Kamis, 01 September 2016

Menadah Daun yang Gugur

Pada suatu waktu, kita akan bertemu di jalan musim semi. Saat daun merah sakura yang gemulai jatuh penuh pesona memeluk tanah. Kau tahu, bahwa jarak antara tangkai dan permukaan tanah ada sesuatu yang perlu dikorbankan. Yakni takdir. Tak bisa seenaknya memilih di sana atau di sini daun itu jatuh. Tapi angin yang menentukan.

Begitulah kisah seorang pria dari negeri tanpa para kurcaci seperti di dongeng-dongeng. Namun ia bukan pula kisah Majnun dan Laila yang sering diputar ulang oleh para pujangga cinta. Semua hanya sebuah cerita yang mengada-ada. Sesuka hati si pembuat cerita. Tapi ini adalah kisah yang lebih nyata. Kisah kita. Aku, dan engkau yang jauh di sana. Tanpa campur tangan sesiapa, selain telunjuk Tuhan pemilik rencana.

****

"Di mana kertas itu, lagi-lagi aku lupa tempat meletakkannya. Padahal, baru saja kutinggal pergi ke kamar mandi. Aaaagh! Dasar pelupa!" Abdan mendengus kesal. Tangannya mengacak-acak rambutnya yang masih basah.

"Dan, buang jauh-jauh sikap teledormu itu. Kau yang berbuat, harusnya tak perlu kesetanan seperti itu. Memaki diri sendiri tidak akan ada gunanya. Ayo diingat-ingat dulu, baru komentar!" ketus Roza, pemuda yang katanya berumur hanya selisih 12 jam dari Abdan. Tubuhnya menempel pada muka kasur lantai yang sudah rata hampir seperti tumpukan karpet saja.

"Iya, maaf. Aku hanya terbawa emosi, Za," sesal Abdan. Wajahnya masih seperti udang yang habir direbus.

"Maaf kalau aku terlalu menceramahi. Ya, bukan apa-apa sih. Setidaknya aku ingin kita sama-sama mengontrol diri dari emosi. Dan kita juga harus saling belajar untuk lebih dewasa dan disiplin."

"Makasih banyak, Za. Nasehatmu benar-benar kubutuhkan selalu." Dua pasang mata beradu. Roza mengangkatkan kepalan tangannya ke arah Abdan. Ia pun menimpalinya dengan kepalan yang sama. Toos!!

"Ayo kubantu carikan secarik kertas pentingmu itu!" Kaki Roza langsung sigap melangkah menuju sebuah meja belajar milik Abdan. Ia merogoh laci yang tak terkunci, ikut mencari-cari kertas itu

Semangat kedua pemuda itu pun bangkit kembali. Entah akankah apinya akan selalu menyala atau tidak. Namun dalam diri mereka ada tekad yang lebih kokoh dari baja. Ada cita yang menjalar ke atas menggapai langit. Dan ada Allah, yang akan selalu dijadikan penolong setia di jalan juang mereka.

Burung-burung di luar jendela bertasbih lewat kicaunya. Cahaya matahari semakin hangat memeluk bumi. Mereka sama sekali tidak pernah tahu apa yang sedang terjadi di seberang laut sana. Di belahan bumi lainnya, ada dua sosok yang juga sedang mengalami hal serupa dengan mereka. Allah punya sebuah rencana, di luar batas logika manusia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar