Selasa, 28 Juli 2015

Janji yang Dirindukan


Oleh : Rahmat Zubair

Bayang awan melintas cepat di tanah karena tertiup angin yang cukup kencang. Mengusir naungan yang sempat melindungi kulit Ismael dan Mousa dari teriknya panas matahari siang itu. Debu-debu pun berterbangan liar, membuat kedua remaja itu menutupi matanya dengan tangan, menghindar agar tidak kelilipan.
“Anginnya sudah berlalu, El,” tukas Mousa pada Ismael yang masih menutupi matanya.
“Benarkah?” tanyanya seperti kurang yakin.
“Tak usahlah kau berpura-pura lagi. Aku sudah kenal dirimu sejak lama. Jadi, aku hampir tahu semuanya tentangmu. Termasuk tentang dirimu yang cengeng itu,” tembak Mousa sekenanya.
Benar sekali. Tak ada yang bisa disembunyikan Ismael dari sepengetahuan Mousa. Mousa sudah mengetahui, bahwa Ismael tak hanya sedang menutupi matanya karena takut kelilipan debu, namun tidak lain dia juga sedang menangis. Ya, menangis meratapi tanah kelahirannya, desa Ramallah yang kini terlihat seperti habis ditimpa kiamat. Porak poranda!
Sambil mengusap air matanya, ia mendesah, “Mousa, bisakah kau tunjukkan kembali jalan menuju rumah Otsman dan Omar?” Ismael mengangkat wajahnya kembali setelah tertunduk cukup lama. Memaksa diri untuk lebih tegar. “aku sudah benar-benar tak ingat lagi di mana letak rumahnya setelah setiap bangunan rata dengan tanah seperti ini,” sambungnya.
Mousa menoleh ke arah Ismael sambil menyunggingkan senyum khalayak seorang sahabat karib yang penuh kasih. Kemudian mengangguk. Menandakan kesediaannya mengantarkan Ismael ke tempat yang ia inginkan.
Lalu mereka berdua melangkah turun dari bukit batu tempat mereka memandang desa kecil yang disebut Ramallah itu. Dengan telanjang kaki, Mousa terlihat lebih lincah melewati puing-puing bangunan di sana. Berbeda dengan Ismael yang nampak lebih berhati-hati dengan berbagai macam benda apa saja yang mungkin bisa merobek kakinya.

***

Sudah berlalu delapan tahun, saat pertama kali Ismael pamit kepada teman-temannya untuk hijrah ke Turki. Semua keluarganya memutuskan untuk meninggalkan tanah Palesina karena faktor tugas profesi kedua orangtuanya. Jadi, mau tidak mau Ismael harus ikut pindah ke Turki. Walaupun ia dulu sempat menangis hingga jatuh sakit selama seminggu karena tidak mau pergi dari tanah Ramallah tercinta.
Baru kali ini dia memaksa diri pergi sendirian dari Turki. Tujuan utamanya adalah menengok negeri pertiwinya yang selalu dirindu itu. Juga karena tak kuasa menahan kekhawatiran terhadap desanya yang sedang berkecamuk dijajah para bedebah. Ia menangis selama mendengar kabar tentang desanya yang dirampas kemuliaannya, juga diinjak-injak oleh para tentara paling kejam dan biadab di dunia. Yang selalu tamak dan tak pernah puas merampas hak kemerdekaan orang lain.
“Mousa, ini kan ...,” kata Ismael sambil mengambil lonceng sepeda yang sudah hancur. Namun ia masih sangat mengenalinya. Tempat itu adalah rumah Otsman. Dan lonceng temuannya itu juga milik Otsman. Di cangkang lonceng itu tertera tulisan yang dulu dia ukir sendiri. Ada 4 nama berbahasa arab yang tertera di sana. Otsman, Omar, Ismael, dan Mousa. Innanaa Anshaarullah*
“Dia sudah syahid mendahului kita, El. Kau masih ingat dia, kan?”
“Tentu saja. Aku takakan pernah bisa melupakan orang paling bersemangat sepertinya,” jawab Ismael.
“Ya, walau dia paling iseng dan menjengkelkan, tapi kulihat perangai aslinya yang seperti malaikat kala itu. Jiwa pemberani yang selalu semangat itu membuatku takjub. Ia seperti pejuang yang tak pernah takut musuh. Ia tak takut mati. Yang dipikirkan saat itu hanyalah bagaimana mengejar gelar syahid.” Mousa menjelaskan dengan nada suara agak rendah. Air matanya hampir jatuh ke pipinya, namun ia segera menyekanya sebelum terlihat oleh sahabatnya itu.
“Oh iya ... rumah Omar di sana,” lanjutnya sambil menunjuk ke arah barat laut dari tempat mereka berpijak, “ayo sekarang kita ke sana!”
Keduanya berjalan lagi melintasi tumpukan puing-puing yang berceceran di sepanjang jalan. Beberapa rumah masih berdiri, namun sudah gosong dan tidak kokoh sempurna  seperti sebelumnya. Adapun toko Abah Ahmed yang menjual anggur dan kurma sudah habis runtuh tak bersisa. Begitupun dengan pemilik dagangannya.
Mereka ingat sekali saat bersama rekan lainnya  membantu Abah Ahmed memetik dan mengangkut anggur dari kebunnya. Setelah itu pasti Abah selalu memberi upah dengan beberapa kilo anggur kualitas terbaik hasil panennya itu.
“Ya, kita sudah sampai. Ini dia rumah Omar. Ayah, ibu, dan adiknya selamat. Dan hanya dia yang gugur menggelar syahid,” jelas Mousa lagi.
“Kok bisa? Bagaimana mereka bisa selamat sedangkan dia sendiri tidak?” tanya Ismael masih bingung sekaligus penasaran.
“Dia juga disebut-sebut sebagai pahlawan Ramallah,” jawab Mousa.
“Apa, pahlawan? Maksudmu?”
“Ya, kala itu, si bocah cerdik yang keras kepala itu benar-benar menjadi pahlawan bagi penduduk di sini. Kebetulan saat itu hari sedang senja. Beberapa tank hendak menuju perbatasan untuk berjaga. Mereka telah menyiapkan persenjataan berupa bom yang akan mereka ledakkan secara besar-besaran ke arah Ramallah Barat ini di malam hari. Tapi, kami juga tidak tahu bagaimana dia bisa menyusup ke markas musuh. Dan dia memutuskan kabel komunikasi milik mereka yang terhubung langsung ke markas pusat. Dengan begitu, segala kejadian agak sulit terdeteksi. Dan rencana rahasianya pun akhirnya berhasil. Yaitu membunuh 12 tentara musuh yang bertugas saat itu dengan mudah dan dalam waktu singkat.”
“Sungguh? Jenius sekali dia, bagaimana bisa itu terjadi?!” tanya Ismael yang untuk kedua kalinya dibuat heran.
“Sebelumnya, dia sukses menyuruh penduduk agar segera mengungsi ke Ramallah Selatan. Awalnya memang mereka kurang percaya, namun saat itu aku membawa seitar 10 rekan lainnya untuk mendukung perintah Omar itu. Akhirnya, mereka pun bisa luluh mempercayai sarannya itu dan pergi menungsi ke bagian selatan. Tapi, dia sendiri tidak pergi bersama mereka. Aku menyaksikannya,”
“Lho, ceroboh sekali dia!” Ismael mulai terbawa emosi cerita Mousa.
“Dia kembali ke markas tentara musuh itu sesaat setelah shalat isya sebelum mereka melancarkan misi penyapuan penduduk. Dia meledakkan bom bunuh dirinya bersama para tentara yang sedang pesta miras di sana. Ledakan itu cukup terdengar keras dari Ramallah selatan. Dan yang lebih hebat lagi, berita ini terlambat sampai di telinga pemuka tentara pusat mereka. Makanya, setelah cukup lama, barulah setelah itu mereka tahu dan langsung segera mengirim jet-jet mereka yang meluncurkan rudal-rudal untuk menghabisi daerah barat ini tanpa ampun. Mereka mengira bahwa banyak dari kita yang tewas. Namun syukurlah, banyak yang terselamatkan. Kecuali Otsman yang ikut syahid bersama keluarganya karena saat itu mereka sedang shalat berjamaah.”
Lagi-lagi Ismael menitikkan air mata. Kali ini ia tidak menangis sendirian, karena Mousa sendiri pun sama-sama tak kuasa membendung harunya kisah perjungan manis sahabat mereka itu. Kemudian keduanya berpelukan saling menguatkan.
“Aku benar-benar merindukan mereka, El ….” Mousa mendesah.
“Begitupun halnya denganku. Aku rindu untuk bisa berjumpa lagi dengannya. Mereka pasti sedang menunggu kita untuk bermain bersama di taman surga,” balas Ismael.
“Ya, kau benar. Kini, saatnya kita yang memperjuangkan negeri ini. Memperjuangkan agama kita ini. Semoga amal-amal terbaik kita nanti mampu mengantarkan kita ke telaga surga, dan bermain bersama mereka lagi di taman –tamannya,” ucap Mousa.
“Kau janji akan melakukan yang terbaik?” Ismael menawarkan kelingkingnya.
“Tentu, in syaa Allah. Hatiku sudah dibuat haus oleh rindu. Demi melanjutkan estafet perjuangan mereka. Janji surga, menunggu kita!” jawab Mousa mantap .


--TAMAT—


Catatan:
*Otsman, Omar, Ismael, dan Mousa. Kami adalah para penolong Allah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar