Selasa, 13 September 2016

Menadah Daun yang Gugur (Part. 2)

Krekk ....

"Assalamualaikum ...." Salam Aisyah kali ini terasa getir. Kaki kanannya masuk menginjak keset lantai.

Matahari di luar masih condong ke timur. Bayangan pohon kaktus di depan rumah kost bercat biru muda itu masih lebih tinggi dari pohon itu sendiri. Hangat cahaya matahari juga masih menyehatkan. Apalagi, Mang Ujang tukang bubur ayam langganan Aisyah dan Farah masih mangkal di pertigaan gang dekat tiang listrik. Mang Ujang biasanya belum kunjung pulang sebelum jam 9.

"Waalaikumussalam ... masya Allah Aisyah, kok kamu balik lagi? Ada yang ketinggalan?" Ujung alis Farah langsung beradu ketika ucapannya tadi seperti saapaan untuk angin belaka. Apakah benar kerudung panjang cantik berwarna biru muda yang dikenakan Aisyah menghalangi suaranya untuk masuk ke gendang telinganya? Tidak masuk akal!

Hitam pada sepasang bola mata itu tak bergerak. Aisyah langsung beranjak jalan dengan kakinya yang terlihat rapuh menuju sebuah meja belajar berukuran sedang. Buku-buku diberdirikan membentuk barisan rapi dari ujung ke ujung. Di salah satu sudut lemari itu ada sebuah kotak lemari kecil dengan tiga laci berwarna-warni. Dan di atas buku-buku itu ada sterofoam berbentuk persegi panjang dengan catatan-catatan pengingat schedule yang tertempel lekat.

Aisyah duduk di kursi meja, lalu mengambil sebuah spidol dari laci lemari kecilnya itu. Spidol pun menari-nari mengikuti irama tangan lembut Aisyah di secarik kertas.

"Ya Allah, tolong aku .... Tolong aku! Kenapa aku selalu ...."

Belum sempat melengkapi tulisannya, namun tiba-tiba terdengar suara lembut.

"Syah, kamu kenapa, sih?" jarak Farah dan Aisyah kini hanya tiga langkah. Mata Farah yang jeli itu diam-diam melihat dari balik punggung Aisyah apa yang sedang ditulisnya. Kedua tangan Farah memijit pundak Aisyah. Namun, yang dipijat itu tiba-tiba langsung layu. Kepalanya tertunduk. Meneteslah bulir-bulir air membelah pipi Aisyah. Semakin lama semakin deras.

Farah terhenyak untuk beberapa detik. Nafasnya terembus lebih panjang. Hatinya ikut mengelabu. Entah kebetulan atau tidak, langit yang tadi biru juga kini terlihat pucat. Apa yang terjadi denganmu, Sahabatku? Gumam Farah.

Farah pun ingat apa yang mesti dia lakukan.

"Syah, maafin aku. Aku belum tahu sebesar apa masalahmu. Kau sudah menjadi muslimah sabar untuk bisa mendapat pertolongan Allah. Sekarang, mumpung masih dhuha, kita minta tolong lebih sama Allah, yuk!"

Aisyah masih sesenggukan. Ia mengakui kebenaran ajakan karibnya itu. Menangis memang mencurahkan semua ungkapan keluh dan kesal hati. Namun sholat dan berdoa, adalah cara yang lebih ampun untuk menjadi penawar pedih.

"Jazakillah, Farah," ucap Aisyah. Bibirnya masih gemetar. Namun senyum sudah mulai mengembang.

Begitulah menghadapi kesedihan. Apapun bemtuknya, ia tetap harus dilawan. Paling tidak senyum. Ia adalah sebaik-baik permulaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar