Tak ada yang menyangka sebelumnya, bahwa pemuda
yang masih pantas dipanggil bocah itu ternyata sangat luar biasa menakjubkan. Umurnya kala itu masih sebelas tahun. Ia dibawa pergi oleh ibunya
ke sebuah kota suci yang penuh berkah lagi mulia, Madinah Al-Munawwarah. Pada saat
itu, dia memang dalam keadaan seorang yang yatim. Dia dan ibunya juga bukanlah dari golongan keluarga
yang berlimpah harta. Bahkan kehidupan keduanya bisa diktakan sangatlah
miskin.
Hingga pada suatu ketika diceritakan bahwa ibunya itu ingin sekali melihat
anaknya menjadi seorang ulama besar. Maka kebetulan, di
Madinah kala itu ada seorang ulama yang faqih akan ilmu Islam. Dialah si lautan
ilmu yang dicari-cari oleh banyak para penuntut ilmu dari berbagai penjuru
dunia. Tak salah lagi, dialah sang penulis buku yang sangat fenomenal hingga
zaman sekarang ini yang berjudul Al-Muwattha’. Ulama itu dikenal dengan
sebutan Al- Imam Malik Rahimahullah. Ibunya pun menyuruhnya untuk berguru pada beliau.
Suatu ketika, dalam suatu majlis bocah laki-laki ini duduk
menghadiri dan menyimak segala pemaparan pelajaran yang disampaikan oleh Imam
Malik. Namun pada suatu kesempatan, ada satu hal yang
membuat Imam Malik justru merasa terganggu dengan kelakuan bocah itu. Menurut beliau, bocah itu sedang main-main dan tidak
serius dalam mengikuti majlis ilmunya.
Tentu saja, bocah itu memang
dalam keadaan yang sangat miskin. Bahkan, untuk membeli pena dan beberapa alat
tulis untuk mencatat pelajaran saat itu saja ia tidak punya. Maka pada saat
pelajaran berlangsung dia pun sama sekali tidak menulis apapun. Tak ada yang
bisa dilakukannya saat itu kecuali meletakkan jarinya di mulut, kemudian dia
menulis dengan jari telunjuk kanannya di atas telapak tangan kirinya. Dan hal
ini ia lakukan secara berulang-ulang.
Imam Malik yang menyaksikan pemandangan itu mengira bahwa ini
adalah tingkah anak kecil yang kurang pantas dilakukan dalam majlis ilmu. Bagi
beliau, ini bukanlah suatu adab yang baik dalam menghormati ilmu. Maka ketika
telah berlalu 2 atau 3 pelajaran, Imam Malik pun memanggil bocah itu.
“Wahai, Pemuda … kemarilah kamu!”
Maka datanglah bocah laki-laki itu dan duduk di hadapan Imam Malik.
“Jangan kau hadir lagi di majlisku!” perintah Imam Malik.
Dengan
raut wajah
penuh heran, bocah itu bertanya, “Kenapa?”
“Karena kamu bermain-main. Kamu datang ke
majlisku tidak lain hanya untuk
bermain-main dan melakukan hal yang sia-sia.”
“Demi Allah, aku sama sekali tidak berbuat hal yang sia-sia. Kenapa
bisa engkau mengatakan itu?” jawab bocah itu.
“Karena kamu menaruh ludah di telapak tanganmu kemudian
menggerak-gerakkannya. Dan ini adalah sia-sia.”
“Tidak, Wahai guruku. Sungguh aku hanya menuliskan hadits saja. “
“Kalau begiitu, mana alat tulismu? Mana pena dan kertasmu? Mengapa kamu datang tanpa
membawa apapun? ” lanjut Imam Malik bertanya.
“Aku adalah orang miskin. Demi Allah, aku sama sekali belum mampu untuk membeli
itu semua. Dan aku hanya bisa menulis seperti itu supaya aku bisa menghapalnya.
Jika engkau bersedia, maka aku akan menyetorkan seluruh hadits yang sudah
engkau sampaikan.”
Imam Malik menjawab, “Lakukanlah dan setorkan!”
Maka ketika itu juga bocah itu memenyetorkan
seluruh hadist dari awal ia belajar hingga akhir dengan sempurna.
Kemudian Imam Malik segera mendekatinya dan
mendekapnya penuh hangat. Mulai saat itu beliau mulai membantunya dan bocah
itupun menjadi terhormat.
Kisah ini adalah potongan dari riwayat seorang
ulama besar. Bocah inilah yang sampai saat ini kita kenal sebagai salah satu
dari empat imam mazhab terbesar yang masyhur dengan sebutan Al-Imam
As-Syafi’i. Keteladanan yang dicontohkan oleh seorang ulama seperti beliau
inilah yang patut kita ikuti.
Inilah bentuk suatu keutamaan bagi seorang
penuntut ilmu. Dan tentu saja hal ini tidak akan pernah didapatkan kecuali
mereka yang niatnya benar, tujuannya baik, dan tentunya semuanya karena semata
ingin merealisasikan suatu ketaatan kepada Allah SWT sebagai seorang hamba. Oleh
karenanya, Syaikh Muhammad Al-‘Arify, salah satu ulama asal Arab Saudi itu pernah
mengungkapkan bahwa keutamaan orang yang berilmu seperti ini dibandingkan orang
yang rajin beribadah laksana keutamaan cahaya bulan purnama atas seluruh cahaya
bintang-bintang di langit malam.
Semoga kita sebagai penuntut ilmu bisa menjadi
sosok yang mampu meneladani apa yang dicontohkan Imam Syafi’i kepada gurunya
Imam Malik. Dan satu hal yang perlu kita ketahui adalah bahwa segala sesuatu bila
dilakukan dengan ketulusan yang jernih, tujuan yang murni, dan ketakwaan yang
tinggi, maka dengan sekelumit rintangan apapun itu, insya Allah Dia sang Maha
Kuasa akan membukakan jalan yang lebar untuk mencapainya. Ilmu yang dicari
dengan unsur-unsur dasar seperti itu akan membuahkan suatu keberkahan. Dan tentu
saja keberkahan itulah yang akan mengantarkan kita menjadi sosok emas yang
dirindukan Islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar