Selasa, 12 November 2019

APA YANG AKAN KALIAN KATAKAN?

Seperti biasanya, di pondok pesantren semuanya selalu memulai hari dengan hal-hal positif. Mulai dari shalat shubuh, dzikir, kemudian dilanjut melingkar dalam halaqah quran sesuai dengan kelompok dan kelas masing-masing. Ada yang di dalam masjid, di halaman, dan tak sedikit yang di pelataran lapangan basket. Tentunya, ini tidak lepas dari sebagian ikhtiar untuk mengamalkan nilai dalam Alquran agar kita mampu memberikan yang terbaik untuk Allah.

Membaca Quran setiap pagi di pondok bukan hanya sebagai kewajiban rutinitas bagi para santri Ibnu Abbas Klaten. Melainkan juga bertujuan agar kebiasaan positif itu terbentuk dalam diri setiap santri sehingga kemudian menjadi semacam tradisi paten yang tak boleh ditinggalkan sekalipun mereka hidup di luar komplek pondok pesantren.

Tapi ternyata ada yang berbeda pada momen kali ini. Tepat hari Jumat lalu, sehari sebelum memperingati hari maulid baginda Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam, di akhir waktu halaqah saya sedikit mengajak diskusi bersama para santri khusus di halaqah. Diskusi itu sebenarnya cukup sederhana. Sengaja saya mengajukan satu pertanyaan saja kepada anak-anak. Selain alasannya kami hanya punya waktu yang singkat, juga karena untuk berbicara dengan hati kepada anak-anak juga perlu metode tepat. Jangan sampai diskusi ini justru membuat hati mereka tidak terbuka dan pikiran mereka menjadi jumud. Lagipula, kebetulan saya sendiri setidaknya sedikit cukup mengerti bagaimana mengajak bicara dari hati ke hati kepada anak seusia kelas 7 SMP. Akal mereka rata-rata belum siap untuk diajak kepada urusan perkara yang “berat-berat.”

Tak perlu panjang lebar, saya memulai diskusi dengan pertanyaan ringan, tapi juga berisi. Saya hanya ingin tahu apa kiranya jawaban yang ada di pikiran anak-anak.

Tanpa basa-basi, saya lalu memulai membuka pertanyaan. “Apa yang akan kalian katakan bila seandainya berjumpa dengan Rasulullah saw?” Saya tatap setiap mata anak-anak. Memastikan semua paham dengan pertanyaan ini.

Seketika anak-anak diam penuh antusias. Suasana hening. Sebagian saling toleh-menoleh rekannya, sebagian lain ada juga yang mengerutkan dahi, dan ada juga yang bertanya lagi pada temannya tentang pertanyaannya. Entah karena dia kurang fokus sehingga kurang mencermati atau memang sengaja sekadar ingin mempertegas dalam memahami pertanyaan.

Saya pun paham. Akhirnya pertanyaan diulang.

“Apa yang akan kalian katakan bila seandainya berjumpa dengan Rasulullah saw?

Kali ini pertanyaan agak lebih tegas dengan suara yang lebih lantang.

Akhirnya, separuh menit saya biarkan berlalu begitu saja. Saya tahu, jawabannya pasti tidak cukup dengan waktu sedetik-dua detik. Karena ini memang jelas bukanlah tebak-tebakan. Tapi ini pertanyaan yang harus membuat akal dan hati ikut saling berkompromi.

Saya tunjuk satu persatu, kemudian saya tangkap jawabannya. Dimulai dari anak-anak yang berada di sebelah kanan saya.

“Hmmm .... Nanti dulu, Tadz. Belum tau.” Jawabnya.

“Wah, jangan begitu ... Setiap orang harus punya jawaban!” Tegas saya.

Singkat cerita, akhirnya 16 anak semua berani mencoba menjawab. Jawabannya sangat variatif. Ternyata, memang benar. Para pemuda seperti mereka punya imajinasi yang kuat dan tidak ragu-ragu. Rata-rata jawabannya cukup membuat saya puas dan takjub. Walaupun ada juga yang punya argumen serupa, tapi setidaknya saya menghargai bahwa memang itulah yang ada dan hasil murni olahan hati dan pikirannya.

Hingga kemudian ada di antara jawaban itu yang membuat hati saya bergetar. Jiwa saya seperti terasa tercabik. Bahkan, hampir-hampir saya tidak pernah memikirkan untuk menjawab hal itu. Dan jujur secara pribadi saya sangat suka dengan jawaban salah seorang santri ini karena memang dia pun menjawab penuh dengan perasaan yang amat mendalam. Matanya berkaca-kaca. Sesekali ia kelihatan menelan ludahnya karena berat menjawab. Walau awalnya agak kaku, tapi kemudian ia mengedipkan kelopak matanya karena ingin menguatkan diri untuk tidak menangis.

Jawabannya begini, “Kalau saya berjumpa dengan Rasulullah, saya mau mencium tangan beliau lalu mengucapkan terimakasih sekaligus meminta maaf.”

Bagi saya, ini jawaban luar biasa walaupun tampak sangat biasa. Kalimat sederhana itu terasa sekali maknanya. Buktinya, saya masih terus kepikiran walaupun waktu halaqah sudah usai berlalu cukup lama.

Kenapa saya sebut ini luar biasa? Karena di sana ada dua unsur penting yang perlu untuk kita renungkan. Erimakasih dan permohonan maaf. Ini intinya.

Ungkapan terimakasih merupakan kalimat yang menunjukkan kesyukuran. Melukiskan kebahagiaan yang tak terkira karena sudah merasakan cahaya kesempurnaan Islam. Saya yakin, hatinya tak mungkin bicara begini kecuali hatinya memang sudah diterangi oleh hangatnya cahaya Alquran dan Islam. Selain itu, ia juga menampilkan pengakuan paling jujur atas setiap peluh dan darah perjuangan baginda Rasulullah SAW. Oleh karenanya, ini tak bisa dianggap sepele. Karena ungkapan syukur ini pertanda bahwa kehadiran beliau Rasulullah SAW untuk ummat ini adalah anugerah paling agung yang pernah ada.

Poin kedua, adalah permohonan maaf. Ini juga tak kalah dahsyat. Maaf ini menggambarkan ketulusan, kejernihan hati, serta ketundukan dalam pengakuan murni. Maaf tak mensyaratkan harus punya salah. Tapo dengan tawadhu ucapan ini spontan diungkapkan oleh anak santri kami ini. Sebuah kesadaran alami yang lahir setelah syukur adalah suatu tindakan dari budi pekerti yang luhur.

Lalu, saya semakin malu dibuatnya. Karena yang tersisa adalah jawaban dari diri ini. Apa kiranya yang patut disampaikan kepada baginda Nabi Muhammad SAW saat beliau kelak berada di hadapan? Apakah siap diri ini sedangkan umur hidup yang sudah terlampau lebih jauh ini tentunya dilumuri dosa yang tak terkira? Sekali lagi, apa yang akan kita jawab?

Allahumma sholli wa baarik ala sayyidina Muhammad

Zubair Ibnu Syuhada

1 komentar: