Sabtu, 17 September 2016

Menadah Daun yang Gugur (Part. 3)

Detik jam dinding masih berdetak seperti biasanya. Hanya saja, kali ini irama detaknya terasa lebih kencang. Membuat kopi hitam produk asli negeri dari suku Gayo Indonesia yang terhidang di meja ruang tengah itu jadi dingin dan hambar. Bukan karena cuaca yang dingin, dan bukan pula kurang gula. Tapi karena ada sesuatu yang hilang di kamar itu, sekaligus di hati Roza.

Roza belum menyeruput kopi buatannya itu kecuali sekali saja. Kedua bola matanya menatap fokus pada sebuah novel yang sedang ia baca. Namun anehnya, beberapa menit telah lampau, namun halaman pada lembar novel itu masih tatap sama. Belum terganti. Ada apa dengan Roza? Apa ia tengah melamun?

Ting! Ting!

Smartphone putih yang terlihat cukup canggih itu berbunyi. Di layar bagian atasnya ada cahaya biru yang berkedip. Ada pesan Whatsapp baru.

Dengan sigap Roza buru-buru meraih smartphone-nya itu. Di layar itu tertulis sebuah nama yang ternyata dia nanti-nanti kabarnya. "Akhi Fillah Abdan." Jempol Roza lansung menyambar hendak melihatnya.

"Assalamualaikum, Akhii, bagaimana kabarmu? Alhamdulillah, aku baru saja tiba di Bandara Soekarno-Hatta dengan selamat. Jazakallah, doa orang shalih sepertimu memang hebat. Cepat sekali ia melesat ke langit :)"

Bundar mata Roza berair. Jantungnya berdebar. Namun masih menggantungkan sebuah misteri, apakah sebab bahagia atau sedih.

"Alhamdulillah, aku ikut senang kalau kau sudah selamat sampai Jakarta," Jari Roza lincah memilah huruf untuk membalas chat Abdan. "jangan lupa pesanku!" sambungnya.

"Tenang saja, Kawan. Meskipun aku pelupa, pesanmu kali ini akan selalu kuingat. Insya Allah akan selalu kutitipkan lewat doa! Setiap hari!" jawab Abdan penuh gairah. Semangatnya terbakar!

Mereka kini terpisah oleh jarak. Roza merasakan sebuah perasaan kehilangan yang amat dalam. Dua bulan, masa yang terbilang sempit untuk menjalin sebuah kebersamaan. Namun, menjadi masa terpanjang untuk dua jiwa yang saling terpaut dalam persaudaraan karena Allah.

****

Sekelumit tentang Abdan ....

Sejak hari pertama, lelaki itu menemui Roza di Osaka, Jepang ini untuk belajar agama Islam. Entah mengapa dia malah jauh-jauh terbang ke negeri sakura hanya untuk itu. Padahal, banyak sekali ulama-ulama dan orang yang lebih baik dari segi keilmuan agamanya dibandingkan Roza. Roza akui itu. Tapi, pengakuan Abdan sendiri dengan alasan agar bisa belajar dengan teman terpercayanya sejak kecil dulu. Maklum, dia adalah anak muda yang baru saja merasakan keterpurukan dalam pertikaian batin soal keyakinannya. Soal agama. Termasuk soal tuhan.

Sebelumnya, Abdan sebenarnya juga sudah mau ikut pengajian di salah satu tempat terdekat dengan rumahnya di daerah perumahan Tanjung Mas Jaya Jakarta Selatan. Tapi, beberapa kali mengikutinya, ia merasa ada keganjalan yang terjadi. Keikutsertaannya pada pengajian itu bukan semakin menambah wawasan keislamnya, tapi malah membelokkan aqidahnya. Sungguh ironis memang, di majlis ilmunya yang pertama, dia sudah dicekoki paham-paham sekuler dan cenderung kepada syi'ah.

Oleh karenanya, dengan keyakinan mantap ia berani terbang ke Osaka menemui sahabatnya tersebut untuk belajar. Sekaligus mempelajari Alquran yang sempat dia tidak pernah menyentuhnya lagi selama beberapa tahun lamanya. Orangtuanya tak pernah tahu kemana Abdan pergi. Bahkan sepertinya merekapun seperti tak pernah mau tahu soal putranya itu.

****

Roza seakan lupa dengan kopi hitamnya yang sudah dingin. Lupa juga dengan alur cerita dalam novel. Ia sudah lega temannya sudah selamat pulang ke Jakarta. Hatinya berguncang. Bibirnya terus melangitkan dzikir dan pujian teruntuk Allah subhanahu wa ta'ala.

Selasa, 13 September 2016

Menadah Daun yang Gugur (Part. 2)

Krekk ....

"Assalamualaikum ...." Salam Aisyah kali ini terasa getir. Kaki kanannya masuk menginjak keset lantai.

Matahari di luar masih condong ke timur. Bayangan pohon kaktus di depan rumah kost bercat biru muda itu masih lebih tinggi dari pohon itu sendiri. Hangat cahaya matahari juga masih menyehatkan. Apalagi, Mang Ujang tukang bubur ayam langganan Aisyah dan Farah masih mangkal di pertigaan gang dekat tiang listrik. Mang Ujang biasanya belum kunjung pulang sebelum jam 9.

"Waalaikumussalam ... masya Allah Aisyah, kok kamu balik lagi? Ada yang ketinggalan?" Ujung alis Farah langsung beradu ketika ucapannya tadi seperti saapaan untuk angin belaka. Apakah benar kerudung panjang cantik berwarna biru muda yang dikenakan Aisyah menghalangi suaranya untuk masuk ke gendang telinganya? Tidak masuk akal!

Hitam pada sepasang bola mata itu tak bergerak. Aisyah langsung beranjak jalan dengan kakinya yang terlihat rapuh menuju sebuah meja belajar berukuran sedang. Buku-buku diberdirikan membentuk barisan rapi dari ujung ke ujung. Di salah satu sudut lemari itu ada sebuah kotak lemari kecil dengan tiga laci berwarna-warni. Dan di atas buku-buku itu ada sterofoam berbentuk persegi panjang dengan catatan-catatan pengingat schedule yang tertempel lekat.

Aisyah duduk di kursi meja, lalu mengambil sebuah spidol dari laci lemari kecilnya itu. Spidol pun menari-nari mengikuti irama tangan lembut Aisyah di secarik kertas.

"Ya Allah, tolong aku .... Tolong aku! Kenapa aku selalu ...."

Belum sempat melengkapi tulisannya, namun tiba-tiba terdengar suara lembut.

"Syah, kamu kenapa, sih?" jarak Farah dan Aisyah kini hanya tiga langkah. Mata Farah yang jeli itu diam-diam melihat dari balik punggung Aisyah apa yang sedang ditulisnya. Kedua tangan Farah memijit pundak Aisyah. Namun, yang dipijat itu tiba-tiba langsung layu. Kepalanya tertunduk. Meneteslah bulir-bulir air membelah pipi Aisyah. Semakin lama semakin deras.

Farah terhenyak untuk beberapa detik. Nafasnya terembus lebih panjang. Hatinya ikut mengelabu. Entah kebetulan atau tidak, langit yang tadi biru juga kini terlihat pucat. Apa yang terjadi denganmu, Sahabatku? Gumam Farah.

Farah pun ingat apa yang mesti dia lakukan.

"Syah, maafin aku. Aku belum tahu sebesar apa masalahmu. Kau sudah menjadi muslimah sabar untuk bisa mendapat pertolongan Allah. Sekarang, mumpung masih dhuha, kita minta tolong lebih sama Allah, yuk!"

Aisyah masih sesenggukan. Ia mengakui kebenaran ajakan karibnya itu. Menangis memang mencurahkan semua ungkapan keluh dan kesal hati. Namun sholat dan berdoa, adalah cara yang lebih ampun untuk menjadi penawar pedih.

"Jazakillah, Farah," ucap Aisyah. Bibirnya masih gemetar. Namun senyum sudah mulai mengembang.

Begitulah menghadapi kesedihan. Apapun bemtuknya, ia tetap harus dilawan. Paling tidak senyum. Ia adalah sebaik-baik permulaan.

Kamis, 01 September 2016

Menadah Daun yang Gugur

Pada suatu waktu, kita akan bertemu di jalan musim semi. Saat daun merah sakura yang gemulai jatuh penuh pesona memeluk tanah. Kau tahu, bahwa jarak antara tangkai dan permukaan tanah ada sesuatu yang perlu dikorbankan. Yakni takdir. Tak bisa seenaknya memilih di sana atau di sini daun itu jatuh. Tapi angin yang menentukan.

Begitulah kisah seorang pria dari negeri tanpa para kurcaci seperti di dongeng-dongeng. Namun ia bukan pula kisah Majnun dan Laila yang sering diputar ulang oleh para pujangga cinta. Semua hanya sebuah cerita yang mengada-ada. Sesuka hati si pembuat cerita. Tapi ini adalah kisah yang lebih nyata. Kisah kita. Aku, dan engkau yang jauh di sana. Tanpa campur tangan sesiapa, selain telunjuk Tuhan pemilik rencana.

****

"Di mana kertas itu, lagi-lagi aku lupa tempat meletakkannya. Padahal, baru saja kutinggal pergi ke kamar mandi. Aaaagh! Dasar pelupa!" Abdan mendengus kesal. Tangannya mengacak-acak rambutnya yang masih basah.

"Dan, buang jauh-jauh sikap teledormu itu. Kau yang berbuat, harusnya tak perlu kesetanan seperti itu. Memaki diri sendiri tidak akan ada gunanya. Ayo diingat-ingat dulu, baru komentar!" ketus Roza, pemuda yang katanya berumur hanya selisih 12 jam dari Abdan. Tubuhnya menempel pada muka kasur lantai yang sudah rata hampir seperti tumpukan karpet saja.

"Iya, maaf. Aku hanya terbawa emosi, Za," sesal Abdan. Wajahnya masih seperti udang yang habir direbus.

"Maaf kalau aku terlalu menceramahi. Ya, bukan apa-apa sih. Setidaknya aku ingin kita sama-sama mengontrol diri dari emosi. Dan kita juga harus saling belajar untuk lebih dewasa dan disiplin."

"Makasih banyak, Za. Nasehatmu benar-benar kubutuhkan selalu." Dua pasang mata beradu. Roza mengangkatkan kepalan tangannya ke arah Abdan. Ia pun menimpalinya dengan kepalan yang sama. Toos!!

"Ayo kubantu carikan secarik kertas pentingmu itu!" Kaki Roza langsung sigap melangkah menuju sebuah meja belajar milik Abdan. Ia merogoh laci yang tak terkunci, ikut mencari-cari kertas itu

Semangat kedua pemuda itu pun bangkit kembali. Entah akankah apinya akan selalu menyala atau tidak. Namun dalam diri mereka ada tekad yang lebih kokoh dari baja. Ada cita yang menjalar ke atas menggapai langit. Dan ada Allah, yang akan selalu dijadikan penolong setia di jalan juang mereka.

Burung-burung di luar jendela bertasbih lewat kicaunya. Cahaya matahari semakin hangat memeluk bumi. Mereka sama sekali tidak pernah tahu apa yang sedang terjadi di seberang laut sana. Di belahan bumi lainnya, ada dua sosok yang juga sedang mengalami hal serupa dengan mereka. Allah punya sebuah rencana, di luar batas logika manusia.