Sabtu, 08 Oktober 2016

JEJAK KAKIKU BERSAMAMU....

Selepas shalat shubuh tadi, entah mungkin efek lelah setelah sembilan jam perjalanan malam dari Klaten-Jakarta, tetiba tangan seperti ada yang mengendalikan untuk mengobrak-abrik rak buku di kamarku.

Ataukah mimpi berdurasi pendek saat sejenak terlelap di kereta itu menjadi pendorong keinginanku menelisik kembali suatu memoar. Tak ada yang tahu tentang cerita-cerita yang bertabur penuh bintang itu. Cerita saat-saat aku memulai melangkah di jalan kenyataan sebuah hidup. Memoar senyum yang menyeret air mata kebahagiaan di ufuk timur sebelum terbitnya mentari setelah fajar.

Itu dia! Kuambil sebuah buku album yang telah usang. Kucari-cari. Dan akhirnya, ketemu! Foto ini. Alhamdulillah, akhirnya kudapati lagi kenang ini.

****

Saat itu, seorang lelaki sederhana yang menaiki motor vespa bersama seorang wanita cantik berjilbab panjang membawaku ke sebuah bangunan yang belum pernah kulihat sebelumnya. Ketika tiba, aku masih dalam kebingungan. Kueja pelan-pelan sebuah papan yang terpampang di depan pintu gerbang hitam bertuliskan sebait tulisan tebal. ES-DE-I-TE AL-IH-SAN. Begitulah bibirku yang sudah mulai bisa membaca merapal ejaan tersebut. Ada sebuah logo di samping tulisan itu. Seperti gambar sebuah buku. Atau lebih tepatnya itu seperti Alquran.

Ya, aku ingat. Sebelumnya. Pagi-pagi sekali, mereka sudah harus repot mengurusku. Membangunkan aku ketika langit masih gelap. Kemudian lelaki yang kupanggil "Abi" itu menuntunku menuju masjid untuk melaksanakan shalat dua rakaat. Sebagaimana yang akhirnya kumengerti, bahwa itu adalah shalat shubuh.

Abiku pernah mengatakan, shalat ini adalah permulaan bagi manusia-manusia hebat. Orang-orang hebat itu akan keluar malangkah ke masjid untuk shalat shubuh berjamaah. Dan mereka akan mendapatkan kesegaran shubuh yang menyehatkan. Lalu, beliau kembali mengajariku sesuatu alasan mengapa shubuh hari selalu terasa segar. Saat dahiku mengerut, kutanya mengapa? Jawabnya, karena udara saat shubuh belum tercampur dengan nafas orang munafik. Awalnya aku tak mengerti. Namun, akhirnya aku dapat menyimpulkan sesuatu. Bahwa yang termasuk orang munafik adalah mereka yang lebih memilih nikmatnya terlelap dalam tidur dibanding shalat shubuh berjamaah di masjid. Terimakasih, Abi ....

Kemudian, saat bergegas mempersiapkan diri, hari itu aku merasa ada yang aneh. Wanita yang kupanggil "Ummi" itu sudah menyiapkan aku baju kemeja putih baru dengan pasangan celana hijau yang juga baru.

Aku bertanya-tanya, "Ummi, mengapa pakaianku hari ini beda?"

Kemudian, dengan senyum ia menjawab, "Hari ini, kau akan mulai menjadi pejuang Allah, Nak."

"Maksudnya, jadi jagoannya Allah? Seperti Zubair bin Awwam ya, Mi?" Aku suka tersenyum kalau mengingat kepolosanku ini.

"Iya, Nak. Makanya, ayo pakai sendiri bajunya ya. Biar ummi siapkan sarapan untuk abang."

Maka mulai hari itu, aku pernah bermimpi menjadi seorang panglima pembela Rasulullah SAW sebagaimana yang pernah mereka ceritakan padaku. Namanya sahabat Zubair RA kupinjam. Maka aku harus bertanggung jawab untuk menjaga nama baik sahabat mulia ini. Insya Allah.

****

Ketika vespa tua itu diparkir di halaman sekolah baruku, aku gemetaran. Tanganku memegang erat baju ummi. Abi kemudian menuntun tanganku menaiki tangga. Katanya, kelasku ada di lantai dua. Aku sempat menolak. Bahkan merengek menangis! Dan ternyata, air mataku terus tumpah. Aku takut. Entah, setelah dewasa ini, aku bertanya-tanya. Sebenarnya, ketakutan macam apa yang dulu kualami? Hingga tak berani masuk kelas? Haha.... Kalau sekarang, mungkin aku akan bilang ke diri sendiri, "Dasar anak cengeng!"

Mulai saat itu, sampai beberapa hari ummiku harus rela menunggui anaknya di depan kelas. Alasannya cuma hanya ingin menemaniku. Memastikan sekaligus ingin meyakinkan anaknya agar tak boleh menangis lagi saat di sekolah.

Zubair dewasa kini mengerti. Ada berbagai cara yang dilakukan oleh seorang ibu, apapun, dan bagaimanapun. Ia akan berjuang sepenuhnya untuk anaknya. Dia akan berlelah-lelah untuk anaknya. Semuanya adalah bentuk dari kasih seorang ibu. Sebagaimana sebuah lagu masa kecil, Kasih ibu, kepada beta. Tak terhingga... Sepanjang masa."

Ya, dulu aku baru tahu dari Bu Lita, guru yang berhijab putih itu. Ia mengatakan, bahwa ibu ialah wanita yang surga berada di bawah telapak kakinya. Maka pada saat itu, aku berjanji pada diri sendiri. Tak ingin membuat telapak ummi kotor sedikitpin oleh debu jalanan. Apalagi sampai tergores. Karena di sana, ada istana surga. Karena di sana, ada keridhoan yang tak terbayar dengan apapun. Terimakasih, Ummi.... Aku sayang ummi dan abi. Semoga Allah menjaga kalian selalu.

Bersambung, insya Allah....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar