikan menjadi budak akan menjadi hal paling mudah dan sangat membantu penyerangan mereka.
Tidak berpuas diri dengan itu, mereka pun membidik panah-panah beracun lain kepada para generasi muda bangsa. Satu persatu mereka lesatkan panahnya tepat ke arah jiwa dan moral anak muda. Dan inilah yang menjadi sebab kelimpuhan sebuah bangsa; impian musuh-susuh Allah.
Sekali lagi kami tegaskan bahwa tanah ibu pertiwi ini merupakan tempat dilahirkannya masyarakat muslim terbanyak di dunia. Menjadi sebuah kehormatan besar bagi kita anak-cucu kelahiran negeri yang luar biasa ini. Semua patut disyukuri dan dibanggakan. Tentunya bersyukur dan bangga sebagaimana kita bersyukur dan berbangga diri atas fitrah yang terjaga sebagai umat muslim yang beriman kepada Allah SWT. Kerena, tiada lagi yang patut dibanggakan selain apa yang dimiliki oleh Islam. Dalam artian bahwa Islam-lah yang sebenarnya memegang peran paling penting dalam mengangkat martabat negeri ini. Namun pertanyaannya, bagaimana bentuk syukur dan bangga atas itu semua? Apa yang harus dilakukan agar keutuhan bangsa dan kebangkitan Islam tetap terlaksana?
Maka dari itu, mari sama-sama renungkan bersama potongan ayat dari apa yang telah difirmankan oleh Allah SWT dan diabadikan di dalam Al-Qur’an,
Kalian adalah umat terbaik  yang dilahirkan untuk segenap manusia, menyeru kepada yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.” (QS. Ali Imran:110).
 Dan bagi Allah-lah kehormatan, bagi rasul-Nya, dan bagi orang-orang yang beriman.” QS, Al Munafiqun:8).
Ayat di atas patut menjadi pemicu semangat seluruh umat muslim khususnya umat muslim tanah air. Semua sudah tercantum jelas dalam kitab-Nya dan sekaligus menjadi bukti nyata di depan mata. Bukan sekadar perkataan biasa, namun bukan mustahil bila firman suci ini bisa jadi merupakan salah satu dari apa yang Allah SWT inginkan dari para hamba-Nya. Dan sungguh sangat disayangkan bila ternyata masih banyak yang belum menyadari bahwa mereka itu adalah kita!
            Sikap hanya menunggu kesadaran hati umat harus segera diakhiri. Karena menunggu berarti diam, dan diam sama sekali tak akan menghasilkan apa-apa kecuali keburukan semata. Maka betapa bijak sebuah contoh perumpamaan yang pernah disampaikan oleh Al-Imam Syafi’i dalam syairnya,
Inni roaitu ma’an wuqufan. Fa in lam yajri lam yathib.” Artinya, “Sungguh aku melihat air yang diam (menggenang), jika ia (dibiarkan) tidak mengalir maka ia tidak akan baik.”
Beliau mengumpamakan manusia laksana air. Bahwa air hakikatnya adalah sumber kehidupan. Begitupun seyogyanya seorang manusia. Diamnya manusia dari melakukan suatu amal kebaikan akan seperti genangan air yang tidak dialiri. Kita sendiri sudah melihat bagaimana air itu akan mengeruh dan menjadi sumber penyakit bagi manusia. Dan apakah kita ingin menjadi penyebab rusaknya umat dan negara?
Oleh sebab itu, ada beberapa langkah sederhana yang setidaknya mampu membantu mencegah sekaligus melawan sebelum tangan-tangan iblis musuh Allah merenggut semuanya. Tentu saja dengan memulai dari diri sendiri untuk membela kehormatan Islam dalam berbangsa dn bernegara.
Sebelum mulai melangkah, ada hal yang perlu kita ketahui. Yaitu dengan memperhatikan kondisi kegelapan dunia yang kini menyesatkan banyak manusia. Dan kita sendiri akan mengetahui bagaimana para setan semakin senang dengan kegelapan yang kini sedang melanda umat. Misi kebathilan datang mengepung secara perlahan dari segala penjuru tanpa adanya ragu.
Kemudian pasti aku akan mendatangi mereka dari depan, dari belakang, dari kanan, dan dari kiri mereka. Dan engkau tidak akan medapati kebanyakan mereka bersyukur.” (QS. Al- A’raaf:7:17).
Inilah yang sebenarnya menjadi tantangan besar yang dihadapi umat saat ini. Pada era ini, kebathilan merajalela. Sedangkan Al-haq sedikit demi sedikit mulai ditanggalkan dan diporakpondakan oleh tangan-tangan setan.
Setelah ketika kita sudah mencermati gelapnya medan, yang menjadi langkah awal bagi umat ini adalah dengan menyiram bunga iman yang tumbuh di taman hati yang kian mengering. Umat bangsa ini harus ‘disentil’ akan kesadaran bahwa mereka tengah mengemban amanah besar dari Allah SWT, yaitu membela Islam!
Adapun langkahnya, yang pertama adalah ketulusan cinta. Kenapa harus cinta? Ya, karena tanpa cinta, kita takkan mampu hadirkan semangat membela dalam jiwa. Tanpa cinta, kita pun tak akan pernah menikmati manisnya berlelah. Dan tanpa adanya cinta, kita tak mungkin akan berani terluka, atau bahkan berani mati bersamanya. Dan cinta yang murni, adalah awal dari sebuah langkah menuju kebangkitan bangsa dan agama ini.
Kemudian yang kedua, adalah renovasi akhlak dengan Al-Qur’an. Di zaman yang semakin mengerikan ini, tangan-tangan iblis menggerayangi hati manusia menuju kebutaan bersebab kegelapan dan kegemerlapan. Kegelapan akan kebenaran yang abadi, dan kegemerlapan akan dunia yang fana.
Hal ini telah ditunjukkan dengan baik oleh para antropologi, bahkan disinggung di dalam kitab suci Al-Qur’an. Dan yang sebagaimana pernah dipaparkan juga oleh seorang cendekiawan muslim, Prof. Malik B. Badri dalam bukunya The Dilemma of Muslim Psychologist, yaitu,
“Al-Qur’an telah sangat jelas menyatakan bahwa, kebiasaan amoral telah menjadi adat yang mapan. Orang-orang yang bisa standar moral yang tinggi bisa dianggap abnormal, aneh, atau terganggu mentalnya. Bahkan mereka mungkin diusir atau dibunuh karena telah bersikap bersih secara moral: “Usirlah Luth dan keluarganya dari negerimu; sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang (menganggap dirinya) suci.”
Oleh karena itu, seakan di zaman ini sistem seperti itu sudah tengah dijalankan oleh pengikut-pengikut setan yang menjadi musuh Allah SWT. Mereka telah membalikkan kutub kebenaran menjadi kebathilan. Dan hukum iblis telah dihias seindah mungkin agar bisa lebih menarik dari hukum-hukum Allah SWT. Na’uzubillahi min dzalik.
Dan di sinilah peran Al-Qur’an sebagai satu-satunya pedoman petunjuk hidup yang diturunkan untuk menuntun jalan manusia kepada jalan yang lurus. Al-Qur’an telah memuat segala akhlak-akhlak yang diinginkan oleh Allah SWT dan rasulnya. Jika ayat-ayat di dalamnya mampu dipahami dengan pemahaman yang baik –dengan mengamalkan sunnah sebagai pendukungnya, maka tidak ada keraguan lagi bahwa ia akan melindungi kita dari segala macam bahaya dan ancaman yang menyesatkan. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW,
Sungguh telah Aku tinggalkan dua perkara kepada kalian di mana kalian tidak akan pernah tersesat selama kalian berpegang teguh dengan keduanya, yaitu Kitabullah dan Sunnahku.” (Lihat Al-Hakim, Al-Mustadrak ‘ala Al-Shahihain, Kitab Al-‘Ilmi, Hadist no. 322).
Kemudian yang terakhir adalah ilmu. Seberapa banyak orang yang gagah perkasa, berotot kuat, namun kalah bertarung dengan orang yang kurus kerontang tapi berakal.  
Jawabannya amatlah sederhana. Kalau hanya bermodal kekuatan, tentu Khalid bin Walid sang panglima perang pada masanya tidak akan mampu membawa pasukannya menuju kemenangan dalam berbagai peperangan. Ia memang panglima peran
g yang kuat. Tapi bukan karena ia kuat maka kemudian ia disegani setiap musuhnya. Tapi ia  dikenal kuat melainkan karena kecerdasan yang dimilikinya. Khalid bin Walid sangat cerdik dalam menyusun strategi berperang, sehingga dia dan pasukannya bisa mengalahkan musuh-musuh Islam walaupun jumlah mereka jauh lebih sedikit.
Jika kembali ke era modern yang kita hadapi sekarang ini, posisi kita sedang berada di tengah-tengah lingkaran kecanggihan akan ilmu. Teknologi dan sains sangat cepat berkembang. Jika masih duduk santai, bermain-main dengan kawan, atau berselimut sepanjang siang dan malam, itu semua justru yang akan semakin memperburuk umat, sekaligus semakin ‘meminyaki” bola-bola api serangan musuh.
Dan kiranya, inilah kunci dasar yang benar-benar harus dipersiapkan oleh umat muslim saat ini. Namun, jikapun kita sudah mengetahui, semuanya benar-benar tidak akan berhasil dengan hanya sekadar mengetahuinya saja tanpa mengaplikasikannya dalam kehidupan. Sebagaimana yang dikatakan di awal tadi. Bergeraklah, dan bukan diam!
Semakin jelas kenyataanya, bahwa di negeri kita masih ada yang namanya penjajahan. Tragisnya, bukan hanya penjajahan yang bersifat zahiriyah, tapi juga yang bersifat bathiniyah. Kemiskinan, pengangguran, meningkatnya kriminalitas yang entah itu bersumber dari rakyat maupun wakilnya sendiri.  Rasanya ‘luka sayatan” yang menimpa negeri ini semakin melebar. Bernanah dan hampir membusuk.
Lantas, apakah kita –sebagai bagian dari tubuh negeri- hanya diam dengan memelototi lalu merintih kesakitan? Itu bukanlah sikap dari seorang muslim sebagaimana yang diinginkan Allah SWT dan negeri ini. Membiarkan seorang “ibu pertiwi’ dalam derita juga merupakan kedurhakaan. Bila sudah seperti itu, berarti urusan kembali kepada Tuhan dan sudah tentu akan berimbas jadi sebuah kemaksiatan.
            Sekarang, tersisa pertanyaan sederhana untuk menentukan akankah kebangkitan yang terwujud, atau justru malah kemerosotan yang terjadi: siapkah kita?
“in tanshurullaha yanshurkum.”

Rahmat Zubair, adalah pria kelahiran 26 April 1994. Penulis yang lahir di Jakarta dan bersuku betawi asli ini sedang melanjutkan sekolah pada jenjang perkuliahan di STIA Ma’had Aly An Nuaimy. Ia memulai menyelami dunia literasi sejak dirinya berstatus santri di Pondok Pesantren Husnayain Sukabumi. Karyanya semakin banyak ketika dia juga ikut program tahfizh Alquran di salah satu lembaga di daerah Bekasi. Sampai saat ini, beberapa karyanya sudah pernah dimuat dalam beberapa buku kumpulan cerpen dan puisi dalam bentuk antologi.

Senin, 10 Agustus 2015

Tanyakan Pada Jiwa!

Selain dirinya, tak ada lagi yang mampu setia menunggu. Selain dirinya, tak ada yang lebih pasti menjemput. Selain dirinya, tak ada yang mampu lebih meyakinkan atas ketepatan janjinya. Cepat atau lambat, ia akan datang. Siap atau tidak, dia akan segera menghampiri. Dialah 'Kematian"

Jutaan jiwa terlahir ke ranah dunia ini untuk meniti kehidupan sandiwaranya. Begitupun jutaan lainnya yang harus pulang ke kehidupan sesungguhnya yang hakiki lagi abadi. Barangsiapa yang memainkan peran baik, maka ia beruntung. Dan barangsiapa yang memilih peran buruk, maka sungguh merugilah ia.

Masing-masing jiwa diberikan kebebasan memilih perannya. Ada yang memilih peran buruk, kemudian ia beralih ke peran baik. Dan adapula yang tadinya berperan baik, lalu terjerumus memilih peran buruk.

Dan tak jarang kita temui mereka yang bermain-main dengan peran sendiri. Bersenang-senang dengan kegelapan, dan kemudian berniat untuk kembali kepada cahaya di akhir hayat. Namun, siapa bisa menjamin itu semua?

Bagaimanakah kabar jiwa, jika kita tiba-tiba ajal menjemput? Apa dalam keadaan baik ataukah sakit? Sedangkan Allah sudah memperingati kita dengan firmannya:

و لن يأخر الله إذا جاء أجلها... ( سورة المنافقون)

Bunyi firman Allah di atas telah menjelaskan secara gamblang, bahwa ajal tidak akan bisa diundur atau ditunda.

Seharusnya kita tak perlu terlalu memikirkan agar kita diberi umur panjang. Karena belum tentu dengan umur panjang kita akan segera taubat dan memperbaiki diri. Bahkan ada seorang ulama salafus shalih yang menyatakan, bahwa jikalau manusia dimasukkan ke neraka, kemudian diberikan kesempatan hidup kembali di dunia, maka ia akan tetap membangkan dan tak mau mengambil pelajaran. Dan, apakah kita bisa menjamin jika umur dipanjangkan kemudian kita bertaubat dan berbuat perbaikan? Belum tentu.

Adapun hal yang lebih penting dipikirkan adalah bagaimana agar kita bisa lebih cepat sadar. Sadar bahwa kematian itu akan selalu mendekat. Sadar bahwa api neraka itu akan membakar manusia-manusia berdosa. Dan sadar bahwa murka Allah itu lebih pedih dan menakutkan. Sekarang, tanyakan jiwa kita. Siapkah ia dijemput?

Maka dari itu, marilah kita semua memuhasabah diri masing-masing. Mumpung kita masih diberikan hidup. Dan tak perlu ragu dan malu, karena Allah adalah Maha Pengampun. Allah mencintai orang-orang yang bertaubat, dan orang-orang yang membersihkan jiwanya.

إنما التوبة على الله للذين يعملون السوء بجهالة. ثم يتوبون من قريب. فألئك يتوب الله عليهم. وكان الله عليما حكيما¤ وليست التوبة للذين يعملون السوء بجهالة حتى إذا حضر أحدهم الموت قال إني تبت الآن ولا الذين يموتون وهم كفار. الئك أعتدنا لهم عذابا أليما¤

Jumat, 07 Agustus 2015

Kau Harta Terakhirku

Berlari. Kedua bocah itu berlari terbirit-birit seperti kesetanan. Tak peduli dengan kakinya yang bertelanjang. Juga tak mau peduli lagi merasakan bagaimana sakitnya tersandung batu atau benda keras lainnya di sepanjang jalan. Karena jika hanya sekadar luka, itu tidak akan terasa. Ada hal paling urgen yang mesti mereka pikirkan. Yaitu adalah kehidupan. Ya, nyawa mereka tengah dikejar oleh kematian.

"Awaaas ... ada ombak besaaaar!! Ayo lari, selamatkan diri masing-masing ...!"

Teriak seorang kakek tua yang membuat orang-orang sekeliling ikut panik, kemudian segera menyelamatkan diri mereka setelah melihat tsunami besar sedang menuju perumahan penduduk.

"Ali, ayo kita lari. Yang penting sekarang adalah keselamatan kita!" Ahmad, sahabat sejatinya menarik tangannya hendak membawanya ikut berlari menyelamatkan diri.

"Tidak, aku tidak mau. Orangtua dan adik-adikku harus selamat ...," jawab Ali yang bersikeras hendak pulang ke rumahnya.

"Ali, aku juga ingin menolong ibuku. Tapi, ada hal yang lebih penting dari ini semua. Jika kita kembali ke rumah, kita pun juga akan mati. Percuma! Ayo sekarang kita lari," tegas Ahmad meyakinkan langkah Ali.

Ali yang masih ragu, kemudian mengikuti langkah temannya itu. Kebetulan keduanya sedang berada di tempat yang agak jauh dari desanya yang dekat pantai.

Keduanya berlari sekencang mungkin. Karena air laut sudah sangat cepat mengejar mereka. Kecepatannya melebihi 40 km/jam. Jauh sekali bila dibanding dengan kecepatan berlari bocah seperti mereka.

Tapi syukur alhamdulillah, ternyata Allah masih memberikan kesempatan pada mereka untuk tetap hidup. Padahal, telat 15 detik saja maka mereka akan terbawa arus kencang itu. Tapi syukurlah, tepat saat itu mereka menemukan daerah dataran tinggi. Maka air laut itu pun tak mampu naik ke tempat mereka, dan tetap mengalir deras menuju dataran yang lebih rendah.

Pemandangan mengenaskan masih mereka saksikan dengan mata kepala mereka sendiri. Bagaimana tanah kelahirannya yang diporak-porandakan. Bagaimana air laut melahap habis rumah-rumah, gedung, mobil, dan jutaan jiwa manusia lainnya. Dan yang paling menyedihkan adalah, bagaimana mereka harus kehilangan orang-orang yang mereka cintai.

"Kau kejam, Ahmad! Kau telah menyuruhku membunuh ayah dan ibuku beserta adik-adikku. Kau telah menghancurkan hidup mereka. Dan kau ... kau telah membuatku hidup sebatang kara sekarang ...." Ali mencekeram baju Ahmad cukup keras. Mendorongnya hingga Ahmad terjatuh ke tanah.

"Aku tidak bermaksud begitu, Ali. Aku hanya ingin memberikan jalan terbaik di saat-saat mencekam seperti itu," jawab Ahmad menjelaskan.

Kemudian Ali melepaskan cengkeramannya atas Ahmad, lalu menangis sejadi-jadinya. Keduanya terduduk di tanah dengan kaki meringkuk. Masih dalam keadaan panik, takut, dan mungkin akan menjadi trauma.

"Maafkan aku, Ali. Karena aku yakin bahwa mereka pun tak mungkin terselamatkan," ucap Ahmad pelan.

Keduanya saling pandang, kemudian berpelukan. Air mata mereka tak mampu tertahan. Mereka harus kehilangan semua yang mereka miliki.

"Lantas, apa alasanmu memilih untuk menyelamatkan diri dibanding menyelamatkan mereka, Ahmad?" Ali mulai bertanya.

"Karena aku juga tak mau kehilangan semuanya, Ali. Aku tahu, kita akan kehilangan orangtua, saudara, kerabat, tempat tinggal, dan yang lainnya. Kecil sekali kemungkinan mereka untuk bisa selamat. Dan, saat itu hanya ada kau di sisiku. Kau sahabatku."

Suasana berubah hening dan haru. Semilir angin menggugurkan dedahan yang sudah lemah termakan usia. Air mata Ali masih mengalir deras. Isak tangisnya membuat kedua hatinya semakin terasa sesak.

"Ali, ketahuilah, hanya kau seorang sisa harta yang kumiliki saat itu. Aku tak sanggup membayangkan kehilangan semuanya. Aku tak mau hidup dalam kesepian. Oleh karenanya, aku ingin kita sama-sama pergi menyelamatkan diri. Kalau kita selamat, kita bisa mengisi sisa hidup bersama. Bersama dalam jalan juang yang masih jauh di masa depan. Kau mengerti itu, Ali?"

Ahmad memeluk sahabatnya Ali lebih keras. Air matanya tak kalah deras mengalir seperti halnya Ali. Lalu ia menepuk-nepuk punggung Ali seraya berbisik syahdu, "Ali, mari kita isi sisa hidup ini dengan kebaikan. Mari sama-sama memikul tanggung jawab baru di dunia yang entah akan terasa lebih baik atau justru semakin kejam ini. Harapan orangtua dan saudara kita adalah diri kita sendiri. Siapa yang mampu mendoakan mereka di alam sana selain kita?"

"Aku berjanji, akan menjadi anak sholeh. Agar aku bisa terus mendoakan orangtuaku beserta seluruh orang-orang yang kucintai. Benarkah doa anak sholeh akan terus bersambung kepada mereka?" tanya Ali dengan mata yang memancarkan cahaya harapan baru.

"Kau benar, Ali. Itulah maksudku. Kita mungkin belum bisa menyelamatkan mereka dari bencana dunia. Tapi, semoga saat ini kita perbaiki kesalahan itu, dan mulai mencoba menyelamatkan mereka dari bencana akhirat sana in sya Allah," jawab Ahmad senang.

"Maafkan aku yang sudah ditenggelamkan oleh emosi. Semoga, persahabatan kita ini karena Allah. Agar semua menjadi ibadah, dan memperkuat iman dan takwa," ucap Ali.

Ahmad mengangguk terharu. Kemudian kelingking Ahmad dan Ali menyatu membentuk tali ikatan janji persahabatan mereka yang kokoh. Mereka berjanji, akan berusaha menjadi manusia baik demi menggapai kebaikan pula di kehidupan yang kekal nanti.

Tentang Rahmat Tuhan

Pada suatu waktu, datanglah seorang wanita muda ke hadapan Nabi Musa as Wanita itu rela bersafari sendirian walaupun harus menempuh perjalanan yang cukup jauh. Hal ini menandakan bahwa kepergiannya bukanlah sesuatu yang biasa.

Ketika berhadapan dengan orang yang dicari, ia pun merasa senang.

"Wahai, Utusan Allah. Aku adalah seorang wanita biasa. Aku datang dari negeri seberang, untuk meminta sesuatu padamu. Kuharap, kau sedia menolongku," kata wanita itu.

"Ada apa gerangan yang ingin kau mintai pertolongan, wahai hamba Allah?" Nabi Musa menjawab dengan ramah.

"Aku adalah seorang wanita yang tak memiliki anak. Kami sudah berkeluarga cukup lama, namun sampai saat ini tuhan belum juga menganugerahi kami seorang anak. Aku tahu, kau adalah manusi pilihan-Nya. Maka, aku mohon padamu agar kau membantuku berdoa pada Tuhanmu agar Dia menganugerahiku seorang anak. Siapa tahu doamu bisa dikabulkan," pintanya dengan mata berbinar penuh harap.

"Baiklah. In sya Allah, aku akan membantumu tuk mendoakan sebagaimana yang kau pinta," ucap lelaki itu.

Lalu, wanita itu pun pergi kembali, dan dia hendak meminta jawabannya esok hari dengan menemuinya kembali. Nabi pun mengiyakannya.

Ketika malam tiba, Nabi Musa tunduk memohon doa untuk wanita yang ditemuinya tadi. Namun, Allah belum menghendakinya.

Sungguh Allah mengabarinya tentang takdir wanita itu. Bahwa sesungguhnya Dia telah menuliskan takdir padanya menjadi seorang yang mandul. Dengan pasrah, Nabi Musa as. pun hanya tunduk menerima ketetapan terbaik-Nya.

Datanglah hari yang ditunggu. Tentunya, wanita itu hendak mendengar kabar baik yang akan disampaikan oleh Nabi Musa as. kepadanya. Namun sayang, harapan itu pupus seusai mendengar penjelasan darinya. Ia sedih dengan takdir yang harus ia terima itu.

Walaupun setelah itu wanita tersebut terus meminta Nabi Musa as. untuk kembali mendoakannya, tapi jawaban Allah tetap sama. Bahwa takdirnya adalah sebagai seorang wanita mandul.

Setelah tiga kali wanita itu meminta permohonan yang sedemikian itu. Akhirnya, dia pun mengurungkan niat untuk pulang dan tak akan kembali lagiIa kembali. Dengan perasaan sangat sedih, ia mencoba untuk tegar menerima takdirnya.

Berselang lama kemudian, Nabi Musa hendak bepergian ke suatu desa. Didapatinya wanita itu sedang mengendong seorang anak.

Nabi Musa pun menghampirinya dan bertanya, "Wahai hamba Allah, siapakah gerangan anak yang tengah kau gendong ini?"

"Ini adalah anakku," jawab wanita itu dengan wajah berseri penuh rasa bahagia. Nabi Musa yang mendengar kabar iytu sontak menjadi kaget. Bagaimana bisa wanita itu mampu melawan takdirnya?

Kemudian, ketika Nabi kembali ke rumah, ia balik bertanya kepada Allah perihal wanita itu.

"Wahai Sang Penguasa, bukankah engkau telah menakdirkannya sebagai wanita mandul? Dan mengapa kini ia telah memiliki anak?" tanyanya.

Lalu Allah pun menjawab, "Sungguh aku telah mengujinya. Wanita itu bersabar dan menerima takdirnya. Dia sama sekali tidak berputus asa, dan justru dia terus mengejar rahmat-Ku."

******

Sumber: Penggalan kajian Syeikh Nabiel Al 'Iwadhie

Masya Allah, potongan riwayat ini sangat menggugah jiwa kita. Tak jarang kita suuzon dan berputus asa ketika menerima takdir buruk yang menimpa. Namun, kita melupakan sesuatu. Bahwa Allah punya rencana baik yang tak pernah mampu kita duga.

Bisa jadi, apa yang telah menimpa kita adalah bentuk dari suatu ujian dari Allah. Supaya bisa melihat, mana di antara hambanya yang tak berputus asa dari rahmatNya.

Ketahuilah, bahwa rahmat Allah meliputi seluruh langit dan bumi beserta isinya. Dengan rahmatNya, seekor singa yang kelaparan tak akan pernah memakan anaknya. Dengan rahmatNya, seekor gajah pun tak akan pernah menginjak anaknya. Dan dengan rahmatNya, kita semua bisa merasakan indahnya kasih sayang.

Maka dari iti, jangan pernah berpilutus asa dari rajmat Allah. Karena ada banyak keajaiban yang telah disiapkan bagi setiap hamba-Nya yang tak putus asa dari mengharap rahmatNya.

Oleh: Rahmat Zubair

Klaten, 07082015

Kamis, 06 Agustus 2015

Ungkapan Paling Sederhana

وَأَلقَيتُ عَلَيكِ مَحََبَّتِي مِنَ اللّهِ ....

Itu saja cukup. Semoga Tuhan memepertemukanku denganmu.

~Teruntuk Kau yang Belum Kuketahui Siapa Dirimu~

Senin, 03 Agustus 2015

Bunga di Tepian Jalan

Kehentikan langkah sejenak. Setelah perjalanan hijrahku dari tempat jauh yang ingin kucoba lupakan. Tubuh terkulai lelah seiring sesaat senja menyapa tuk ke sekian ribu kalinya.

Aduhai, sungguh hati merasa iba saat hujan kian reda. Pada sisa-sisanya, kudengak jeritan mengajukan doa dan harap pada siapapun yang mau mendengar untuk mengasihinya.

Bunga di tepian jalan. Pada detik-detik penghujung hidupnya yang hampir berputus asa. Ia teriak, setelah lama kalah melawan suara hujan yang mengguyurnya.

Aku menyukainya. Nampaknya aku tertarik, dan mulai menyukainya. Ingin rasanya kubawa pergi bersama temani sisa perjalanan panjang yang membentang di depan sana.

Bunga, ikutlah denganku. Dan jadilah penghias hidupku. Sungguh aku benar-benar ingin menaruhmu pada kanvas hatiku. Agar kau kembali hidup, setelah kematian mengejarmu ...

Minggu, 02 Agustus 2015

Ustadz YM: Husnuzhon dan yakin aja sama Allah. Semua pasti dikasih jalannya!

Kemarin, tepat pada tanggal 02 Agustus 2015, pondok pesantren tempatku mengajar mengadakan sebuah acara yang cukup besar. Pertama, yaitu acara Persatuan Pondok Tahfizh Qur'an se-Jawa Tengah dan DIY.

Acara sudah dimulai sejak pukul delapan pagi. Beberapa utusan yang mewakili pondok pesantren mereka berdatangan ke pesantren kami. Peserta yang antusias mengikutinya cukup banyak. Setiap ponpes mengutus 2 orang. Dan yang telah mendaftar kehadiran sekitar 80 orang. Itu berarti ada sekitar 40 pesantren yang masing-masing mengirim perwakilannya.

Adapun tujuan dilaksanakannya acara ini karena Provinsi Jawa Tengah dan DIY ini ingin mengikat hubungan antar pesantren. Dengan memaparkan segala aspirasi masing-masing, mereka akan mengambil pelajaran bagaimana metode mendidik santri khususnya dalam program menghafal Alqur'an. Semoga saja, Indonesia benar-benar bisa memiliki pusat rujukan pendidikan terbaik baik bagi pandangan bangsa Indonesia sendiri, maupun dunia.

Adapun acara kedua yang diadakan yaitu halal bi halal. Seusai acara pertama tadi yang ditutup setelah sholat zuhur berjamaah, kami langsung menggelar acara kedua ini.

Ada yang membuat pengunjung umum maupun para wali santri yang berdatangan ke pondok. Yaitu dengan hadirnya di tengah kami seorang ustadz kondang yang sudah sangat kita kenal. Ustadz Yusuf Mansyur.

Kami, khususnya saya pribadi pun sangat menantikan saat beliau berdiri di atas podium untuk memberikan kami wejangan lezat. Dan benar, materi yang dibahaspun amat menarik hati sejak awal beliau menyampaikan.

Yaitu tentang keyakinan kepada Allah, serta husnuzhon billah yang perlu kita tanamkan dalam hati kita.

Beliau mengatakan, bahwa ada power sendiri dibalik itu semua. Jika setiap hamba bisa menerapkannya dalam kehidupan, maka ia akan mendapat hakikat kebahagiaan yang belum pernah dirasakan sebelumnya.

Adalah di antaranya mengenai doa. Perihal yang sangat tidak bisa atau tidak boleh dianggap remeh. Menjadi suatu keajaiban bagi seorang muslim. Mereka membisikkan doa di setiap sujud dengan penuh rasa penghambaan yang tulus. Mengharap penuh ridho dan rahmat pertolongannya.

"Kalau berdoa, yakinlah pada Allah bahwa doa itu akan dikabulkan oleh Allah. Karena sesungguhnya Allah tidak akan menyia-nyiakan seorang doa dari seorang hamba yang benar-benar tulus mengharap rahmatNya. Selama dia terus berhusnuzhon kepada Allah dengan keyakinan yang mantap, tak meninggaljan sholat yang lima waktu tepat waktu dan atau berjamaah di masjid, kemudian tidak melakukan dosa besar, insya Allah semua keinginannya akan dengan mudah dikabulkan. Bahkan, bisa jadi ada bonus tak terduga yang akan diraihnya," begitu ucap Ustadz YM kepada para hadirin.

Aku sendiri bemar-benar sangat tersentuh dengan kalimat demi kalimat yang dipaparkannya. Selama ini, mungkin doa kita belum dikabulkan karena ulah kita sendiri yang belum sepenuhnya menyingkronkan apa yang kita minta dengan apa yang kita persembahkan untuk Allah. Betapa mungkin keyakinan kita masih rancu dan masih erlu dipertanyakan.

Ya Rabbil 'Izzah, sesungguhnya Engkau dekat dengan hambaMu. Namun hambaMu-lah yang justru semakin menjauh.

Maafkan kami yang lalai dariMu, meragukan kuasaMu, dan selalu melangkah menjauhiMu.