Minggu, 08 November 2015

Orangtua Sebagai Pemimpin: Lebih Sibuk Urusi Anak atau Rakyat?

Ada salah seorang teman bertanya di sebuah grup yang kuikuti di jejaring sosial. Tak perlu bassa-basi, ia langsung bertanya tentang sikap dari seorang pemimpin. Hal ini dikarenakan banyaknya fenomena tentang bagaimana seorang pengemban amanah -pemimpin negara atau pengemban dakwah- yang sibuk memikirkan ummat, sedangkan anaknya juga terkenal "nakal". Bisa jadi, mereka begitu juga karena kesibukan orangtua mengurus rakyat. Lantas yang jadi pertanyaannya adalah, manakah perkara yang lebih diutamakan antara mengurus anak ataukah rakyat?

Beragam jawaban terlontar dari beberapa anggota yang tergabung di grup tersebut. Salah satu di antara mereka mengatakan bahwa anaklah yang harus terlebih dahulu diutamakan. Benar sekali, bersama dalil yang disampaikan bahwasanya ayat Alqur'an sudah menyebutkannya dalam surat At-Tahrim ayat 6 yang artinya, "Wahai orang-orang yang beriman! Selamatkanlah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka yang bahan bakarnya berasal dari manusia dan batu ...."

Dari ayat ini, sekilas kita bisa pahami bahwa perintah untuk menyelamatkan diri dari api neraka tertuju terlebih dahulu untuk diri pribadi, kemudian pihak selanjutnya adalah keluarga. Ini membuktikan bahwa mengurusi keluarga -termasuk anak- merupakan objek pertama yang perlu kita didik dan bimbing, demi menyelamatkan mereka dari perihal keduniaan menuju kehidupan hakiki baik di dunia juga akhirat.

Pada intinya, setiap pemimpin pasti memiliki visi dan misi yang serupa. Bagaimana mengatur suatu kewenangan atau kebijakan untuk membawa mereka (yang dipimpin) menuju kesejahteraan. Sebagaimana sabda Nabi SAW yang menyebutkan tentang urgensi suatu tanggung jawab, "Setiap jiwa dari kalian adalah sebagai pemimpin. Dan setiap kalian akan bertanggung jawab terhadap apa yang dipimpinnya." Maka tak ayal dengan dalih ini, ada yang berpendapat sebaliknya. Yaitu keutamaan rakyat dibanding keluarga.

Sedangkan saya -sang fakir ilmu, rahmat, dan ampunan-Nya- sendiri memiliki pendapat yang berbeda, namun tak jauh kabur dari apa yang sudah disampaikan oleh mereka. Dan, supaya lebih enak dan jelas, mari kita telisik lebih dekat lagi masalah ini.

Pertama, tentang keluarga. Tentu saja, keluarga itu sendiri juga termasuk ke dalam kategori rakyat. Hanya saja mereka termasuk kategori rakyat di urutan yang paling dekat. Kita bisa kembali membuka pelajaran sejarah paling menggugah dari seorang manusia panutan tertinggi. Siapa lagi kalau bukan dia sang teladan ummat, Rasulullah SAW. Dilihat dari kehidupannya, beliau memang hampir tidak sedikitpun lalai dari berpikir akan ummatnya. Waktu, harta, dan jiwanya semua terkuras untuk mereka. Tangisnya yang sering itu juga bersebab memikirkan ummat. Bahagianya pun dihadiahkan selalu untuk ummat. Tapi, di balik itu juga beliau menjadi guru paling hebat bagi anaknya. Tanggung jawabnya benar-benar mencakup keseluruhannya. Baik itu mulai dari keluarga sampai kepada orang yang ia tak kenal sedikitpun. Semuanya, Nabi SAW ajak dan bimbing menuju jalan yang benar, yaitu jalan Allah SWT. Jadi, rasanya kurang pantas jika kita mendahulukan keluarga karena mereka lebih utama, ataupun mendahulukan rakyat karena mereka lebih banyak berpengaruh untuk suatu kebangkitan. Semua dibagi rata dan adil.

Inilah pokok permasalahan sesungguhnya. Yaitu proses kepemimpinannya. Bukan keluarga atau rakyat yang digantung dengan tanda tanya. Melainkan adalah bagaimana cara pemimpin itu memimpin. Sekali lagi, Rasulullah SAW adalah sebaik-baik pemimpin. Beliau mampu memporsir jatah mereka. Beliau bisa menghakimi mereka dengan seadil mungkin sesuai apa yang Allah tunjukkan padanya.

Kemudian yang kedua, saya punya sedikit buah hasil renungan di atas. Nampaknya, akan lebih baik jika seorang pemimpin itu mendidik anaknya dengan pendidikan terbaik sedini mungkin. Terlebih yang paling utama adalah menumbuhkan karakter yang mengandung nilai-nilai islami. Dengan begitu, suatu saat ketika beranjak dewasa, kelak anaknya akan tumbuh sendiri menyesuaikan pendidikan yang telah diajarkan oleh orangtuanya. Orangtua pun jadi tidak terlalu "repot" mengurusnya lagi. Namun tetap saja semua tak boleh lepas dari pengawasan walau hanya dari jarak jauh. Dengan begitu, sang orangtua bisa lebih leluasa mengatur anak dan rakyatnya dengan totalitas.

Wallahu a'lam bisshawab..

Rahmat Zubair

Tidak ada komentar:

Posting Komentar