Minggu, 20 Desember 2015

Kisah Teladan Bocah Kecil yang Menuntut Ilmu

Tak ada yang menyangka sebelumnya, bahwa pemuda yang masih pantas dipanggil bocah itu ternyata sangat luar biasa menakjubkan. Umurnya kala itu masih sebelas tahun. Ia dibawa pergi oleh ibunya ke sebuah kota suci yang penuh berkah lagi mulia, Madinah Al-Munawwarah. Pada saat itu, dia memang dalam keadaan seorang yang yatim. Dia dan ibunya juga bukanlah dari golongan keluarga yang berlimpah harta. Bahkan kehidupan keduanya bisa diktakan sangatlah miskin.
Hingga pada suatu ketika diceritakan bahwa ibunya itu ingin sekali melihat anaknya menjadi seorang ulama besar. Maka kebetulan, di Madinah kala itu ada seorang ulama yang faqih akan ilmu Islam. Dialah si lautan ilmu yang dicari-cari oleh banyak para penuntut ilmu dari berbagai penjuru dunia. Tak salah lagi, dialah sang penulis buku yang sangat fenomenal hingga zaman sekarang ini yang berjudul Al-Muwattha’. Ulama itu dikenal dengan sebutan Al- Imam Malik Rahimahullah. Ibunya pun menyuruhnya untuk berguru pada beliau.
Suatu ketika, dalam suatu majlis bocah laki-laki ini duduk menghadiri dan menyimak segala pemaparan pelajaran yang disampaikan oleh Imam Malik. Namun pada suatu kesempatan, ada satu hal yang membuat Imam Malik justru merasa terganggu dengan kelakuan bocah itu. Menurut  beliau, bocah itu sedang main-main dan tidak serius dalam mengikuti majlis ilmunya.
 Tentu saja, bocah itu memang dalam keadaan yang sangat miskin. Bahkan, untuk membeli pena dan beberapa alat tulis untuk mencatat pelajaran saat itu saja ia tidak punya. Maka pada saat pelajaran berlangsung dia pun sama sekali tidak menulis apapun. Tak ada yang bisa dilakukannya saat itu kecuali meletakkan jarinya di mulut, kemudian dia menulis dengan jari telunjuk kanannya di atas telapak tangan kirinya. Dan hal ini ia lakukan secara berulang-ulang.
Imam Malik yang menyaksikan pemandangan itu mengira bahwa ini adalah tingkah anak kecil yang kurang pantas dilakukan dalam majlis ilmu. Bagi beliau, ini bukanlah suatu adab yang baik dalam menghormati ilmu. Maka ketika telah berlalu 2 atau 3 pelajaran, Imam Malik pun memanggil bocah itu.
“Wahai, Pemuda … kemarilah kamu!”
Maka datanglah bocah laki-laki itu dan duduk di hadapan Imam Malik.
“Jangan kau hadir lagi di majlisku!” perintah Imam Malik.
Dengan raut wajah penuh heran, bocah itu bertanya, “Kenapa?”
“Karena kamu bermain-main. Kamu datang ke majlisku tidak lain hanya untuk bermain-main dan melakukan hal yang sia-sia.”
“Demi Allah, aku sama sekali tidak berbuat hal yang sia-sia. Kenapa bisa engkau mengatakan itu?” jawab bocah itu.
“Karena kamu menaruh ludah di telapak tanganmu kemudian menggerak-gerakkannya. Dan ini adalah sia-sia.”
“Tidak, Wahai guruku. Sungguh aku hanya menuliskan hadits saja. “
“Kalau begiitu, mana alat tulismu? Mana pena dan kertasmu? Mengapa kamu datang tanpa membawa apapun? ” lanjut Imam Malik bertanya.
Aku adalah orang miskin. Demi Allah, aku sama sekali belum mampu untuk membeli itu semua. Dan aku hanya bisa menulis seperti itu supaya aku bisa menghapalnya. Jika engkau bersedia, maka aku akan menyetorkan seluruh hadits yang sudah engkau sampaikan.”
Imam Malik menjawab, “Lakukanlah dan setorkan!”
Maka ketika itu juga bocah itu memenyetorkan seluruh hadist dari awal ia belajar hingga akhir dengan sempurna.
Kemudian Imam Malik segera mendekatinya dan mendekapnya penuh hangat. Mulai saat itu beliau mulai membantunya dan bocah itupun menjadi terhormat.
Kisah ini adalah potongan dari riwayat seorang ulama besar. Bocah inilah yang sampai saat ini kita kenal sebagai salah satu dari empat imam mazhab terbesar yang masyhur dengan sebutan Al-Imam As-Syafi’i. Keteladanan yang dicontohkan oleh seorang ulama seperti beliau inilah yang patut kita ikuti.
Inilah bentuk suatu keutamaan bagi seorang penuntut ilmu. Dan tentu saja hal ini tidak akan pernah didapatkan kecuali mereka yang niatnya benar, tujuannya baik, dan tentunya semuanya karena semata ingin merealisasikan suatu ketaatan kepada Allah SWT sebagai seorang hamba. Oleh karenanya, Syaikh Muhammad Al-‘Arify, salah satu ulama asal Arab Saudi itu pernah mengungkapkan bahwa keutamaan orang yang berilmu seperti ini dibandingkan orang yang rajin beribadah laksana keutamaan cahaya bulan purnama atas seluruh cahaya bintang-bintang di langit malam.

Semoga kita sebagai penuntut ilmu bisa menjadi sosok yang mampu meneladani apa yang dicontohkan Imam Syafi’i kepada gurunya Imam Malik. Dan satu hal yang perlu kita ketahui adalah bahwa segala sesuatu bila dilakukan dengan ketulusan yang jernih, tujuan yang murni, dan ketakwaan yang tinggi, maka dengan sekelumit rintangan apapun itu, insya Allah Dia sang Maha Kuasa akan membukakan jalan yang lebar untuk mencapainya. Ilmu yang dicari dengan unsur-unsur dasar seperti itu akan membuahkan suatu keberkahan. Dan tentu saja keberkahan itulah yang akan mengantarkan kita menjadi sosok emas yang dirindukan Islam. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar